"Marcell," panggil Merki, membuat Marcell menoleh padanya. "Terima kasih karena selama ini kau selalu berusaha melindungi kami, membela kami, tapi itu sudah cukup, sekarang, kau lebih baik istirahat, serahkan sisanya pada kami berempat."
Marcell tersentak mendengarnya, kemudian dia tersenyum tipis. "Ya, aku sangat lelah melindungi orang-orang bodoh seperti kalian."
Aku tidak sadar kalau sekarang Merki telah mengambil alih posisi Marcell sebagai pelindung Antaroza, ini benar-benar tidak terduga. Aku kira Merki hanyalah orang santai yang tidak memiliki kemampuan seperti Marcell, yaitu berbicara tajam pada orang lain, tapi nyatanya, itu tidak benar.
Walaupun Merki lebih terlihat tenang dan damai, tapi dia dapat membuat lawannya bertekuk lutut hingga berkeringat pucat karena mendengar ucapan santainya sambil menyunggingkan senyuman ramah.
Berbeda sekali dengan Marcell, dia selalu saja tersenyum dingin nan angkuh saat berkata pada lawannya, sementara Merki selalu menyisipkan kesopanan pada ucapan serta tingkah lakunya untuk mengecoh lawan.
Jika dibayang-bayangkan, Marcell itu seperti seekor harimau yang memangsa lawannya dengan sekali serang, sementara Merki seperti seekor kucing yang mengendap-endap dahulu sebelum mencabik-cabik mangsanya.
Mereka berdua kelihatan seperti rival abadi, yang selalu bersaing secara sehat tanpa adanya perlawanan. Aku yakin, mama pasti tidak percaya kalau Merki telah membuatnya bertekuk lutut seperti seorang pengemis jika mengingat lelaki keriting itu tidak terlalu mencolok jika dibandingkan dengan Marcell.
Aku menghembuskan napas, mengepalkan tangan dengan kesal, tidak, aku tidak kesal pada siapa pun. Saat ini, aku sedang marah pada diriku sendiri, karena aku selama ini tidak pernah melakukan hal yang berguna untuk mengalahkan mama.
Aku selalu tertinggal. Benar-benar menyedihkan, aku tidak berguna, sangat tidak berguna. Aku juga yakin, kalau Susy dan Liona pun telah melakukan hal yang berguna, terbukti dari penampilan Clara dan Gebby, penjaga-penjaga yang mengawasi mereka, terlihat kusut dan kotor, pakaian mereka pun penuh dengan bercak-bercak darah disertai luka-luka yang mengikis kulit mereka. Itu semua pasti ulah Susy dan Liona yang telah berhasil memojokkannya lawannya.
Sementara aku, tidak ada jejak kalau aku telah mengalahkan Starrick, malah sebaliknya, aku terus-menerus dimain-mainkan oleh pria jubah putih itu saat berada di ruangan penyiksaan. Bahkan, aku membiarkan rambut biruku diubah menjadi putih oleh Starrick, jika itu adalah mereka berempat, mungkin mereka akan melakukan perlawanan, tapi aku tidak demikian.
Aku benar-benar lemah.
"Tidak ada satu pun," ucapku dengan menundukkan kepala, membuat Marcell dan Merki menoleh padaku. "Tidak ada satu pun yang dapat kulakukan."
Merki menepuk pundakku. "Apa maksudmu?"
"Aku ... tidak berguna, kau hebat Merki, berkatmu, Mama telah mengaku kalah, aku tidak percaya kau bisa melakukan hal seperti itu, kukira, yang dapat melakukan itu hanyalah Marcell, tapi dugaanku meleset, aku minta maaf karena hampir melupakan keberadaanmu, Merki." ucapku dengan suara yang bergetar. "Tapi, walau bagaimana pun, aku ingin melakukan sesuatu, aku tidak mau terus-terusan berdiam diri di saat kalian mempertaruhkan nyawa untuk menyerang Mama, karena itulah, aku mohon! Aku mohon padamu, Merki! Tunjukkan padaku, sesuatu yang dapat membuatku berguna di sini! Di Antaroza!"
Merki dan Marcell terkejut mendengar ucapanku, mata mereka membesar seketika, mungkin mereka tidak menduga kalau aku bisa sepesimis itu, karena selama ini, aku terkenal sebagai bocah yang terlalu percaya diri.
