40. Hilang Kendali

1195 Kata
"Lo tahu, Key tadi kelihatan sedih pas lo pergi. Bahkan gue, yang bukan siapa-siapa ini ngerasa kasihan sama Key dan gue rasa lo emang gak seharusnya kayak gitu sama Keanna. Inget kan, kalau di sini bukan cuma salah satu di antara kalian aja yang ngerasa sakit, tapi kalian berdua juga ngerasain hal yang sama. Lo pikir gampang saat Key mutusin buat nerima semuanya? Enggak, Rav. Gue yakin kalo Key bener-bener ngalamin kesulitan saat itu dan apa? Dan dia berhasil berdamai dengan semuanya walau secara perlahan. Dan sekarang, ketika semuanya udah berjalan sesuai dengan apa yang lo harapin sejak lama udah terealisasikan, apa yang lo lakuin, Rav? Lo dengan seenaknya malah nyuruh Key buat pergi lagi, lo nyuruh dia buat jauhin lo lagi." "Lo juga udah lepasin Key buat Tristan, kan? Dan sekarang yang gue harapin adalah, semoga aja ketika Key bener-bener pergi, lo gak akan nyesel saat dia udah gak mau kembali lagi. Inget, Rav. Keanna juga terluka di sini dan bukan hanya lo." Ravano menyandarkan punggungnya di kursi belajar miliknya. Ia baru saja memejamkan kedua matanya sebelum suara ketukan yang berasal dari arah pintu kamarnya itu kembali menyadarkannya. Pemuda itu pun segera beranjak dari tempatnya dan berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Semula ia berpikir kalau yang datang adalah mamanya, namun dugaannya salah karena yang berada di balik pintu itu adalah Irina. "Eh, Irina. Kenapa hm?" Ravano langsung berjongkok di hadapan gadis kecil itu untuk menyamai tinggi badannya. Irina terdiam selama beberapa saat hingga pada akhirnya gadis itu berujar dengan nada pelan, "Kak Ravano sama Kak Key berantem lagi, ya?" tanya gadis kecil itu. Kedua mata Ravano kemudian berkedip dua kali dan ia pun segera menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "A-ah, enggak kok. Kita berdua enggak berantem," ujarnya berusaha meyakinkan. Ravano kemudian mengusap puncak kepala Irina dengan gerakan lembut. "Terus kenapa tadi pas makan malam kalian berdua diem aja? Kan biasanya juga bercanda bareng. Kak Keu juga tadi pulang sekolahnya dianter sama Kak Tristan, biasanya sama Kakak." Napas Irina perlahan terdengar semakin tak teratur, menandakan kalau gadis itu saat ini mulai menahan sesuatu yang ada di dalam dirinya. "Oh, itu. Tadi Kakak ada urusan jadi gak bisa pulang bareng sama Kak Key. Udah ya, Irina jangan mikirin yang enggak-enggak. Hm ... kamu ada PR enggak? Kalo ada, ayo Kakak bantu ngerjain." Ravano menarik pelan salah satu permukaan pipi chubby milik Irina. "Udah dikerjain kok. Tadi dibantu sama Kak Key," ujar Irina. "Ah, gitu ya. Bagus deh, kalo gitu udah dulu, ya. Kakak masih mau ngerjain tugas. Irina kalo udah ngantuk, langsung tidur, ya. Terus jangan lupa nyikat gigi dulu," ujar Ravano Irina kemudian menganggukkam kepalanya dan gadis itu pun kemudian melangkahkan kedua kakinya pergi dari sana. Lalu begitu melewati satu per satu anak tangga, ia berpapasan dengan Key yang memang tampaknya hendak pergi ke atas. "Loh, Irina ternyata belom tidur. Kak Key pikir Irina udah pergi ke kamar buat tidur," ujar Key. Salah satu tangannya kemudian menyentuh puncak kepala Irina. Irina lantas menggelengkan kepalanya pelan. Namun di detik berikutnya Key langsung sadar kalau memang ada gang benar-benar aneh dengan Irina saat itu. Akhirnya gadis itu pun berjongkok di depan gadis kecil itu untuk menatap wajahnya secara langsung dan ia pun memang agak terkejut di detik berikutnya. Kedua mata Key berkedip pelan saat ia sudah benar-benar bisa melihat wajah Irina Irina yang sedari tadi menunduk. Mungkin bagi orang lain, gadis itu bahkan terlihat tak apa-apa terlihat baik-baik saja namun di depan kedua matanya, Keanna justru bisa langsung bisa menebaknya dengan sangat mudah. Irina mungkin tak benar-benar menangis, dan bahkan gadis itu tak meneteskan air matanya sama sekali namun Key bisa tahu kalau gadis kecil yang baru saja menginjak usia ke tujuh tahun itu memang tak baik-baik saja karena wajahnya terlihat cukup murung dari biasanya. "Irina kenapa hm? Mau cerita ke Kak Key?" ujar Key kemudian. Gadis itu menangkup kedua sisi wajah Irina namun di detik berikutnya gadis itu langsung melepaskan kedua tangannya dan membuang napas pelan. Secara mengejutkan, Irina justru terlihat menarik kedua bibirnya ke atas hingga benar-benar membentuk membentuk sebuah lengkungan ke atas dan itu benarlah sebuah senyuman. Irina menggelengkan kepalanya pelan dengan seulas senyuman tipis di permukaan bibirnya. "Aku enggak kenapa-napa kok, Kak, hehe. Emm ... kalo gitu aku mau kembali ke kamar aja deh ya, Kak, udah ngantuk. Kak Key juga harus langsung tidur, jangan kemaleman. Dadah Kak Key~" Gadis kecil itu melambaikan tangannya pada Key usai melepaskan kedua tangan milik kakaknya yang masih menangkup kedua sisi wajahnya itu. Irina kemudian berpamitan tidur dan melangkahkan kakinya kembali menaiki satu per satu anak tangga yang sudah ia turuni dan naik kembali lalu berjalan kembali menuju kamarnya untuk segera tidur. "Irina kenapa, ya? Kayaknya ada yang aneh sama dia. Entah kenapa kayaknya aku ngerasa kalau Irina lagi ngerasa sedih. Padahal pas makan malam tadi dia masih baik-baik aja," gumam Key seraya menatap punggung Irina yang menjauh. Kemudian gadis itu pun membuang napasnya pelan dan berjalan ke kamarnya sendiri. Kedua kaki Key sempat berhenti saat ia hendak memasuki kamarnya. Gadis itu sempat terdiam di ambang pintu kamarnya selama beberapa saat dan menatap ke arah sebuah pintu kamar yang letaknya tak jauh berada dari kamarnya. Key terdiam beberapa saat di sana dah gadis itu pun membuang napas pelan, sebelum akhirnya benar-benar masuk ke dalam. Dan tak lama setelah Key yang masuk ke dalam kamar, pintu kamar yang diperhatikan oleh Key itu pun yang tadinya masih menutup kemudian secara perlahan dibuka oleh sang pemiliknya. Ravano keluar dari kamarnya dan lelaki itu sempat terdiam menatap pintu kamar milik Key. Pemuda itu membuang napasnya pelan dan berjalan pergi dari sana. Ia menuruni satu per satu anak tangga dan memutuskan untuk keluat rumah. Ravano duduk di sebuah bangku yang ada di luar rumahnya untuk mencari udara yang segar. Lelaki itu sempat menatap ke arah bintang-bintang yang tampak berhamburan di atas sana hingga membuat langit itu terlihat beberapa kali lipat terlihat lebih indah dari yang biasanya dilihat olehnya. "Enggak, enggak. Ini sama sekali bukan kayak lo yang biasanya. Lo punya masalah apa sama gue sekarang? Setidaknya lo harus ngomong ke gue jadi setidaknya gue bisa introspeksi diri gue! Jangan kayak gini, Rav!" Ucapan Keanna tadi siang mungkin memang benar adanya. Ini tidak seperti dirinya sendiri dan Ravano pun juga merasa tak paham dengan apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Dia seolah tak bisa mengendalikan dirinya sendjri padahal ia sendirilah yang secara langsung melepaskan Key sepenuhnya kepada Tristan. Namun entah kenapa setelah ia melakukam itu, timbul sebuah perasaan aneh di dalam dirinya dan itu terasa begitu sesak hingga rasanya ia menjadi kesulitan untuk bernapas. Apakah Ravano memang belum sepenuhnya bisa melepaskan Key kepada orang lain? Apakah dia tidak ikhlas? "Lo juga udah lepasin Key buat Tristan, kan? Dan sekarang yang gue harapin adalah, semoga aja ketika Key bener-bener pergi, lo gak akan nyesel saat dia udah gak mau kembali lagi. Kini ucapan dari Kinn juga kembali muncul di dalam benaknya dan kalimat yang dilontarkan oleh teman sebangkunya sewaktu tadi siang itu juga ada setelah dirasa sepertinya memang ada benarnya juga. Ravano kemudian menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia juga sebenarnya tak ingin melakukan ini tapi entah kenapa ia benar-benar seperti kehilangan dirinya sendiri. Ia kesulitan menghadapinya. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN