Pagi ini keluarga Handoko kembali dibuat bingung saat melihat Key yang sedang membantu Karin menyiapkan sarapan. Sementara Irina yang juga sudah ada di sana sesekali mengajak Key dan Karin bicara.
"Rav, Papa kok jadi curiga sama Keanna, ya?"
Ravano yang berdiri tepat di sebelah Handoko pun menoleh. "Curiga kenapa, Pa?"
"Sikap Key itu terlalu sering berubah akhir-akhir ini. Kadang dia kayak biasanya, kadang dingin sampe gak mau diajak ngomong. Dia di sekolah juga kayak gitu?"
Mendengar itu, Ravano tertawa pelan. "Aku juga sempet ngerasa aneh sih, Pa. Tapi aku coba maklum aja. Key kan masih belajar adaptasi, jadi kadang kalo mood-nya bagus ya dia kayak sekarang. Ditambah lagi dia itu moody-an banget jadi sikapnya gampang banget berubah. Papa gak usah khawatir, aku pasti jagain Key kok."
Handoko tersenyum dan menepuk pelan bahu Ravano. Mereka pun segera duduk di meja makan.
"Tumben rajin," sindir Handoko seraya melirik Key yang tengah menata makanan. "Nanti seragam kamu kotor loh."
"Papa gak usah ngajak ribut. Ini masih pagi," sahut Key.
"Udah, kamu langsung sarapan aja. Udah siang, nanti kamu telat. Mama masih siapin bekal buat Irina."
"I-iya." Setelah mencuci tangannya, Key segera menarik salah satu kursi di sebelah Irina.
Karin sempat meliriknya dan wanita itu tersenyum. Meskipun terkadang Key masih bersikap dingin padanya, namun dia sedikit merasa lega karena gadis itu tengah berusaha menerima. Sepertinya kejadian kemarin begitu membekas hingga Key seperti ini. Apalagi kemarin dia sampai pergi ke kamar Irina. Gadis itu pasti merasa bersalah.
"Rav, pokoknya kamu harus selalu pulang sama Keanna, ya?"
Ravano dan Keanna sontak langsung menatap satu sama lain. "Kenapa emangnya, Ma? Kalo aku ada janji dulu sama temen gimana?" tanya Ravano.
"Ya kamu harus anterin dulu Key pulang. Jangan kayak waktu itu. Kamu nganterin cewek lain dan malah ngebiarin Key pulang sendiri naik angkot. Kamu kan tahu kalo Key gak bisa naik angkot sendirian."
"Eh? Gak apa-apa kok. Lain kali aku bakalan naik taksi," ucap Key.
"Tapi tetap aja, kalian harus berangkat sama pulang bareng. Jadi Mama gak khawatir. Apalagi Mama denger minggu kemarin katanya ada tawuran. Kalo Key kenapa-kenapa pas lagi sendirian gimana?" Karin memasukkan kotak bekal dan sebotol air ke dalam tas milik Irina.
Uhuk! Uhuk!
Kedua remaja itu tersedak secara bersamaan, membuat Karin menatapnya bergantian dengan kedua alis bertaut.
"Minum, Kak. Makannya pelan-pelan." Irina langsung menyodorkan segelas air pada Key.
"Kalian kenapa?" tanya Handoko.
"E-enggak, Pa. Kaget aja pas Mama bilang ada tawuran." Ravano langsung minum dan berusaha menenangkan dirinya.
"Pokoknya kalian harus bareng. Mama tahu situasi kalian sekarang kayak gimana. Mama bukannya mau mempersulit kalian berdua, tapi ini demi keselamatan kalian. Inget, kalian berdua sekarang anak Mama."
Ravano dan Key sempat terdiam dan menatap satu sama lain. Namun Key dengan cepat menunduk dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
"I-iya, Ma."
***
Parkiran terlihat mulai penuh saat Tristan datang. Lelaki itu melepas helmnya dan sedikit merapikan seragamnya begitu turun. Bibirnya perlahan tersenyum saat melihat Key di depan sana. Dia hendak memanggil gadis itu, namun segera dia urungkan saat menyadari kalau Key tidak sendiri. Gadis itu terlihat bersama dengan Ravano.
"Ravano sama Keanna itu saudara."
"Tiri."
Kedua mata Tristan melihat dengan jelas saat tangan Ravano terangkat dan mengelus puncak kepala Key sebelum akhirnya mereka pergi dari sana dengan Key yang berjalan di depan Ravano.
