Key berjalan menuju meja makan dengan Irina yang berada di dalam gendongannya. Gadis kecil itu merentangkan kedua tangannya dan membuat suara layaknya pesawat terbang. Dia bersorak saat Key mengajaknya memutari meja makan selama beberapa saat, membuat kedua orang tua mereka tersenyum.
"Awas jatuh," tegur Handoko seraya mendudukkan dirinya di salah satu kursi.
"Yeeeyyy~ sampai." Perlahan Irina turun dari punggung Key dan duduk di kursi.
"Eitsss ..." Key menggerakkan telunjuknya ke kanan dan kiri, hingga Irina menatap kedua tangannya dan tersenyum lebar. Keduanya lalu berjalan menuju wastafel dan mencuci tangan. Karin yang melihat itu tersenyum simpul. Dia begitu bersyukur karena sikap Key pada Irina tidak pernah berubah.
"Kak Ravano mana?" tanya Irina saat menyadari kalau kursi di sebelahnya masih kosong.
"Lagi ngerjain PR kayaknya," ucap Handoko.
Key melirik kursi Ravano selama beberapa saat. Gadis itu mengerjap saat benda itu tiba-tiba ditarik ke belakang oleh sang pemilik. Kedua matanya sempat bertumbukkan dengan mata Ravano namun lelaki itu langsung memutus kontak mata mereka dan segera duduk.
"Nungguin Kakak, hm?" Ravano tersenyum tipis dan mengacak puncak kepala Irina.
"Kak Ravano tumben telat," celetuk gadis kecil itu.
"Emang kenapa kalo telat? Mau dikasih hukuman?" Kakaknya terkekeh.
"Nanti kalo telat lagi, Papa suruh lari keliling halaman rumah," sambung Handoko hingga mereka tertawa. Kecuali Key.
Suasana makan malam dihiasi celotehan Irina, seperti biasa. Gadis itu sesekali akan bercerita tentang kesehariannya di sekolah atau yang lainnya. Dan tidak jarang pula Handoko menegurnya.
Piring dan gelas yang kotor diletakkan ke dalam wastafel ketika selesai makan, bersama dengan beberapa peralatan masak yang juga kotor.
"Mama, HP-nya bunyi terus. Ada telepon dari Tante!" Irina berteriak dari ruang TV.
"Iya, bentar."
"Biar aku aja yang nyuci piring. Teleponnya angkat aja," ucap Key.
"Beneran? Nanti Mama bantuin ya, kalo udah selesai." Karin segera mencuci tangannya dan kembali menyahut saat Irina kembali memanggilnya. Wanita itu segera pergi ke ruang TV.
Key menatap punggung Karin yang menjauh. Dia menghela napas. Sampai detik ini Key bahkan masih belum bisa memanggilnya dengan panggilan mama.
Gadis itu mulai menyabuni satu per satu gelas kotor. Cucian kotor sedikit lebih banyak dari biasanya hingga ada beberapa yang diletakkan di luar wastafel. Saat hendak menyabuni spons, Key tanpa sengaja menyikut salah satu gelas. Gadis itu terkejut saat sebuah tangan menangkap benda itu dengan sigap. Key menolehkan wajahnya dan mendapati Ravano yang berdiri tepat di belakangnya. Lelaki itu meletakkan gelas tadi ke dalam wastafel.
"Lo ngapain?" tanya Key begitu melihat Ravano merebut spons yang dipegangnya dan mulai menyabuni gelas dan piring kotor.
"Lo yang bilang," ucap Ravano pelan.
"Gak usah. Lo pergi aja, ini biar gue yang—" kalimat Key terhenti saat Ravano menatapnya. Dia yang semula hendak mengambil kembali spons itu pun langsung mengurungkan niatnya dan mulai membilas satu per satu peralatan makan.
"Lo yakin?" tanya Ravano tiba-tiba, membuat kening Key berkerut. "Soal apa?" tanya gadis itu.
"Tristan."
Key berkedip. Dia kembali fokus pada kegiatannya, "Yakin."
Gerakan tangan Ravano di permukaan piring terhenti. Lelaki itu melirik Key dengan kedua sudut matanya.
"Lagian lo juga gak protes, kan? Itu artinya lo ngizinin gue ngelakuin apa yang gue mau," ucap Key. "Gue juga gak bakalan larang lo deket sama siapa pun lagi. Kita punya urusan masing-masing sekarang."
Kedua mata mereka saling bertumbuk.
***
Key mendudukkan tubuhnya di tepian ranjang dan terkejut saat terdapat banyak sekali notifikasi dari Adel. Lalu tidak lama kemudian sahabatnya itu kembali meneleponnya.
"Apaan?" tanya Key.
"Lo beneran jadian sama Tristan?"
Key berkedip, "Kata siapa lo?"
"Ravano. Beneran?"
Key menghela napas, dasar ember.
"Hm."
"Kok lo gak bilang-bilang sama gue?!"
Key secara reflek menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Tadinya gue mau kasih tahu lo besok."
