Dilihat dari sudut mana pun tempat itu hanya sebuah gurun pasir yang sangat luas tanpa ada apa pun lagi selain hamparan pasir. Bahkan sekadar rumput pun tak terlihat tumbuh di sana. Sebuah tempat yang seharusnya sangat sepi dan hening berubah dalam sekejap menjadi ajang pertempuran di saat dua kubu pasukan kini saling bertatap muka.
Di sebelah kanan merupakan pasukan yang menyebut diri sebagai Kaum Paladin. Terdiri dari kumpulan orang-orang sombong karena menganggap derajat mereka lebih tinggi dari kubu pasukan lawan. Bukan tanpa alasan mereka merasa seperti itu, tidak lain karena darah biru mengalir di dalam tubuh mereka.
Mereka masih memiliki darah raja pendiri Earthland Kingdom yang mengalir di dalam tubuh. Sang raja yang telah mendirikan satu-satunya kerajaan di bumi. Namun, meski mereka masih merupakan keturunan kerajaan, mereka sama sekali tak diakui sebagai bagian dari keluarga kerajaan inti. Sekali lagi hal ini bisa terjadi pun karena memiliki alasannya.
Dahulu kala sang raja pernah melakukan kesalahan besar dengan menghamili seorang dayang. Dayang tersebut mengandung hingga melahirkan seorang anak laki-laki. Keturunan anak laki-laki dari sang raja inilah yang kelak menyebut diri sebagai Kaum Paladin atau keluarga cadangan yang dipersiapkan sebagai pengganti semisal keluarga inti kerajaan mengalami kejadian yang tak diharapkan sehingga menyebabkan tidak bisa meneruskan tampuk kekuasaan.
Sedangkan mereka yang termasuk sebagai keluarga inti merupakan keturunan langsung dari sang raja bersama ratu atau selir-selirnya. Jika keluarga inti tinggal di dalam istana kerajaan yang megah yang dijaga ketat oleh para prajurit yang menyebut diri sebagai Prajurit Guardian, lain ceritanya dengan Kaum Paladin. Mereka menetap di kastil yang dibangun tak terlalu jauh dari istana. Kastil mewah namun tak ada penjaga di sana, hal inilah yang membuat Kaum Paladin selalu mengajukan protes karena meski mereka masih keturunan raja, tempat tinggal mereka sama sekali tak dijaga. Kaum Paladin selalu meminta Prajurit Guardian agar ikut menjaga kastil mereka seperti para Prajurit Guardian yang menjaga ketat istana dan memastikan keamanan keluarga inti kerajaan.
Dari sanalah konflik dimulai karena Prajurit Guardian justru menolak mentah-mentah permintaan dari Kaum Paladin. Mereka tak merasa memiliki kewajiban untuk menjaga kastil atau pun memastikan keamanan Kaum Paladin. Dalam pandangan Prajurit Guardian, mereka jauh lebih tinggi derajatnya dari Kaum Paladin yang hanya menjadi keluarga cadangan kerajaan. Kaum Paladin sama sekali tak memiliki peran apa pun di dalam kerajaan terkecuali jika keluarga inti mengalami peristiwa yang mau tak mau membuat kekuasaan beralih tangan kepada Kaum Paladin. Namun, ribuan tahun berlalu tidak pernah terjadi peristiwa dimana kekuasaan yang berpindah tangan pada Kaum Paladin karena keluarga inti kerajaan selalu berdiri kokoh memimpin kerajaan karena hal inilah para Prajurit Guardian merasa Kaum Paladin tak dibutuhkan sekaligus tak layak untuk mendapatkan perlindungan mereka.
Sekarang bisa disimpulkan bahwa dua kubu yang sedang bertatap muka ini merupakan Kaum Paladin dan Prajurit Guardian yang bersiap untuk melakukan peperangan.
Di sebelah kiri yaitu kubu Prajurit Guardian, sudah berbaris rapi dengan pasukan mereka yang mengenakan baju besi khas prajurit. Di tangan mereka, senjata utama berupa pedang sudah dipersiapkan, siap dihunuskan dan ditebaskan pada pasukan lawan.
