33. Egois

1130 Kata
Key langsung mendudukkan Ravano di sofa begitu sampai di rumah. Dia lalu dengan cepat mengambil kotak obat yang berada di salah satu laci. Karin yang menyadari kedua anaknya baru pulang pun segera mendekat. Namun kedua matanya membulat saat melihat keadaan Ravano. "Ya ampun, Rav. Kamu kenapa?" tanyanya panik. Ravano hanya menyandarkan kepalanya di sofa dan memejamkan kedua matanya, sesekali meringis saat Key mengoleskan antiseptik di beberapa luka di wajahnya. "Ceritanya panjang. Nanti aku ceritain." Key berujar tanpa mengalihkan fokusnya dari kegiatannya mengobati Ravano. "Mama~" Karin langsung menoleh ke ujung tangga dan melihat Irina yang hendak turun. Gadis kecil itu terbangun dari tidurnya. "Irina, tidur lagi yuk! Sekarang Mama temenin." Karin dengan cepat langsung menghampiri Irina dan membawa gadis itu kembali ke kamarnya. Beruntung dia tidak melihat keadaan kakaknya saat ini. "Tahan dikit. Jangan banyak gerak." Key memegang dagu Ravano ketika lelaki itu meringis kesakitan dan menggerakkan wajahnya. Beberapa lukanya terlihat mulai membiru. "Mereka itu ... yang nyerang lo sama Tristan waktu itu?" tanya Ravano. Key yang berada di sebelahnya mengangguk pelan. "Kenapa lo tadi sendirian? Ke mana Tristan?" "Dia ke bengkel. Ban motornya bocor." "Harusnya lo ikut!" Key menghentikan kegiatannya sejenak dan menatap Ravano. "Kenapa lo marah?" "Untung gue ke sana. Coba kalo gue telat! Udah habis lo di sana babak belur." Key kembali menghentikan pergerakan tangannya. "Lo tahu dari mana gue di sana?" tanyanya. Ravano terdiam. Dia lalu menghela napasnya, "Tadi Silvi yang kasih tahu gue." Kening Key seketika berkerut. "Silvi? Bukannya gue udah black list nomor dia?" "Dia masih ada nomor lain." Ravano menyentuh sudut bibirnya dan mengaduh pelan. "Kenapa dia harus kasih tahu lo? Dia bahkan tadi ninggalin gue!" "Dia juga takut." "Gak usah belain dia!" Key menekan luka Ravano cukup kuat hingga lelaki itu mengerang. "Gue sekarang khawatir. Apa Tristan bisa menang lawan mereka?" Key menjauhkan tangannya dari wajah Ravano dan menatap ke arah lain. "Dia itu gak lemah. Dia pasti menang, walau babak belur juga." Ravano menoleh dan menatap Key, "Lo khawatir?" Key menghela napasnya. Dia mengeluarkan ponselnya dan berusaha menelepon Tristan namun ponsel lelaki itu tidak aktif. "Dia bakalan aman, Key." "Tahu dari mana lo? Dia sendirian di sana, Rav! Jumlah lawannya banyak!" Key membereskan kotak obat dan berdiri dari posisinya. "Tristan itu kuat, Keanna. Berapa kali dia lindungin lo?" Key terdiam. Pandangannya bertumbuk dengan kedua mata milik Ravano. "Berapa kali dia maju buat lo?" ucap Ravano kemudian. "Itu .... " Key menunduk. Tristan memang sering maju demi dirinya. Namun tetap saja, Tristan memiliki batas dari kemampuannya. Dia bisa kehilangan tenaganya kapan saja. Dia bisa lelah, dan pada akhirnya dia bisa kalah. Kedua mata Key mengerjap begitu Ravano memegang tangannya. Lelaki itu menatapnya dalam. "Percaya sama gue, Key. Tristan bakalan baik-baik aja. " Ravano tersenyum tipis, bahkan hampir tidak terlihat. Tatapan itu— Key dibuat tertegun setelahnya. Tatapan Ravano terasa berbeda dari biasanya. Apa lelaki itu benar-benar sudah bisa melepasnya kepada orang lain? *** Tubuh Tristan langsung didudukkan di bawah sebuah pohon. Beberapa pasang mata menatapnya cemas. "Kalo lo kenapa-kenapa gimana? Untung kita tadi sempet denger kabar kalo anak-anak Panca nyari lo ke Pelita," ucap salah satu dari mereka. Tristan yang masih mengatur napasnya itu tersenyum. "Gue gak selemah itu." Kalimatnya membuat geram teman-temannya dan hampir saja memukul dirinya. "Lo selalu bilang gitu. Padahal lo sendiri yang lukanya paling parah. Lo sering ngorbanin diri lo terlalu jauh, Tris. Lo hampir mati berkali-kali." Tristan teetawa pelan. "Hampir, 'kan? Itu artinya gue emang gak lemah." Rekannya hampir saja melayangkan tinju