Irina langsung berlari keluar begitu mendengar suara motor yang memasuki halaman rumah. Bocah itu tersenyum lebar menatap Key yang turun dari motor milik Tristan.
"Kakak beli es krimnya gak?" Irina langsung bergegas mendekati kakaknya saat ia melihat kantung kresek.
"Iya dong. Kan, ini pesenan Irina." Key mengusap puncak kepala Irina dan memberikan dua buah es krim pada sang adik.
Irina berseru senang seraya mengangkat kedua es krim di tangannya.
"Itu dibeliin sama Kak Tristan lho. Ayo, bilang apa?" Key mencolek ujung hidung Irina dengan telunjuk.
"Beneran? Makasih, Kak!" Kedua mata bulat Irina menatap Tristan dengan berbinar.
Tristan tersenyum seraya mengusap puncak kepala gadis itu, "Sama-sama. Tapi inget, ya. Jangan terlalu banyak makan es krim, nanti bisa sakit perut," ujarnya.
"Hehe, oke!" Irina kemudian meminta tolong pada Key untuk membuka bungkus es krimnya.
"Mau mampir dulu, Tris?" tawar Key.
"Enggak usah. Gue langsung pulang aja. Salam buat Tante Karin."
"Oke deh. Hati-hati."
Irina melambaikan tangannya pada Tristan yang sudah menjauh. Ia kemudian kembali ke dalam rumah bersama dengan Key.
"Mama mana?" tanya Key usai mereka sampai di dalam. Gadis itu tak menemukan Karin di sofa.
"Mama lagi tidur. Oh, iya, Kak. Kak Ravano mana? Kok pulangnya enggak bareng?"
"Kak Ravano lagi ke rumah temennya buat ngerjain tugas." Key meletakkan kantung kresek berisi camilan yang tadi dibelinya itu ke atas meja lalu berjalan menuju kamarnya, sementara Irina kini berlari ke dapur untuk menyimpan es krim ke dalam freezer, kemudian kembali menonton film kartun di televisi dengan salah satu tangan yang memegang es krim yang sudah dibuka tadi.
Sementara itu Key masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian yang lebih santai. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya di tempat tidur dan mengecek notifikasi yang masuk ke ponselnya.
"Tapi kalo ternyata orang itu beneran punya masalah sama lo gimana? Mungkin lo pernah nyinggung dia tapi gak inget."
Key terdiam sejenak usai mengingat ucapan Ravano saat menemuinya tadi. Tangan Key kemudian bergerak mengusap kepalanya yang tadi terkena lemparan botol itu.
"Orang yang punya masalah sama gue? Tapi siapa? Apa mungkin beneran Silvi?" gumam Key. Ia termenung selama beberapa saat, namun buru-buru menyingkirkan pikiran itu.
"Ngapain juga dia gangguin gue lagi. Tapi kayaknya gak ada salahnya juga kalo gue masih harus waspada sama dia. Apalagi sekarang hubungan gue sama Ravano udah baikan, bisa aja dia ngambil kesempatan ini buat ngerusak semuanya lagi," tambahnya.
Tak ingin memikirkan hal itu lagi, Key memilih pergi dari kamarnya. Apapun alasan orang itu, jika memang menyangkut dirinya dan Ravano, Key memang tak bisa tinggal diam begitu saja.
Kedua kaki Key bergerak menuruni satu per satu tangga dan berjalan mendekati Irina yang terlihat masih sibuk menonton televisi. Ia duduk di sebelah Irina kemudian mengambil salah satu camilan yang tadi sudah dibelinya.
*
Tristan berjalan memasuki rumahnya dan lelaki itu langsung disambut oleh asisten rumah tangganya yang sedang mengelap beberapa pajangan.
"Mas, kata bapak, malem ini ibu sama bapak pulang telat, ada acara sama klien."
"Oke!" Tanpa menghentikan langkahnya, Tristan langsung berjalan memasuki kamarnya. Lelaki itu melempar tasnya ke sofa yang ada di kamarnya dan bersamaan dengan itu, ponsel yang berada di dalam saku celananya berdering.
