Pagi ini, suasana meja makan terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Handoko dan Irina yang baru saja turun tampak terdiam menatap Key yang tengah membantu Karin menata piring di meja. Pasalnya, gadis itu biasanya selalu datang ke meja makan paling akhir. Namun kali ini dia justru yang pertama kali ke sana, apalagi sampai membantu Karin.
"Kak Key tumben udah turun. Pantes tadi aku ketuk-ketuk pintunya Kakak gak jawab terus," celoteh Irina seraya mendudukkan dirinya di kursi. Key hanya tersenyum dan mengacak pelan puncak kepala Irina.
Sementara itu, Handoko yang belum juga bersuara sesekali menatap sang istri yang hanya tersenyum simpul.
"Kak Ravano mana?" tanya Key pada Irina.
"Gak tau tuh. Masih tidur kali." Irina menerima piring pemberian Key dan langsung memakan sarapannya.
"Enak aja. Kakak udah bangun."
Irina dan Key menoleh saat Ravano datang. Lelaki itu mencubit gemas salah satu pipi Irina yang tampak menggembung oleh nasi dan lauk. Kemudian kedua matanya menatap Key, merasa sedikit aneh saat mengetahui kalau Key sudah lebih dulu berada di meja makan dibanding dirinya.
Perlahan Ravano tersenyum. Sedikit demi sedikit Key mulai berubah dan menerima kehadiran keluarganya. Dia berharap semoga ke depannya akan selalu seperti itu. Meskipun hal itu juga terasa berat untuk Ravano.
"Sekolah kalian lancar, kan?" tanya Handoko, membuat Ravano segera tersadar dan akhirnya menjawab, "iya, Pa."
Handoko lalu menatap Key yang sibuk dengan makanannya.
Maafkan Papa, Keanna.
***
Key membuang napasnya kembali menatap beberapa murid yang berada di lapangan futsal tanpa minat. Sikap Ravano tadi malam, malah semakin membuatnya bimbang. Lelaki itu seperti menarik ulur perasaannya.
Ini salah, Rav. Kita nggak seharusnya kayak gini. Butuh waktu yang bener-bener lama agar kita terbiasa lagi. Tapi semakin gue ngejauh, pertahanan gue semakin runtuh. Saat gue berbalik dan mencoba mendekat, lo seakan-akan genggam gue semakin erat.
Helaan napas kembali terdengar. Sekarang semuanya terasa serba salah bagi Key. Ravano seperti siap melepaskan, namun lelaki itu juga mempertahankan secara bersamaan. Persis dengan apa yang dikatakan oleh Adel. Posisi Ravano juga sama seperti Key. Namun lelaki itu lebih bisa belajar menerima, meskipun rasanya sama-sama sulit.
Jarak itu seakan membuat mereka semakin berdekatan, namun terasa berjauhan di saat yang bersamaan. Meskipun mereka tampak dekat, namun tidak dengan hati keduanya. Perlahan, saling bergerak menjauh ke arah yang berlawanan— dengan sedikit paksaan.
"Serius banget. Gak takut kesambet?"
Lamunan Key buyar dan gadis itu menoleh ke sebelahnya. Entah sejak kapan Kinn sudah duduk di sebelahnya dengan tangan yang sengaja dilipat di depan d**a.
"Gue lagi gak mood buat debat sama lo. Sori."
Salah satu sudut bibir Kinn naik. "Masih soal Ravano?" Kedua mata Kinn masih fokus melihat murid-murid yang tengah futsal ketika Key menoleh padanya.
"Lo gak perlu tahu," ucap Key dan mengikuti arah pandangan Kinn.
"Sejujurnya gue capek lihat kalian berdua kayak gini. Oke, ini emang bukan urusan gue. Tapi bagaimana pun, Ravano tetaplah temen gue dan gue gak mungkin tega lihat dia murung terus."
Kening Key berkerut. Ravano murung?