namun segera ditahan. Tristan memang menyebalkan. "Ngomong-ngomong, Tris. Cewek yang sama lo waktu itu ... emangnya beneran cewek lo?" tanya yang lain. Kedua mata Tristan terbuka. "Waktu itu mungkin dia masih bukan siapa-siapa, tapi sekarang dia cewek gue." Teman-temannya saling bertatapan. "Dia cewek yang dari Pelita itu, kan? Cewek yang nekat mukul musuh itu?" Tristan mengangguk dan mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia bahkan tidak sadar kalau ponselnya sedari tadi mati. "Pantesan lo pengin pindah ke sana." Temannya menyeringai tipis. "Ngomong-ngomong luka lo harus diobatin." "Nanti aja." Tristan berujar seraya menghidupkan ponselnya. Ada beberapa panggilan yang tidak terjawab, dan semuanya kebanyakan dari Key. Dia seera menelepon gadis itu. "Tris?" Tristan tersenyum begitu mendengar suara Key di seberang sana. "Hm. Lo sama Ravano baik-baik aja, 'kan?" "Luka Ravano udah gue obatin. Lo sendiri gimana? Lo gak apa-apa, 'kan?" "Gue gak apa-apa. Temen-temen gue dateng, jadi lo gak usah khawatir." Teman-teman Tristan yang mendengar percakapan itu mendadak jengkel sendiri. "Lo hampir mati, sialan! Gak apa-apa dari mananya?!" geram salah satu di antara mereka. Dia ingin sekali menendang kepala Tristan hingga terpental namun temannya yang lain langsung menahannya. "Beneran? Lo bisa jalan? Jangan nyetir sendiri, minta temen lo yang bawa motor. Lo pasti kayak waktu itu. Lo harus ke rumah sakit." Entah kenapa ucapan Key membuat Tristan terkekeh. "Iya, Keanna Eirene." "Ya udah, cepet obatin luka lo. Gue gak bisa pergi soalnya nyokap ngelarang karena takut gue kenapa-kenapa lagi. Sori, ya." "Gak masalah. Selama lo baik-baik aja, itu udah cukup buat gue." Key terdiam selama beberapa saat. "Kalo ada apa-apa telepon gue." "Hm." Tristan memasukkan kembali ponselnya begitu panggilan ditutup. "Cewek lo? Yang waktu itu?" tanya temannya. Tristan mengangguk. Dia memberikan kunci motornya. "Lo yang bawa. Gue sekarang gak bisa bawa motor." Tristan mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Oke." Dengan dibantu teman-temannya, Tristan berdiri dan lelaki itu mengerang pelan begitu punggungnya kembali berdenyut. *** Kedua mata Key mengerjap begitu sesuatu menyentuh tangannya. Matanya perlahan terbuka dan melihat Karin yang duduk di tepi ranjangnya. Wanita itu tersenyum dan kembali melanjutkan kegiatannya mengobati telapak tangan Key yang terluka. "Mama bangunin kamu, ya? Maaf." Key terdiam menatap Karin. "Aku gak apa-apa kok." Dia berusaha menarik tangannya namun Karin menahannya. "Tangan kamu pasti tergores sesuatu. Kamu pasti jatuh, sampai gak sadar kalo tangan kamu sendiri luka. Mama lihat tadi kamu kesusahan pas makan. Ternyata ini masalahnya." Karin tersenyum. "Nah, selesai. Tidur, ya. Masih malem. Maaf karena Mama seenaknya masuk ke kamar kamu dan ganggu." Dia beranjak dari tempatnya. Kepalanya menoleh tepat ketika Key menahan tangannya. "Makasih ... " Key berujar dengan nada lirih, "Ma." Karin tertegun. Dia berusaha menajamkan indra pendengarannya. "Ma, maafin Keanna," lirih Key tanpa melepas tangannya. Kedua mata Karin seketika berkaca-kaca. Dia langsung mendudukkan dirinya kembali dan mengelus puncak kepala putrinya. Wanita itu tersenyum, begitu bahagia saat Key memanggilnya dengan sebutan mama untuk pertama kalinya. "Maaf selama ini sikap aku buruk sama Mama. Aku egois. Aku cuma mikirin diri sendiri. Aku jahat sama Ravano, sama Irina, dan sama Mama." Kedua mata Key mulai berair. Karin menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu tetap anak Mama. Bagaimana pun sikap kamu, Mama tetep sayang sama kamu. Kamu gak egois. Kamu gak salah, Key. Kamu sudah berusaha yang terbaik." Karin tersenyum dan mengusap air mata Key. Dia lalu mengusap puncak kepala Key dengan lembut, sebelum akhirnya meraih tubuh Key ke dalam pelukannya. — To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN