Anima mengunjungi kakeknya di rumah sakit. Kakeknya itu masih belum juga keluar dari sana. Keadaannya belum juga membaik, meskipun sudah dirawat sejak beberapa hari lalu.
"Kenapa kamu bersedih, kakek masih hidup. Jangan berlebihan!" ujar kakek lemah, senyumnya masih mengembang di bibirnya.
"Anima tidak!" jawabnya datar, meskipun dimatanya tersirat emosi.
Meskipun kakeknya itu menyebalkan, Anima masih sangat menyayanginya. Sejak kecil, kakek selalu menjadi orang yang mendukung apapun yang dilakukannya, salah atau benar, kakek tidak akan peduli asalkan dia bahagia.
Maya dan Galih juga sering berselisih dengan kakek karena hal tersebut. Keduanya mengajarkan tentang apa yang benar, dan apa yah tidak boleh Anima lakukan. Tapi kakek selalu saja membela cucu kesayangannya secara buta.
"Dokter bilang, kakek selalu sulit meminum obat. Kenapa?" Anima melirik botol obat di atas meja.
"Obat tidak membuatku hidup bahagia. Hanya menunjukkan kalau aku sangat sekarat. Aku masih dapat hidup meskipun tanpa obat!" Kakek selalu memiliki jawaban, tiap kali seseorang menyuruhnya minum obat.
Anima menghela nafas. Pantas saja jika kakek tidak kunjung sembuh. Dia memaklumi pada perawat yang kesulitan membuat kakeknya minum obat, karena semakin tua, kakeknya itu semakin keras kepala.
Meraih botol obat, Anima mengeluarkan satu butir dari tiap botol. Kakek sendiri masih bergeming. Terlihat sekali, kalau dia tidak akan mau meminum obatnya, meskipun Anima yang menyuruhnya.
"Kakek?" Anima mengulurkan obatnya.
"Aku tidak mau. Kenapa kau memaksa kakek, padahal dulu aku tidak pernah memaksamu meminum obat saat kau tidak mau!" Kakek mengungkit hal itu lagi, Anima tidak tahu bagaimana kakeknya bisa tidak tahu malu membandingkan perlakuannya dulu.
"Kakek sudah tua, kenapa seperti anak kecil!" keluh Anima tidak sabar.
"Anak nakal, jangan menghina kakekmu!" Kakek masih keras kepala.
Anima menghela nafas. Dia menyerah, kakeknya sulit dihadapi. Tapi dia tidak mau kakeknya tak kunjung sembuh.
Memasukkan kembali obat itu pada masing-masing botol. Anima melirik kakeknya dengan pandangan rumit. Dia sedang memikirkan cara lain yang mungkin dapat berhasil.
"Kau menyukainya?" tanya kakek memperhatikan potret Anima yang berdiri dengan seorang pemuda di layar televisi.
"Menurut kakek?" Anima melirik fotonya, dan tidak banyak berkomentar.
"Entahlah. Kau agak sulit. Tapi jika kau benar-benar berhubungan dengannya, kakek pasti akan mendukung. Kakek sudah tidak sabar melihat kau memiliki anak!" Kakek tersenyum tulus, tapi Anima hanya bisa cemberut.
"Kalian selalu saja memaksa dengan permintaan yang sama. Kakek, tahu Anima masih muda!" Anima menggerutu, dia agak menyesal, dulu tidak mau meminta seorang adik pada orangtuanya. Sehingga sekarang dia jadi kesulitan.
"Kau sudah dua lima. Itu sudah cukup. Jangan menunggu tua. Kakekmu ini sudah hampir mati!"
"Jangan membicarakannya lagi. Kita hanya akan berakhir bertengkar!" Anima mulai malas kalau mulai membicarakan hal itu lagi, dia tidak akan menang.
Cukup lama, Anima menemani kakek di sana. Bahkan hingga kakeknya itu tertidur. Dia akan meminta dokter untuk menyuntikkan obat saja. Karena dia saja gagal membuatnya minum obat.
Keluar dari ruangan, Anima melihat mamanya di ujung lorong. Dia buru-buru pergi dari sana ke arah lain. Menghindari mamanya adalah hal yang paling tepat bagi kesehatan mentalnya.
Dia berjalan malas menuju pintu keluar. Suasana hatinya masih buruk. Dia tidak mau bertemu dengan mamanya sampai beberapa hari ke depan.
"Nona!" panggil seseorang, Anima tidak menoleh, dia langsung berjalan cepat menghiraukan panggilan. Karena tahu, itu adalah orang mamanya.
Anima berusaha menyelinap keluar, karena di luar ada anak buah mamanya juga. Anima berjalan cepat hingga dapat mencapai gerbang.
Dia melihat kebelakang, dan melihat kalau orang-orang itu masih memperhatikan. Dan akhirnya mengejarnya.
Anima berjalan terus, hingga dia berjalan cukup jauh. Anak buah mamanya tidak lagi mengejarnya. Dia benar-benar lelah, karena sudah lama tidak berjalan jauh.
"Woe, jangan kabur Lo!" Anima menoleh, hanya untuk melihat kumpulan remaja berseragam SMA sedang terlibat perselisihan dengan anak sekolah lainnnya.
Dia memilih menjauh dari aksi tersebut, dia takut berada dekat dengan tawuran. Dia mengeluarkan ponselnya, akan memesan taksi online.
Teriakan anak-anak itu membuatnya gugup. Padahal dia adalah tipe yang begitu tenang, tapi tetap saja dalam beberapa keadaan dia masihlah manusia.
Menoleh, Anima melihat mereka bahkan sudah saling baki hantam. Matanya melebar melihat kekacauan itu, beberapa orang disekitar juga enggan mendekat apalagi menghentikan keributan.
Tapi kemudian dia mendengar sirine polisi. Dia benar-benar lega. Anima masih berjalan, saat tiba-tiba ada yang menarik lengannya.
"Hei!" Anima tidak mengerti, kenapa pemuda itu menarik tangannya.
"Lepasin tangan saya!" Anima menarik tangannya, tapi tidak bisa.
"Ayo lari aja, gak usah banyak omong!" Pemuda itu tidak berhenti berlari, padahal Anima tidak mau mengikutinya.
Hingga sudah cukup jauh, Anima merasa dadanya sangat sesak. Dia sudah lama tidak berlari, sehingga sekalinya berlari dia kesulitan mengambil nafas. Wajahnya sampai memerah terasa terbakar.
Pemuda itu juga memperhatikan Anima. Dan matanya melebar melihat wajah wanita di depannya.
"Anda yang ada di TV?" Pemuda itu terkejut, masih memperhatikan wajah Anima baik-baik.
"Kau bodoh sekali. Kenapa menarikku berlarian bersamamu!" Anima masih tidak menunjukkan emosinya, tapi ucapannya cukup jelas kalau dia kesal.
"Maaf, karena aku hanya ingin menyelamatkan Anda!" Pemuda itu berbicara segan, dia tidak tahu kalau yang diajaknya berlari bukanlah orang biasa.
"Menyelamatkan apa? Polisi hanya menangkap para pemuda nakal seperti kalian. Aku tidak termasuk!" Anima memperhatikan pemuda di depannya yang memiliki pakaian sangat berantakan. Wajahnya sendiri agak familiar, tapi dia tidak peduli. Langsung pergi.
Pemuda itu masih terdiam di tempatnya. Dia tidak menyangka bisa bertemu dengan wanita yang sedang banyak diberitakan di TV.
"Kenapa lebih cantik aslinya?" ucapnya sambil melipat tangannya di depan d**a.
Anima sudah masuk ke dalam mobil taksi yang dipesannya. Dia menyandarkan kepalanya. Nafasnya masih terasa sesak, dia tidak menyangka, akan berlarian karena ada polisi. Mengutuk pemuda bodoh itu.
Anima mengecek ponselnya, ada beberapa pesan dari Tama. Asistennya itu mengirimkan laporan kegiatannya secara berkala. Meskipun dia tidak memintanya, karena sudah mempercayakan pada laki-laki itu.
Sebenarnya dia menunggu pesan dari seseorang. Dia menutup lagi ponselnya. Sebenarnya dia agak merasa asing dengan yang dilakukannya. Kenapa dia menunggu pesannya?
Di resort, Kai memperhatikan laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya. Dia hanya berani melirik sekilas, karena tidak sopan memperhatikan tamu secara terang-terangan.
"Tuan bisa menunggu, pak Tama akan turun sebentar lagi!" ucap Nisa ramah, dia baru saja menghubungi Tama, menyampaikan kalau ada seseorang mencari bos.
Laki-laki itu mengangguk, dia tahu akan sesulit itu menemui Anima, tapi tidak menyangka setelah datang langsung ke resort pun masih saja sulit.
Dia akhirnya melihat Tama baru saja keluar dari lift. Laki-laki yang selalu mendampingi Anima dalam bisnisnya.
Mereka melakukan percakapan santai, sebelum akhirnya memilih bicara lebih lanjut di tempat lain. Tentu saja, kedatangannya menarik perhatian banyak orang. Mungkin sebentar lagi akan dikeluarkan berita,
'Anggar Anggoro bertandang ke resort milik Anima Lampauta'
Sayang sekali, dia tidak bisa menemukan alamat tempat tinggalnya, dan hanya bisa mencari di resort-nya. Karena informasi itu disembunyikan dari khalayak umum demi kenyamanannya. Anggar tahu, Anima adalah wanita yang hati-hati.
"Bukankah dia benar-benar gentleman. Wah, bos sangat beruntung!" Nisa tidak hentinya memuji Anggar Anggoro.
"Yah, dia sangat berani. Nona Anima pasti terganggu!" komentar Kai membuat dua temannya menatap dengan tatapan dikit diartikan.
"Kau gila? Tentu saja nona Anima tidak akan terganggu. Dia akan merasa tersanjung, karena tuan muda seperti Anggar Anggoro saja sampai datang ke resort. Kau ini!" Andi menggeleng dengan cara berpikir temannya itu.
Sedangkan Nisa tengah berpikir tentang hal lainnya. Sedari tadi dia sengaja memuji Anggar secara sengaja di depannya. Dan melihat tanggapan Kai, dia berpikir laki-laki itu tidak suka dia memuji pria lain. Bibirnya tersenyum, membayangkan jika mungkin saja Kai memiliki rasa yang sama terhadapnya.