"Key jarang banget nunjukin ekspresi setiap kali sama Ravano," gumam Tristan sebelum pergi dari sana.
"Lo pindahan dari mana sih?" tanya seseorang tiba-tiba hingga Tristan menoleh. Dia melihat murid kelas dua belas yang kemarin mengajaknya bicara.
"SMA Taruna." Tristan membuang pandangannya ke arah lain, merasa tidak tertarik berbicara dengan Silvi.
"Kayaknya baru masuk aja udah deket banget sama Keanna."
Tristan mengerutkan keningnya dan kembali menoleh. "Maksud lo?"
"Ekhem! Kalo lo mau deket sama Key, gue bisa bantu kok. Gimana pun caranya, asalkan dia gak nempelin Ravano terus."
"Ravano?" Salah satu Tristan naik, Silvi mengangguk. "Lo suka sama Ravano?"
Silvi membuang napasnya. "Udah lama sih, tapi Ravano keburu ngedeketin Key waktu itu. Mereka pun jadi tambah deket, dan jalan buat gue keburu ketutup."
"Deket? Bukannya mereka emang saudara? Jadi wajar lah kalo deket."
Silvi hampir saja tertawa mendengar ucapan Tristan. "Jadi lo udah tahu, ya? Denger, ya. Ravano sama Keanna itu dulu hampir pacaran, tapi orang tua mereka ternyata saling jatuh cinta juga dan akhirnya menikah tanpa tahu kalau sebenernya anak-anak mereka ngalamin hal yang serupa. Dan Key berubah jadi jauhin Ravano, tapi Ravano enggak. Dia tetep di sisi Key. Intinya sih, mereka sekarang lagi sama-sama belajar move on tapi sering gagal."
Lagi dan lagi Tristan dibuat terkejut. Kini dia mulai paham. Pantas jika Key selalu bersikap berbeda saat bersama Ravano, begitu pula sebaliknya.
Mereka masih sama-sama nyimpen perasaan, batin Tristan.
"Jadi gimana?" tanya Silvi hingga Tristan tersadar dari lamunannya.
"Lo bisa deket sama Key, dan gue juga bisa deket sama Ravano. Anggap aja kalo kita berdua lagi bantuin mereka buat move on," lanjutnya seraya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a.
"Gue gak tertarik sama sekali. Sori." Tristan berjalan mendahului Silvi dan langsung bergegas menaiki tangga.
"Loh? Kok gitu?" Silvi menatap Tristan yang menjauh. Awalnya dia berpikir kalau Tristan bisa digunakan untuk melancarkan rencananya tapi ternyata reaksi lelaki tidak sesuai ekspetasinya.
"Dasar aneh." Tristan tiba di lantai dua dan berjalan menuju kelasnya.
"Tristan!" panggil seseorang. Tristan menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Adel terlihat berlari ke arahnya.
"Gue barusan lihat lo ngobrol sama si nenek sihir di bawah. Dia ngomongin apa aja?"
Kedua mata Tristan mengerjap. "Nenek sihir? Ah, cewek kelas dua belas itu?"
Adel mengangguk. "Pokoknya kalo dia ngomongin hal-hal aneh sama lo, jangan—"
"Gue udah tahu semuanya kok, Del."
"Hah?"
"Gue tahu kok. Ravano sama Key itu sebenernya saudara tiri, kan?"
Adel terbengong-bengong sendiri. "Lo tahu dari mana?" tanyanya.
"Dari cowok yang kemarin sama Ravano. Siapa ya? Hm ... Kinn kalo gak salah."
Adel memutar kedua matanya. "Pantesan."
"Gue juga tahu kalo cewek tadi suka sama Ravano. Pantesan aja kemarin dia tiba-tiba ngajakin gue ngomong dan langsung bahas soal Ravano sama Key. Tapi Kinn tiba-tiba dateng dan langsung nyuruh gue buat gak dengerin omongan tuh cewek."
"Huft, bagus deh. Pokoknya kalo dia ngomongin hal-hal aneh, gak usah dengerin. Apalagi kalo sampe dia ngajakin lo buat ngejalanin rencananya. Jangan mau, Tris. Inget, ajakan setan itu gak ada yang bener."
Kini Tristan yang dibuat diam. Dia lalu menatap Adel yang berjalan mendahuluinya.
Sebegitu menyebalkannya kah Silvi sampai membuat seorang Adel menyebutnya setan?
— To be continued