"Key, lo yakin soal ini? Keputusan lo bisa bikin Tristan sakit hati, Key. Kalo suatu saat nanti lo nyakitin dia gimana? Lo pake dia buat pelampiasan artinya."
Key kembali membuang napas, emang itu yang sekarang lagi gue pikirin.
"Dia sendiri yang nyerahin diri ke gue, Del. Bukannya lo juga tahu gimana kejadian pas Tristan dipukul Ravano? Harusnya lo lebih tahu dari gue."
"Key, tapi ini terlalu mendadak. Ravano beneran kasih izin?"
"Kita sama-sama udah dewasa dan punya urusan masing-masing, Del."
"Tapi— ah, ya ampun. Sekarang lo lihat, kan? Ucapan gue terbukti. Tristan dateng ke sekolah kita itu bukan tanpa sebab. Dia emang di-DO. Dan dia sendiri yang pengin pindah ke sekolah kita."
"Hm."
"Sekarang gue tanya sama lo. Lo yakin soal ini? Lo sama sekali gak ada ada perasaan sama dia, Key."
"Perasaan itu bisa datang kapan aja, Del. Udah, ya. Gue mau beresin bahan-bahan praktikum. Takutnya besok ketinggalan."
"Key, tapi—"
Pip.
***
Suasana meja makan tampak hening begitu Key datang. Hanya terdengar suara peralatan makan yang beradu pelan.
"Pagi, Kak Key," sapa Irina dengan senyuman lebar. Pagi ini rambut gadis itu tampak dikuncir dua, terlihat begitu menggemaskan.
"Pagi, Irina." Kedua mata Key lagi-lagi mendapati kursi Ravano dalam keadaan kosong. Key sempat berpikir kalau Ravano memang telat datang seperti biasa, namun gadis itu dibuat bingung saat batang hidung lelaki itu tidak juga terlihat bahkan saat dirinya selesai sarapan.
"Ravano ke mana?" tanya Key pada akhirnya. Dia menatap kedua orang tuanya.
"Loh, Kak Ravano kan udah berangkat duluan," ucap Irina hingga Key langsung menatapnya.
"Hah? Udah berangkat?" Key menatap sebuah jam yang terpajang di salah satu dinding. "Tapi ini masih pagi banget."
Apa Ravano marah sama gue? batin Key.
"Loh, emangnya dia gak bilang dulu ke kamu?" tanya Karin, Key menggeleng. "Katanya ada janji sama Kinn."
"Kok dia gak bilang sih? Terus gue berangkat sama siapa?" Key mendengus sebal begitu mengecek ponselnya. Ravano sama sekali tidak memberitahunya, bahkan tidak mengirimkan pesan.
"Dia udah sarapan?" tanya Key.
"Cuma minum s**u. Mama titip ini ya, tolong kasih ke Ravano." Karin memberikan sebuah kotak bekal kepada Key. Putrinya mengangguk dan memasukkan benda itu ke dalam tasnya. Masih kesal, dia meminum air dengan tergesa.
"Pelan-pelan, Key." Handoko menegur.
Ponsel milik Key bergetar begitu sebuah pesan masuk. Masih dengan gelas yang menempel dengan bibir, gadis itu segera membuka pesannya.
From : Tristan Arova
Gue udah di depan rumah lo.
UHUK!
Semua orang seketika menatap Key.
"Kak, makanya kalo minum tuh pelan-pelan." Irina mengelus punggung kakaknya.
"Kenapa, Key?" tanya Handoko. Namun bukannya menjawab, Key malah langsung berdiri dan berlari pergi. Namun tidak lama kemudian dia kembali dan menyalami kedua orang tuanya, juga Irina yang kebingungan dengan tingkah sang kakak.
"Aku berangkat dulu," ucap Key.
"Berangkat sama siapa, Key?" tanya Handoko, namun sama sekali tidak dijawab. Putrinya sudah menghilang dari pandangannya.
"Apa Ravano balik lagi?" gumam Karin seraya berjalan ke arah jendela.
"Ravano udah berangkat dari tadi. Kayaknya gak mungkin, dia pasti udah sampai di sekolah," ucap Handoko.
"Kak Key sama Kak Ravano marahan lagi?" tanya Irina. Handoko tersenyum gemas, "Enggak kok. Mereka gak lagi marahan. Kak Ravano lagi buru-buru aja kayaknya tadi."
"Pa," panggil Karin. Dia memberi kode agar suaminya segera mendekat, namun Irina lebih dulu beranjak dan langsung berlari menghampiri mamanya.
"Key berangkat sama laki-laki," ucap Karin. Handoko menyipitkan kedua matanya melihat laki-laki asing yang bersama Key.
"Loh, itu kan Kak Tristan," celetuk Irina hingga kedua orang dewasa itu menatapnya.
"Kamu tahu?" tanya Karin.
Irina mengangguk, "Kak Tristan pernah nganterin Kak Key pulang. Katanya, Kak Tristan itu temen barunya Kak Key di sekolah."
"Temen baru?" Karin dan Handoko saling bertukar pandangan.
— To be continued