Prajurit Guardian jelas bukan orang-orang sembarangan. Mereka merupakan orang-orang terlatih yang setiap hari selalu berlatih untuk memperkuat diri dalam hal bela diri maupun bertarung dengan menggunakan senjata. Hal ini karena tugas utama mereka merupakan melindungi istana dan seluruh keluarga inti kerajaan. Keamanan kerajaan berada di tangan mereka karena itu mereka selalu gencar memperkuat diri agar bisa menjalankan tugas sebaik mungkin.
Berdiri dengan gagah di barisan paling depan merupakan pemimpin Prajurit Guardian, Labhrainn. Pria berusia 36 tahun yang terlihat begitu gagah dengan perawakan tinggi besar. Wajahnya pun terlihat tegas dan berwibawa, sangat menunjukan dirinya seorang pemimpin yang begitu disegani. Labhrainn dengan memegang pedang berukuran besar itu sedang menatap nyalang ke arah depan, pada pihak musuh yang sepertinya sedang memasang kuda-kuda untuk mulai menyerang.
“Ayah, sepertinya kita harus memberikan perintah untuk mempersiapkan diri, mereka sudah siap untuk menyerang.”
Labhrainn menoleh ke arah samping kanan, pada sosok pemuda berusia 18 tahun yang tidak lain merupakan putra sulungnya, Leicester. Pemuda yang memiliki paras cukup mirip dengannya itu tak kalah gagah dengannya. Memegang pedang yang sudah menghunus ke depan seolah sudah tidak sabar untuk menebaskan pedang tersebut pada lawannya. Leicester meski masih terbilang muda tapi kerap kali ikut serta dalam peperangan demi berjuang bersama dengan ayahnya maupun seluruh anggota Prajurit Guardian. Sebagai keturunan pertama dari pemimpin Prajurit Guardian, Leicester tak terima pasukan ayahnya selalu direndahkan dan dipandang sebelah mata oleh Kaum Paladin yang begitu sombong padahal mereka sama sekali tidak memiliki peran apa pun di dalam pemerintahan. Terlebih karena Leicester kelak akan menjadi pengganti sang ayah memegang kekuasaan penuh atas ribuan prajurit yang tergabung dalam Prajurit Guardian, dia tentu harus mempersiapkan diri semenjak dini. Peperangan dan pertarungan merupakan sesuatu yang biasa dihadapi oleh prajurit seperti mereka.
Labhrainn mengangguk, sependapat dengan sang putra yang selalu teliti dalam segala hal, inilah salah satu alasan dia begitu bangga pada putranya tersebut. Selain karena anak itu begitu berbakti padanya, sangat cerdas dan teliti dalan segala aspek, Leicester pun memiliki kemampuan bertarung yang hanya selevel lebih rendah darinya. Putranya sangat kuat meski masih begitu muda, dia yakin jika sudah dewasa nanti Leicester akan menjadi prajurit terkuat sepanjang masa. Ya, itulah harapan Labhrainn sebagai seorang ayah pada putra pertamanya yang begitu membanggakan.
“Ya, berikan komando untuk mempersiapkan diri. Kita serang mereka dalam hitungan ketiga.”
“Baik, Ayah.”
Leicester mengangkat pedangnya tinggi di udara, itu merupakan komando darinya bahwa sesaat lagi mereka akan mulai maju untuk melancarkan serangan pada pihak musuh.
Menyadari makna dibalik aba-aba tersebut, semua pasukan di baris belakang mulai mengangkat perisai di tangan kiri untuk menutupi bagian atas tubuh mereka sedangkan pedang di tangan kanan sudah dihunuskan ke depan.
“Satu.”
Aba-aba dari Labhrainn mulai mengalun, Leicester menekuk lututnya mengambil ancang-ancang untuk berlari ke depan. Begitu pun dengan pasukan di barisan belakang, ikut menekuk kedua lutut sebagai persiapan untuk melesat maju ke depan.
“Dua.”
Kini Leicester sudah sedikit menurunkan pedangnya yang teracung ke udara, tanda sesaat lagi p*********n akan dimulai.
Melihat aba-aba itu, raut wajah pasukan di barisan belakang tampak begitu serius. Tak ada yang terlihat gentar karena mereka sudah siap mati dalam peperangan ini. Gugur dalam peperangan merupakan kehormatan dan kebanggaan tersendiri untuk mereka. Bagi prajurit seperti mereka, tentunya mati di medan perang lebih menyenangkan dibandingkan mati karena terbaring sakit di atas tempat tidur layaknya orang biasa. Sebagai Prajurit Guardian artinya mereka terlahir berbeda dengan manusia biasa karena mereka memiliki tugas penting untuk melindungi para penguasa serta orang-orang biasa yang tak memiliki kekuatan apa pun untuk melindungi diri sendiri.
“Tiga.”
Labhrainn sudah mengeluarkan suara untuk memberikan komando terakhirnya. Leicester kini menurunkan pedang dengan kecepatan tinggi, “Majuuuuu!!!” teriaknya.
Seketika itu juga semua orang yang berdiri di kubu pasukan Prajurit Guardian meneriakkan semangat bertarung mereka seraya berlari ke depan untuk menyerang pasukan musuh.
Di kubu lawan, Maksimus yang merupakan pemimpin Kaum Paladin, mendengus begitu melihat lawan mereka mulai berlarian untuk menyerang pasukannya. Seperti biasa, menurutnya Prajurit Guardian begitu bodoh karena setiap berperang mereka selalu nekat menggunakan senjata berupa pedang untuk bertarung. Padahal senjata itu memiliki banyak kekurangan salah satunya tidak bisa digunakan untuk menyerang dari jarak jauh.
Maksimus memanfaatkan kecerobohan lawannya dengan dia yang memerintahkan pasukannya untuk menggunakan senjata yang mampu menyerang dari jarak jauh yaitu panahan dan tombak.
“Kak, mereka sudah menyerang.”
Romulus, adik kandung Maksimus memperingatkan sang kakak bahwa pasukan musuh sudah mulai menyerang meski dia tentu tahu kakaknya pasti sudah menyadari hal ini meski tak dia beritahu sekalipun.
“Siapkan pasukan untuk balik menyerang mereka.”
“Baik, Kak.”
Romulus langsung mengambil posisi untuk melaksanakan perintah sang kakak, berbalik badan menghadap pasukannya yang sudah siap dengan senjata panahan di tangan. Romulus mengangkat tinggi tangannya ke atas.
“Pasukan memanah, siap menyerang!” Satu teriakan dari Romulus mengalun, para pasukan bersiap memasangkan anak panah pada busur mereka, mengarahkan target ke depan, tali busur sudah mereka tarik dan hanya perlu mendengar komando dari sang pemimpin maka anak panah siap untuk dilepaskan.
“Tembak!”
Maksimus menyeringai begitu ratusan anak panah dari pasukannya kini melesat cepat di udara menuju target sasaran yaitu pasukan Prajurit Guardian yang sedang berlarian ke arah mereka di depan sana.
“Posisi perisai! Berlindung!”
Itu teriakan dari Labhrainn yang tahu persis hal seperti ini akan terjadi karena bukan kali pertama pasukan musuh menggunakan panahan untuk menyerang mereka.
Secara serempak pasukannya yang sudah paham betul makna di balik perintah itu langsung menghentikan laju lari mereka. Masing-masing merapatkan tubuh dengan sesama rekan dan satu sama lain saling melindungi dengan perisai baja di tangan mereka yang kini diacungkan ke udara, menjadikan perisai-perisai itu layaknya cangkang untuk melindungi tubuh mereka.
“Aaaaaaakkkhhh!”
“Aaaaaaaaarrgghh!”
Kendati perlindungan mereka sudah begitu ketat dan sempurna, tetap saja puluhan orang terkena anak panah yang berhasil menembus celah perisai yang tak rapat.
Labhrainn berdecak sembari mengeratkan pegangan tangannya pada pedang, amarah mulai menguasai begitu mendengar teriakan demi teriakan dari pasukannya yang terkena anak panah dan mungkin akan gugur di medan perang kali ini.
Begitu hujan anak panah sudah tak terasa lagi, mereka kembali memisahkan diri dan berlari lebih cepat dari sebelumnya. Namun, rupanya serangan dari pihak lawan tak selesai sampai di sana. Kali ini, serangan dari puluhan tombak meluncur cepat ke arah mereka karena dilemparkan oleh pasukan Kaum Paladin.