"Dia emang gak pernah cerita ke gue, tapi gue gak bodoh, Keanna. Gue bisa lihat dari cara Ravano natap lo. Kalian sama-sama berada di posisi yang sama. Bahkan, perasaan kalian masih sama. Apa lo pernah mikir gimana rasanya berada di posisi Ravano, tepatnya di sudut pandang dia? Kalian sama-sama berkorban, sama-sama kehilangan. Tapi yang gue lihat, Ravano masih mencoba menciptakan kebahagiaan buat lo gak peduli berapa kali lo menangkis usaha dia."
"Kinn, gue sekarang lagi berusaha—"
"Lo masih tetap egois, Key." Keanna menunduk. Ini pertama kalinya Kinn berbicara serius padanya.
"Lo mungkin perlahan mulai nerima Ravano sama Irina, tapi gimana sama Tante Karin? Lo terlalu sibuk mikirin perasaan lo sendiri, sampe lupa kalo kebahagiaan utama Ravano itu justru berasal dari nyokapnya sendiri. Kebahagiaan seorang ibu itu adalah kebahagiaan bagi anaknya. U know what i mean, Key. Dan gue yakin kalo lo juga ngerasain hal yang sama terhadap bokap lo. Setiap orang berhak bahagia, i know. Tapi kebahagiaan yang sebenarnya itu adalah ketika lo berhasil membuat orang yang lo sayangi bahagia."
Gue ... Egois.
Lagi dan lagi. Keanna merasa ditampar oleh ucapan orang-orang di sekitarnya. Ya, dia akui kalau dia masih egois karena terlalu sibuk memikirkan soal perasaannya sendiri.
"Gue gak bermaksud bikin lo semakin down. Gue cuma gak mau lihat Ravano terpuruk secara terus-menerus. Sama kayak si Junet yang selalu pengin lihat lo bahagia. Sikap lo itu, gak cuma ngaruh ke Ravano dan keluarga lo. Tapi, gue sama temen lo juga. Jadi gue harap lo bisa sedikit lebih dewasa lagi ngadepin ini."
***
"Tapi kebahagiaan yang sebenarnya itu adalah ketika lo berhasil membuat orang yang lo sayangi bahagia."
"Key? Lo gak apa-apa?"
Kedua mata Key mengerjap saat Adel menyikut lengannya. "Eh? I-iya." Gadis itu kembali memfokuskan dirinya pada tugas yang diberikan oleh gurunya yang tidak masuk.
"Dari tadi HP getar, kayaknya ada yang nelepon."
Key menatap ponsel miliknya yang berada di dekat buku paket. Benda itu kini terlihat kembali bergetar. Key bisa melihat nama yang tertera di sana. Gadis itu terdiam selama beberapa saat, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku.
Adel yang melihat itu menghela napas dan kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Sesekali dia bertanya pada Key saat ada yang tidak dia mengerti. Namun keduanya mendadak diam saat sebuah tangan menyodorkan minuman kaleng.
"Buat lo." Ravano tersenyum tipis. Key segera menerimanya dan menggumamkan terima kasih.
"Buat gue mana?" Adel bertanya ketika Ravano tidak memberikan apa pun padanya.
"Eh, iya. Lupa gue. Barengan aja ya?" Ravano nyengir, membuat Adel mendengkus sebal.
"Pelit!"
"Bukannya lo harusnya masuk ke kelas?" tanya Key.
"Gue lagi jamkos. Bosen di kelas."
"Emangnya gak ada tugas?" sambung Adel.
Ravano mengangkat kedua bahunya. "Udah beres, orang cuma dikit. Oh, iya. Key, tadi mama WA gue kalo mama sama papa mau ke rumah tante Sarah. Kayaknya bakalan pulang malem."
Gerakan tangan Key di atas buku terhenti. "Pergi? Kok papa gak kasih tahu gue?"
"Mama tadi WA lo, sempet nelepon juga tapi katanya gak diangkat."
Key diam. Kedua matanya mengerjap. "Oh, sori. Gue gak denger. HP gue di-silent." Dia menunjukkan cengirannya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Adel menatap Key. Gadis itu tahu dengan betul apa yang sedang terjadi. Key ... sengaja melakukannya. Masalah yang sebenarnya bukan lagi soal Ravano, melainkan ibu dari lelaki itu.
— To be continued