Yah, setiap orang pasti bisa berubah, mau itu ke sisi negatif atau pun positif.
"Baiklah, aku akan membuatmu berguna di Antaroza, Niko." balas Merki dengan tersenyum ramah padaku, tangannya mengusap-usap punggungku agar aku kembali tenang seperti sebelumnya.
Sementara Marcell langsung mendengus. "Bodoh sekali, kau berkata bahwa kau tidak berguna di sini, setelah kau terpilih oleh Mama sebagai Anak yang paling membahayakan bagi dirinya."
Aku mengernyitkan alis heran. "Anak yang paling membahayakan? Aku tidak mengerti apa maksudmu, Marcell."
Mendengar responku, Marcell mendecih. "Kau masih belum sadar juga, ya? Coba aku tanya, sebelum kau datang kemari, Mama sudah lebih dulu ada di gereja ini, kan?"
Jika kuingat-ingat, itu memang benar, sebelum aku dan Starrick memasuki pintu maut, mama pasti sudah ada di dalam sana, tepatnya, di dalam gereja ini.
Aku mengangguk sebagai jawaban, Marcell tersenyum dingin padaku. "Itu artinya, dibandingkan denganku atau pun Merki, kau lah yang paling berbahaya, Niko. Jika Mama menilaiku berbahaya, mungkin dia akan berada di ruanganku bersama Tuan Benriya untuk menyudutkanku, atau jika itu Merki, mungkin dia akan ada di dapur bersama Arbastilo untuk menyerangnya, tapi kenyataannya, dia lebih memilih ruangan yang kau tempati bersama Starrick, kan? Itu artinya?"
Merki melanjutkan ucapan Marcell dengan senyumam hangat. "Itu artinya kau yang paling hebat dari kami semua, Niko."
Aku kaget mendengarnya, aku tidak percaya kalau mama menilaiku seperti itu, tapi, kenapa dia bisa memilihku sebagai anak yang paling berbahaya jika dari tadi, aku sama sekali tidak melakukan apa pun padanya, hanya Marcell dan Marcell yang terus menyerangnya menggunakan kata-kata, lalu datang Merki untuk melumpuhkannya.
Dan aku di sini, sama sekali tidak melakukan apa-apa selain membantu Marcell dari belakang.
"Apa sudah selesai diskusinya?" Tiba-tiba mama kembali bangkit dari posisi tekuk lututnya, wajahnya yang sebelumnya pucat dan kaku sudah lenyap digantikan dengan senyuman lembut. "Aku kalah, semuanya telah terungkap, apa aku bilang begitu barusan?"
Kami bertiga terkejut memandang mama kembali tenang seperti sebelumnya, ini sangat aneh, aku kira semuanya akan berakhir karena mama telah berkata 'aku kalah' tapi mengapa bisa begini?
"Mama," Marcell berkata. "Kau menipu kami lagi?"
Mama tersenyum mendengarnya. "Ah, tidak, aku memang telah kalah oleh kalian, semua rahasiaku telah terungkap oleh Putraku Merki, tapi, bukan berarti kalian telah menang setelah mengetahui semuanya," kata mama dengan mendesis. "Aku memang kalah, tapi kalian ... masih belum menang."
Apa maksudnya itu? Kata-katanya benar-benar membuatku bingung! Itu terlalu rumit untuk diartikan, ayolah, siapa pun, jelaskan padaku!
"Persis seperti dugaanku," Merki bersuara dengan tenang. "Kau masih menyimpan sesuatu dari kami setelah semuanya telah terungkap. Jadi, tunjukkan pada kami, mengenai sesuatu yang membuatmu tersenyum senang, Mama?"
TRAK!
Atap kamar ini retak dan hancur secara mendadak, sesuatu telah jatuh dari sana, semua orang memandangnya dengan muka tersentak.
"Maaf telah membuatmu menunggu, Mama."
Ternyata, sesuatu yang barusan jatuh dari atap adalah seorang gadis berambut hitam panjang dengan mengenakan baju pelayan, pakaiannya masih rapi dan bersih walaupun telah jatuh dari ketinggian. Gadis itu sedang memperhatikan kami bertiga dengan mata tajamnya yang sangat mengerikan, rasanya seperti diamati oleh robot.