Wajah sangar Labhrainn terlihat mengerut dengan wajah yang memerah sempurna karena lagi-lagi yang dia dengar suara teriakan dari pasukannya yang terkena tusukan tombak.
“Maju! Lebih cepat lagi!” teriaknya, terus memberi semangat pada pasukannya agar tak menyerah dan terus maju ke depan.
Suara tawa terdengar dari pasukan lawan yang tampak puas karena serangan mereka berhasil melumpuhkan pihak Prajurit Guardian, terlihat dari beberapa yang terkena serangan senjata mereka baik itu yang terkena anak panah maupun tombak, kini tumbang dan tak sanggup lagi melanjutkan peperangan.
Namun, rupanya hal itu sama sekali tak menyurutkan pasukan Prajurit Guardian untuk terus menyerang maju, terlihat dari mereka yang semakin cepat berlari dan juga dari teriakan semangat yang membahana.
“Siapkan pedang. Kita juga maju.”
Romulus mengangguk tegas, siap melaksanakan tugas yang diberikan sang kakak sekaligus pemimpin pasukan ini untuk melanjutkan p*********n dengan menggunakan senjata utama. Tiba saatnya mereka menyambut kedatangan musuh karena posisi mereka kini sudah ada di depan mata.
“Angkat pedang kalian!” teriak Romulus, yang detik itu juga dituruti seluruh pasukan di barisan belakang karena kini mereka mencabut pedang yang tersampir di pinggang.
“Majuuuu!!!”
Kini medan peperangan itu bukan hanya diisi dengan pasukan Prajurit Guardian yang berlarian, melainkan pasukan Kaum Paladin pun ikut maju menyerang.
Trang … Trang … Trang
Suara dari bilah pedang yang saling bertemu dan beradu menjadi satu-satunya suara yang terdengar kala dua kubu pasukan yang selama ribuan tahun selalu bermusuhan itu akhirnya bertemu.
“Aaaaaaaaakhhh!”
“Aaaaaaaaaarrrgghh!”
Di detik berikutnya, suara teriakan demi teriakan yang terdengar. Bukan, suara teriakan itu bukan berasal dari pasukan Prajurit Guardian, melainkan dari pasukan Kaum Paladin yang tentunya akan kalah telak jika sudah bertarung menggunakan pedang. Bertarung jarak dekat dengan menggunakan pedang merupakan keahlian dari para Prajurit Guardian. Mereka begitu kuat, tangguh dan tak terkalahkan.
Kini tawa dari pasukan Prajurit Guardian yang membahana tatkala dengan mudah mereka berhasil memenggal kepala lawan, menusuk area vital maupun menebaskan pedang di tubuh musuh sehingga tak mampu lagi berkutik. Dalam hitungan detik mereka berhasil membalaskan dendam atas kematian puluhan rekan mereka yang terkena anak panah maupun tombak yang dilepaskan musuh.
Maksimus mendecih, dia melihat satu demi satu pasukannya tertebas, tertusuk bahkan kepala mereka terpenggal oleh pedang musuh. Selalu seperti ini, dia akan kehilangan banyak pasukan jika terlibat pertarungan jarak dekat dengan Prajurit Guardian. Walau tadi dia cukup puas karena berhasil membunuh banyak pasukan lawan, tapi kini dia merasa apa gunanya rasa puas tadi di saat kini dia merasa kecewa karena pasukannya pun cukup banyak yang gugur di medan perang.
“Melamun di saat berperang itu merupakan tindakan yang sangat ceroboh. Apa sekarang kau sedang menangisi pasukanmu yang mati?”
Maksimus terkejut bukan main begitu mendengar suara dari arah belakang, saat dia berbalik badan, sebuah pedang sudah ditebaskan ke arahnya. Beruntung refleks tubuh Maksimus cukup bagus sehingga dia bisa menangkis serangan mendadak itu tepat waktu. Dengan menggunakan pedangnya, dia berhasil menahan tebasan pedang Labhrainn, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya.