Tristan menatap kontak salah satu temannya di sana dan lelaki itu segera mengangkat panggilannya.
"Hm. Kenapa?"
"Sibuk gak, Tris?"
"Enggak sih, gue baru aja sampe ke rumah. Kenapa?"
"Ke sini dong, lo kayaknya sekarang sibuk pacaran sama cewek lo." Terdengar tawa beberapa temannya di belakang sana.
Salah satu alis Tristan kemudian naik, "Sialan. Ntar malem aja deh."
"Oke. Kita tunggu, awas lo, ya!"
"Hm. Oh, iya. BTW anak-anak Panca gimana? Masih nyari-nyari masalah sama Taruna, gak?"
"Sejauh ini aman-aman aja sih. Gue rasa udah beneran clear. Cuma kalo papasan di jalan masih kayak punya dendam kesumat gitu lah."
"Gitu, ya. Pokoknya selama mereka gak nyerang duluan, lo semua diem. Gue gak mau masalah ini makin lebar lagi," ujar Tristan. Sejak dirinya pindah sekolah— dikeluarkan dari sekolah lamanya lebih tepatnya, pergerakannya untuk memantau murid-murid dari SMA Panca menjadi agak terbatas. Tapi di sisi lain, ia masih bisa bernapas dengan lega karena teman-temannya tak ikut dikeluarkan dari sana.
Awalnya pihak sekolah memang berniat mengeluarkan teman-temannya juga namun Tristan dengan segera bertindak dan lelaki itu langsung mengajukan diri agar hanya dia sendiri yang dikeluarkan, tanpa adanya keraguan sama sekali walaupun hal itu sangat berisiko baginya karena harus menghadapi kemurkaan sang ayah.
Terdengar tak adil, namun itu keputusan Tristan sendiri. Karena memang ia merasa menjadi sosok yang paling bersalah atas kasus tawuran itu. Ia pun memberi teman-temannya perintah agar mereka tak langsung menyerang jika murid-murid dari Panca itu tidak menyerang terlebih dulu.
Dan tanpa pikir panjang pula Tristan memohon kepada ayahnya agar dipindahkan ke SMA Pelita, tempat di mana Keanna bersekolah. Bahkan ia sendiri yang meminta agar dimasukkan ke dalam kelas yang sama dengan gadis itu.
Agak gila, memang. Tapi uang bisa berbuat sesukanya.
Tristan sendiri tak menyangka kalau ia akan bertemu dengan gadis yang sama ketika dirinya pulang naik angkot karena motornya masih di bengkel. Gadis yang semula terlihat ketakutan saat dikelilingi laki-laki itu secara mengejutkan berubah menjadi berkali-kali lipat berani begitu muncul di tengah-tengah tawuran dan bahkan menjadi pahlawan bagi Tristan saat itu walau setelahnya tangan Key bergetar hebat.
Tristan merasa berdosa sekali karena sudah melibatkan gadis baik seperti itu. Namun siapa sangka, kalau gadis baik itu, justru kini menjadi miliknya? Walau proses yang ia tempuh cukup membuatnya kesulitan karena ia benar-benar harus ikut turun tangan menghadapi masalah Key yang tak biasa.
Usai sambungan telepon ditutup, Tristan menjatuhkan tubuhnya ke atas permukaan tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya.
"Pokoknya setelah ini, jangan sampe gue ngelibatin Keanna lagi," lirih Tristan. Ia pun berharap kalau masalahnya semasa di Taruna tidak ikut merambat ke sekolahnya yang baru. Apalagi dengan keberadaan Keanna yang semakin dekat dengannya, ia tak bisa berbuat banyak. Di samping itu, ia juga tak mau kehilangan kepercayaan Ravano padanya. Bukanlah hal yang mudah untuk mendapat kepercayaan lelaki itu, mengingat perubahan drastis status Ravano dan Keanna, juga beberapa kali ia harus rela babak belur untuk meyakinkan Ravano yang kini statusnya menjadi kakak tiri dari Key.
Namun begitu mendengar kalau murid-murid dari Panca itu tak lagi berbuat ulah, ia bisa sedikit bernapas lega.
—tbc