Seperti biasa, Devan mengajak Vanya makan siang di cafe dekat kantor. Sebenarnya Devan ingin mengajak Vanya makan siang di restoran, tapi Vanya tidak mau karena jaraknya agak jauh dari kantor, lagipula makanan di restoran pasti mahal-mahal, Vanya tidak mau membuang uang untuk makan makanan mahal untuk mengisi perutnya padahal dia bisa makan makanan apa saja yang penting mengenyangkan.
Devan melihat Vanya sedari tadi terlihat tidak nafsu makan, "Anastasia, kau kenapa? Kenapa kau tidak memakan makananmu?"
"Hah?" Vanya mendongakkan kepalanya.
"Aku.. aku tidak apa-apa." Lanjutnya.
Devan jadi teringat dengan masa sekolahnya. Dulu, Devan pernah mempunyai perempuan yang sama persis dengan Vanya. Perempuan itu selalu mengatakan tidak apa-apa saat Devan bertanya kenapa. Padahal Devan tau saat itu perempuan yang dekat dengannya sedang tidak baik-baik saja.
Kenapa perempuan berbohong untuk menutupi perasaannya? Laki-laki tidak akan tau apa yang harus ia lakukan untuk membantunya jika perempuan selalu berkata tidak apa-apa. Devan bukan cenayang yang bisa tau apa mau perempuan walaupun perempuan itu tidak mengatakan apapun.
"Kau menjawab tidak apa-apa, itu berarti kau punya masalah, iya kan?"
Sejak mengenal perempuan masa SMA nya, Devan berubah. Yang dulunya dia cuek dan tidak peka, dia berubah menjadi laki-laki yang lebih peka pada perempuan. Walaupun Devan tidak tau apa masalahnya, tapi Devan bisa merasakan kalau perempuan itu sedang tidak baik-baik saja.
Vanya menautkan kedua alisnya, "Darimana kau tau kalau aku ada masalah?"
"Jadi, apa tebakan ku benar?"
Vanya mengangguk, Vanya bingung harus dengan cara apa dia membayar semua hutang-hutang orang tuanya. Vanya merasa kasihan pada orang tuanya karena hidup mereka tidak pernah tenang karena terus di kejar rentenir.
"Kau bisa ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantumu."
Vanya ragu apa dia akan menceritakan semuanya atau tidak. Kalau Vanya bercerita, itu artinya dia mengumbar aib keluarganya sendiri karena memiliki hutang pada rentenir.
"Hanya masalah keluarga, nanti pasti bisa di selesaikan."
Devan mengangguk mengerti, "Oh ya, boleh aku tau, alasan kenapa kau mau menerima tawaranku untuk menjadi sekretaris ku?"
Karena aku ingin membalaskan dendam ku padamu Dev! Itu suara hati Vanya.
"Sebenarnya, menjadi sekretaris adalah impianku dari dulu, waktu kau ingin aku menjadi sekretaris, aku pikir kalau aku harus memanfaatkan kesempatan itu untuk mewujudkan impianku." Jawab Vanya yang berbanding terbalik dengan kata hatinya.
Tapi ada benarnya juga, selain untuk balas dendam, cita-cita Vanya sedari dulu memang ingin menjadi sekretaris. Dulu saat Vanya masih kecil, dia pernah melihat di acara televisi bagaimana menjadi sekretaris, kemudian dia tertarik untuk menjadi sekretaris.
"Kau siap menjadi sekretaris ku besok?"
"Ehm, sebenarnya ada hal yang ingin aku bicarakan mengenai pekerjaan itu."
"Apa?"
"Bukankah proyek itu belum di mulai? Kenapa kau ingin aku menjadi sekretaris mu besok? Kau bilang kalau kau membutuhkan sekretaris untuk membantumu mengurus proyek besar itu."
Devan tampak berpikir untuk menemukan jawabannya, dia tidak mau Vanya curiga kalau sebenarnya Devan ingin menjadikan Vanya sekretaris secepatnya, tidak perduli untuk membantunya mengurusi proyek besar perusahaan atau bukan.
"Untuk persiapan saja, kau belum tau tugas sekretaris bukan? Jadi kalau proyek itu sudah di mulai, kau sudah bisa bekerja secara maksimal."
Vanya mengangguk-anggukkan kepalanya, alasan Devan cukup masuk akal.
"Apa setelah proyek itu selesai, aku bisa kembali ke pekerjaanku yang dulu?"
Tidak. Selamanya kau akan menjadi sekretaris ku. Itu suara hati Devan.
Namun jawaban yang Devan katakan adalah, "Tidak tau, aku akan memikirkan itu lagi."
"Ngomong-ngomong, sepertinya kita terlalu banyak mengobrol sampai lupa untuk makan." Devan mengubah topik pembicaraan.
"Maaf kalau aku terlalu banyak bertanya."
"Kau tidak bersalah, untuk apa kau meminta maaf, hm?"
Vanya tersenyum, dia menunduk memakan makanan di depannya. Saat dia mendongak, dia justru melihat Devan yang tengah tersenyum menatapnya. Fix, mereka saling berpandangan namun terlihat salah tingkah.
Tanpa mereka sadari, sedari tadi seseorang tengah mengawasi mereka berdua. Seseorang itu mengepalkan tangannya dan menatap keduanya dengan tatapan tajam. Berani-beraninya perempuan itu mendekati lelakinya.
*****
Selesai makan siang, Devan kembali ke ruangannya. Namun melihat seseorang yang kini duduk di kursi kerjanya membuat Devan ingin keluar dari ruangan itu sekarang juga. Siapa lagi kalau bukan Leila Atmajaya, perempuan yang menjadi tunangannya selama 5 tahun itu selalu membuatnya merasa tidak nyaman.
Saat Devan berjalan ke arahnya, perempuan itu langsung berdiri dari kursi kerja Devan dan membiarkan Devan duduk di sana.
"Kenapa kau belum pulang?" Ucap Devan yang tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya.
"Kau makan siang dengan siapa tadi?" Leila bertanya dengan tenang.
"Klien." Jawab Devan dengan singkat.
"Bohong!" Nada suara Leila sudah mulai tinggi.
"Terserah." Ucap Devan seakan tidak perduli apa Leila percaya atau tidak.
Leila menahan emosi yang kini mau meledak. Leila tidak suka di bohongi dan Leila juga tidak suka jika seseorang berhubungan dengan lelakinya.
"Kau makan siang dengan perempuan yang tidak tau sopan santun itu kan?"
Leila masih ingat kalau perempuan yang makan siang dengan tunangannya adalah perempuan yang beberapa hari yang lalu menerobos masuk ke ruangan Devan. Maka dari itu, Leila menyebut Vanya sebagai perempuan yang tidak tau sopan santun.
"Dari mana kau tau?"
Leila tersenyum miring, "Kenapa? Kau takut karena kau ketahuan selingkuh?"
Devan seketika menghentikan pekerjaannya, dia jelas tidak terima dengan apa yang Leila tuduhkan padanya, "Aku tidak selingkuh, aku hanya makan siang dengannya."
Kalau Devan mau, dia lebih memilih bersama Vanya dari pada Leila. Dan bisa saja Devan menggunakan alasan itu untuk putus dengan Leila, tapi Devan tidak mau Vanya yang akan mendapatkan masalah karena Devan sendiri. Devan tidak sebodoh itu untuk membiarkan Vanya ada dalam masalah karena dirinya.
"Tapi kenapa kau menolak makan siang denganku, dan kau malah lebih memilih makan siang dengan perempuan itu hah?!"
Leila benar-benar sudah membuat Devan emosi, namun Devan berusaha untuk meredamkan emosinya itu, "Ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya soal pekerjaan."
"Alasan. Perempuan itu pasti sengaja mendekatimu agar kau mau makan siang dengannya kan?"
"Cukup! Aku bilang cukup. Terserah kau mau berkata seperti apa, sebaiknya kau pergi dari ruangan ku karena aku masih banyak pekerjaan."
"Kau mengusirku Dev?"
Devan mengangguk mantap, "Ya."
Leila menatap geram Devan, dia mengambil tasnya secara kasar di meja lalu pergi dari sana.