Wajah Maksimus mengerut, mengerahkan tenaga yang dia punya untuk mengimbangi tenaga Labhrainn yang begitu kuat karena selalu ditempa dengan latihan keras setiap hari. Terutama karena dia merupakan pemimpin Prajurit Guardian, tentunya kekuatannya melebihi prajurit yang lain.
“Jika kau tidak ingin mati maka mengaku kalah saja. Aku akan menarik pasukanku mundur jika kau mau mengaku kalah atas peperangan ini.”
Maksimus mendecih, tentunya tak sudi mengaku kalah seperti yang disarankan Labhrainn.
“Jangan kau pikir sudah menang. Kau lupa banyak pasukanmu yang mati karena serangan pasukanku tadi?”
Labhrainn mendengus disertai senyuman mencemooh yang tersungging dari sudut bibirnya, “Huh, tidak seberapa jumlah pasukanku yang gugur dibandingkan pasukanmu yang sebentar lagi akan dibantai habis pasukanku. Kau tidak percaya? Silakan lihat sekelilingmu.”
Meski kedua tangannya masih berusaha mati-matian menahan pedang Labhrainn yang seiring berjalan waktu semakin menekan dan memojokannya, Maksimus menyempatkan diri untuk menatap sekeliling. Benar, yang berjatuhan dan tumbang sehingga kini banyak jasad yang bergeletakan dengan kematian yang tragis karena tubuh mereka sudah tak utuh lagi itu merupakan pasukannya.
“Kau lihat itu, Maksimus? Dalam pertarungan jarak dekat, jelas pasukanmu bukan lawan yang sepadan untuk kami.” Labhrainn menyeringai, merasa di atas angin karena untuk peperangan kali ini sepertinya pasukannya menang telak.
“Cepat, katakan kalian menyerah sebelum semua pasukanmu mati dibantai pasukanku.”
Maksimus terkekeh, “Jika aku menolak?”
Labhrainn memiringkan kepala disertai seringaian yang terlihat semakin lebar, “Artinya persiapkan dirimu melihat semua pasukanmu hancur dan mati.”
Labhrainn berniat mengerahkan seluruh tenaganya untuk membunuh Maksimus karena menurutnya jika pria itu mati maka peperangan ini pun akan segera berakhir. Namun, rencana tinggal rencana saat suara terompet tiba-tiba terdengar.
Semua pasukan yang sedang saling menyerang itu pun seketika menghentikan gerakan, beralih menjadikan orang yang meniup terompet itu sebagai pusat atensi mereka.
Labhrainn mengernyitkan dahi saat menyadari pelaku yang menghentikan peperangan ini dengan suara terompetnya tidak lain merupakan putranya sendiri, putra kedua lebih tepatnya, Therion.
Melihat seluruh pasukan dari kedua kubu sudah berhenti melancarkan serangan, Therion berhenti meniup terompetnya. Pemuda berusia 15 tahun itu lantas mengeluarkan sebuah kain berwarna biru dari saku celananya. Lalu mengibarkan kain berbentuk persegi panjang itu berulang kali di udara. Itu sebuah tanda darinya yang hanya dipahami oleh Prajurit Guardian.
Senyum lebar seketika tersungging di bibir Labhrainn yang tahu persis maksud dari tindakan sang putra. “Kau beruntung karena aku yang memilih mengakhiri peperangan kita hari ini. Ini karena penerusku yang lain baru saja terlahir ke dunia. Apa kau tidak berniat mengucapkan selamat atas kelahiran putra ketigaku?” tanya Labhrainn, yang sama sekali tidak ditanggapi oleh Maksimus.
“Oh, aku dengar istrimu juga sedang hamil tua. Aku dengar juga dia sudah merasakan kontraksi, sepertinya anakmu juga akan segera menyusul terlahir ke dunia. Semoga kali ini anakmu seorang laki-laki yang gagah mengingat kau ini tidak memiliki penerus karena anakmu selalu perempuan. Untuk kali ini saja aku ikut mendoakan semoga anakmu yang ini laki-laki.”