Devan menyisir rambutnya ke belakang, kapan Leila akan berhenti mengacaukannya seperti ini?
Saat keluar dari ruangan Devan, Leila tidak langsung pulang, dia melangkahkan kakinya menuju ruang staf. Leila penasaran dengan perempuan yang tadi makan siang dengan tunangannya, sebenarnya apa hubungan Devan dengan perempuan itu.
Sampai di sana, Leila meneliti setiap karyawan yang berada di sana. Dari belakang, Leila melihat perempuan yang sama persis dengan perempuan itu. Leila mendekatinya, dia menepuk bahunya.
Vanya menoleh dan berdiri, dia kaget melihat tunangan Devan ada di ruangannya.
Leila melihat papan nama di saku Vanya. Leila lantas menyentuhnya, "Vanya Anastasia."
"Ya saya."
Leila menatap remeh Vanya, perempuan seperti dia bahkan tidak sebanding dengan Leila sendiri. Sepertinya Devan juga tidak akan tertarik dengan perempuan seperti Vanya. Penampilannya saja terlihat norak, semua barang yang di pakai KW semua.
"Perempuan sepertimu ingin mendapatkan laki-laki seperti Devan? Aku rasa kau harus lebih sadar diri, siapa kau dan siapa Devan."
Vanya mengernyit bingung, sebenarnya apa yang di bicarakan perempuan ini?
"Maksudnya apa ya?"
Leila tersenyum miring, "Berhenti mendekati Devan kalau kau tidak ingin mendapatkan masalah Vanya. Karena aku tidak akan membiarkanmu mendekati tunangan ku."
Setelah mengatakan itu, Leila pergi dari sana. Vanya masih tidak mengerti kenapa tiba-tiba Leila ke ruangannya dan berbicara seperti itu padanya.
Feli berdiri dan langsung bertanya apa yang sudah terjadi, "Ve, kau kenal dengan perempuan itu? Kenapa dia tiba-tiba berbicara seperti itu padamu?"
"Dia Leila, tunangan Devan."
Feli baru melihatnya tapi sepertinya perempuan itu berbahaya untuk Vanya yang ingin mendekati Devan, "Jangan-jangan Leila tau kalau kau dan Devan dekat? Makanya dia datang kesini untuk melabrak mu?"
"Dia pasti sudah tau, kalau belum untuk apa di datang menemui ku disini?"
"Terus apa yang akan kau lakukan? Tunangan Devan pasti tidak akan membiarkanmu untuk mendekati Devan."
Vanya mengangkat salah satu sudut bibirnya, "Apa yang aku lakukan? Tentu saja aku akan terus melanjutkan rencana ku. Aku tidak takut dengan siapapun."
Vanya sudah tidak ada jalan untuk mundur, tekadnya sudah sangat matang. Apapun akan ia lakukan untuk membalaskan dendamnya. Vanya tau kalau Devan tidak pernah mencintai Leila, itu berarti Devan pasti bisa melindungi Vanya dari perempuan itu. Vanya yakin, kalau dia sudah membuat Devan mencintainya, Devan pasti tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya.
Lihat saja nanti!
******
Setibanya di rumah, Devan menekuk lehernya ke kanan dan ke kiri yang terasa kaku karena seharian menghadap komputer. Namun saat dia sampai di ruang tengah, lagi-lagi dia melihat Leila duduk di sana bersama Ibunya. Kebetulan ayahnya Devan sedang ke luar kota selama beberapa minggu, jadi Devan dan Ibunya tinggal berdua.
"Devan." Ucap Ibu Devan saat melihat anaknya sudah pulang.
"Devan lelah, Devan mau mandi dan istirahat." Ucap Devan berusaha menghindar dari Leila.
Namun Leila tetap Leila, dia tidak akan membiarkan Devan pergi begitu saja, "Dev, aku ingin mengajakmu makan malam, kau mau kan?"
Devan terdiam. Leila mendekat dan merangkul lengan Devan, "Mau ya? Tadi siang aku mengajakmu makan siang tapi kau malah makan siang dengan perempuan lain, sekarang aku mengajakmu makan malam, kau tidak boleh menolak, oke?"