Labhrainn menarik pedangnya yang masih bersinggungan dengan bilah pedang Maksimus. Menyeringai puas sebagai bentuk ejekan pada musuh bebuyutan yang menurutnya sial karena selalu memiliki anak perempuan, dia lalu mengangkat tangan untuk memberi komando pada pasukannya untuk mundur dari peperangan demi mereka bisa segera menyambut kelahiran putra ketiganya.
Maksimus memasukan kembali pedangnya ke dalam sarung yang terselip di pinggang begitu melihat pasukan Prajurit Guardian sudah berjalan menjauh. Dia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, menggeram marah dikala menemukan begitu banyak pasukannya yang tewas dalam kondisi yang mengenaskan. Ketika dia menoleh ke arah seberang, kini tangannya terkepal karena menemukan jumlah pasukan Prajurit Guardian yang tergeletak di atas pasir lebih sedikit dari pasukannya, yang mana artinya dalam peperangan kali ini lagi-lagi pasukannya yang kalah.
“Kak.”
Maksimus mengangkat satu tangan, menolak mendengar kata-kata penghibur dari adiknya. Maksimus hanya sedang memutar otak, memikirkan cara bagaimana agar pasukannya bisa keluar sebagai pemenang di peperangan selanjutnya karena setiap berperang selalu saja pasukannya yang kalah. Mungkinkah ini bukti bahwa Prajurit Guardian lebih kuat dari mereka? Walau hal ini sudah jelas, tapi Maksimus tak mau mengakuinya hingga detik ini. Tetap saja dia menganggap pasukannya jauh lebih baik dan tinggi derajatnya dibandingkan Prajurit Guardian yang hanya rakyat jelata, berbeda dengan Kaum Paladin yang merupakan keturunan bangsawan karena masih menjadi keturunan raja pendiri Earthland Kingdom. Mereka seolah lupa bahwa wanita yang melahirkan leluhur mereka dulu juga berasal dari rakyat jelata, yang tidak lain hanya seorang dayang istana yang tanpa sengaja dihamili oleh raja.
“Kak, kita juga lebih baik kembali ke kastil. Kakak Ipar pasti sedang membutuhkanmu. Dia juga akan melahirkan sebentar lagi.”
Mendengar Romulus berkata demikian, Maksimus menyadari yang dikatakan sang adik memang benar. Tak ada gunanya pula dia tetap berdiri di medan perang di saat musuh sudah pergi meninggalkan arena.
Maksimus mengangguk setuju, “Kuburkan pasukan yang gugur secara layak. Setelah itu kita kembali ke kastil.”
“Baik, Kak.”
Berbeda dengan Prajurit Guardian yang meninggalkan jasad rekan mereka yang mati begitu saja di medan peperangan sampai dimakan habis burung pemakan bangkai, karena bagi Prajurit Guardian, jika mati di medan perang maka jasad mereka pun harus ditinggalkan di sana sebagai bukti bahwa mereka memang mati di medan perang secara terhormat.
Sedangkan Kaum Paladin berpikir lain, mereka selalu menghormati rekan yang tewas karena gugur dalam mempertahankan nama baik mereka sebagai keturunan bangsawan. Semua jasad akan dikuburkan secara layak tepat di bawah pasir tempat jasad itu tergeletak.
Maksimus dan Romulus melangkah pergi menuju kastil, meninggalkan pasukannya yang mengerjakan tugas untuk menguburkan jasad rekan-rekan mereka yang telah gugur.
***
Labhrainn dan Leicester berjalan cepat menuju sebuah tenda karena para Prajurit Guardian tinggal di camp-camp menyerupai tenda yang didirikan tepat di dekat istana. Sebenarnya Istana Utama Earthland Kingdom, Kastil Kaum Paladin maupun Camp Prajurit Guardian didirikan berdekatan di mana letak Kastil Kaum Paladin berdiri kokoh di sebelah kiri Istana Utama, sedangkan Camp Prajurit Guardian didirikan di sebelah kanan Istana Utama. Sayang seribu sayang, Kaum Paladin dan Prajurit Guardian yang bahkan kerap kali saling berpapasan di kehidupan sehari-hari harus selalu terlibat peperangan hanya karena keduanya sama-sama memiliki ego tinggi dan tak mau saling mengakui keunggulan serta kekurangan masing-masing. Menganggap mereka lebih baik dari yang lain.
Keluarga inti kerajaan pun terlihat enggan mengurusi konflik yang sudah terjadi selama ribuan tahun lamanya antara Prajurit Guardian dan Kaum Paladin karena mereka lebih mementingkan urusan pemerintahan di dalam kerajaan. Hal ini menjadi salah satu pemicu selama ribuan tahun peperangan selalu terjadi antara dua kubu yang menjadi musuh bebuyutan tersebut.
Kembali lagi pada Labhrain dan Leicester yang memasuki sebuah tenda yang terlihat ramai karena banyak orang berkerumun, Labhrainn mengulas senyum lebar saat melihat seorang wanita cantik tengah duduk di atas tempat tidur sambil menggendong seorang bayi.
“Berikan padaku. Berikan,” pinta Labhrainn dengan semangat meminta keturunan ketiganya yang baru terlahir ke dunia itu untuk berpindah dalam dekapan hangatnya.
Sang istri hanya tersenyum, menyadari betapa bahagia suaminya hingga datang untuk menemui bayi yang baru dia lahirkan tanpa mengganti pakaian perangnya, bahkan cipratan darah terlihat masih ada di tubuhnya, aroma keringat dan darah yang menyengat masih menguar dari tubuh sang suami, tapi dia tak mempermasalahkan hal itu, sebaliknya dia bangga karena suaminya merupakan prajurit gagah berani.
Adreana, nama istri Labhrainn yang sudah melahirkan tiga keturunan pria itu menyerahkan bayinya tanpa ragu pada sang suami. Labhrainn begitu hati-hati saat menerima bayi mungil tersebut.
“Wah, dia tampan sekali,” kata Labhrainn, kagum dengan ketampanan putranya.
Leicester yang penasaran ingin melihat wajah sang adik, ikut mengintip dari balik bahu sang ayah. “Benar. Anak ini sangat tampan. Kenapa aku merasa dia tidak mirip dengan kita ya?”
Suara gelak tawa kini membahana di dalam tenda.
“Itu artinya anak ini akan menjadi pangeran di dalam camp ini jika sudah dewasa nanti,” ucap Labhrainn, merasa bangga karena putra ketiganya memang memiliki paras yang lebih tampan dari dirinya maupun kedua putranya. “Bukan hanya tampan tapi anak ini akan menjadi prajurit yang sangat kuat di masa depan nanti. Aku sangat yakin karena dia adalah keturunanku.”
“Berikan nama untuknya, Suamiku. Kami semua sudah tidak sabar menantikan nama yang kau berikan untuknya.”
Labhrainn menganggukan kepala begitu mendengar permintaan sang istri. Benar, ini saatnya dia memberikan nama untuk anak itu. Lama Labhrainn berpikir sambil menatap paras tampan sang bayi. Hingga dia tersenyum kecil dan berkata, “Northcliff. Nama anak ini Northcliff.”
Di tempat lain, kegembiraan yang sama tengah dirasakan. Di dalam kastil mewah milik Kaum Paladin, seorang bayi baru saja dilahirkan. Maksimus terharu, sama sekali tidak merasa kesal ataupun marah begitu mengetahui anak kedua yang dilahirkan istrinya lagi-lagi berjenis kelamin perempuan. Bayi itu sangat cantik dengan kulit yang bersinar seolah memancarkan cahaya. Tanpa ragu Maksimus menggendong putrinya yang beberapa menit yang lalu baru saja terlahir ke dunia.
“Berikan nama untuknya, Suamiku,” pinta Alfieta yang merupakan istri Maksimus.
Tak membutuhkan waktu lama bagi Maksimus untuk menemukan nama yang cocok untuk putri cantiknya karena dalam hitungan menit dia berkata, “Courtney. Bayi cantik ini bernama Courtney.”
Semua orang di dalam ruangan itu tersenyum haru, menyetujui sepenuhnya nama yang diberikan Maksimus.
Tak ada seorang pun yang tahu bahwa kedua bayi yang baru terlahir itu merupakan reinkarnasi dari penghuni Caelum. Crawford yang kini terlahir sebagai Northcliff serta Jacqueline, sang bidadari cantik yang kini terlahir sebagai manusia bernama Courtney.