Devan menggigit bibir bawahnya, dia kemudian mengangguk. Anggap saja Devan sedang berbaik hati malam ini. Leila tersenyum, "Jemput aku di rumah ya? Aku tunggu jam 7, dan kau tidak boleh telat."
Devan mengangguk lemah, setelah itu Leila berpamitan pulang pada Ibu Devan. Selepas Leila pergi, Ibu Devan langsung menanyakan siapa perempuan yang makan siang dengan Devan, "Dev, siapa perempuan yang Leila maksud?"
Devan tersenyum tipis, tiba-tiba saja Devan merindukan perempuan itu, "Dia Vanya Anastasia, karyawan kantor ma."
Ibu Devan melihat anaknya itu terlihat riang saat dia menanyakan perempuan itu, "Kau menyukainya?"
"Bagaimana mama tau?"
Firasat seorang Ibu memang tidak pernah salah. Ibu Devan melihat ada kebahagian saat Devan menjawab pertanyaannya seolah-olah Devan tengah memikirkan perempuan itu, "Dev, mama sangat tau apa yang membuatmu bahagia atau tidak bahagia. Saat kau mengatakan namanya, kau terlihat bahagia. Apapun yang membuatmu bahagia, kau pasti menyukainya."
Devan memeluk Ibunya, hanya Ibunya yang bisa mengertikannya. Hanya Ibunya yang tau apa yang membuat Devan bahagia atau tidak bahagia, apa yang Devan sukai atau apa yang tidak disukai.
"Kalau aku menyukainya, apa mama tidak marah denganku?"
"Tidak sayang. Apapun yang kau inginkan pasti itu yang terbaik untukmu."
Devan tersenyum, kapan ayahnya akan bersikap sama seperti ibunya. Ayahnya itu keras kepala, ia akan menentang semua keinginan Devan jika itu bertentangan dengan apa yang ayahnya inginkan.
"Sana mandi, kau harus makan malam dengan Leila malam ini."
Devan menghela nafas, lalu dia berjalan menaiki tangga ke kamarnya.
Sesuai apa yang Leila inginkan, Devan sampai di rumah perempuan itu tepat pukul 7. Seorang pelayan membukakan pintu, lalu Devan masuk ke dalam dan duduk di ruang tamu.
Tak lama, Leila turun dari tangga dengan penampilan yang sangat elegan. Seperti biasa, Leila akan membuat dirinya secantik mungkin untuk makan malam dengan Devan. Leila ingin Devan terpesona padanya malam ini.
"Kau datang tepat waktu Dev."
"Seperti apa yang kau inginkan. Kita berangkat sekarang."
"Dev, apa aku cantik malam ini?"
Devan melihat penampilan Leila malam ini, namun Devan terlihat biasa saja karena Leila memang sudah sering berdandan seperti ini. Devan juga heran, mereka hanya makan malam biasa tapi penampilan Leila begitu berlebihan menurutnya.
"Cantik seperti biasa."
Jawaban Devan membuat Leila semakin percaya diri, dia lantas menggandeng lengan Devan dan berjalan bersama.
Devan dan Leila kemudian naik ke mobil dan pergi ke restoran.
Namun saat dalam perjalanan, Devan tidak sengaja melihat Vanya dan Feli sedang berjalan dan berhenti tepat di warung pinggir jalan. Devan sengaja melajukan mobilnya pelan-pelan, namun hal tersebut membuat Leila bingung, "Dev, kenapa kau-"
Leila melihat arah pandang Devan, dia berdecak kesal, "Kau melihat Vanya?"
Devan tidak tau kenapa Leila tau nama itu, "Bagaimana kau tau namanya?"
"Aku menemuinya di kantor, dan aku sudah bilang padanya, jangan berani-berani mendekatimu karena aku tidak akan tinggal diam." Ucap Bella dengan nada mengancam.
Devan tidak berbicara apapun lagi, Leila pasti akan berulah lagi. Setiap Devan dekat dengan perempuan, Leila selalu menganggap kalau perempuan itu mencoba untuk mendekati Devan padahal mereka hanya berteman. Baru bertunangan saja sudah seperti ini, apalagi kalau mereka sudah menikah?
Devan pasti akan gila!
*****