Dan aku tidak percaya kalau gadis itu adalah,
"Kitara!?" Aku melompat kaget. "Mengapa kau--"
"Sudah kukatakan padamu, alasan mengapa aku menipumu dan berada di pihak Mama adalah karena aku sangat membencimu, Niko." ucap Kitara dengan wajah datar, senyuman yang biasa ia berikan padaku sudah tidak ada, gadis pelukis itu telah berubah.
"Aku tidak pernah menduganya," Marcell mendecih memandang kemunculan Kitara. "Kalau gadis bodoh sepertimu ternyata seorang pengkhianat. Kau sama saja seperti seorang kanibal yang memakan temannya sendiri. Kau menjijikan, Kitara."
"Eh? Apa tadi ada yang bilang kanibal?" Clara merasa tersinggung saat mendengar ucapan Marcell pada Kitara.
Mengabaikan suara Clara, Kitara langsung menjawabnya dengan suara yang halus. "Aku melakukan ini demi keselamatan kalian," kata Kitara. "Asal kalian tahu, Niko Antarez yang kalian kenal, dia bukanlah teman kita."
Aku terkejut setengah mati mendengarnya. "Apa-apaan itu, Kitara? Mengapa kau menyebutku begitu? Aku ini teman kalian!"
"Kecilkan suaramu," protes Kitara dengan menatapku. "Aku sangat membenci orang sepertimu!"
Baru saja aku akan menimpali lagi ucapan Kitara, Merki langsung menepuk punggungku. "Tenangkan dirimu, Niko," bisik Merki. "Pikirannya sudah terhasut oleh Mama, satu-satunya cara untuk menghadapi Kitara adalah ...." Kemudian Merki menjelaskan semua cara-caranya padaku dengan bisik-bisik, dan akhirnya aku mengerti.
"Kalau begitu, Kitara," Mama mulai memerintah. "Lakukan apa yang telah kukatakan padamu."
Kitara mengangguk paham. "Baik!"
Kemudian, gadis itu berlari menghampiri kami bertiga dengan mengeluarkan sebuah pisau pemotong daging.
"Gawat!" Aku memekik.
TRANG!
Beruntung, ayunan pisau Kitara langsung ditahan oleh kaca mata Marcell, mereka saling mendorong hingga akhirnya,
TRAK!
Kaca mata Marcell patah menjadi dua bagian, Kitara langsung tersenyum. "Tidak ada lagi yang bisa kalian lakukan untuk menghentikanku!"
Marcell cepat-cepat menghindar saat Kitara mengayunkan kembali pisaunya, dia telah mengorbankan kaca mata berharganya, aku dan Merki sedang mencari sesuatu untuk menghentikan Kitara.
Sayang sekali, tidak ada satu benda pun yang bisa kugunakan untuk menahan serangan Kitara, alhasil, ketika gadis itu berhenti menyerang Marcell dan beralih padaku dan Merki, kami hanya bisa berharap ada keajaiban yang menolong kami.
"Matilah, kalian berdua." ucap Kitara dengan siap mengayunkan pisau itu ke arahku dan Merki.
Mama beserta lima penjaganya sedang menunggu detik-detik kematianku bersama Merki di tangan Kitara.
"Sudah cukup, Kitara," Tiba-tiba, mama berucap, membuat ayunan pisau itu berhenti tepat di atas kepalaku. "Main-mainnya sudah selesai, kau, bergabunglah bersama para penjaga ini, biar aku yang mengurus sisanya."
"Baik, Mama." Kitara dengan patuh kembali berjalan ke tempat para penjaga berdiri. "Urusan kita masih belum selesai, Niko." bisik Kitara saat punggungnya mulai menjauh dari hadapanku.
Suasana kamar ini terasa tegang, ditambah, Marcell kehilangan kaca mata berharganya, membuatnya tidak bisa melihat secara jelas, dan itu jelas gawat.
Aku juga masih terengah-engah mengingat pisau Kitara hampir saja membocorkan kepalaku, sementara Merki tetap bersikap tenang seperti sebelumnya, tapi aku yakin, dia juga sama takutnya sepertiku, itu terlihat jelas dari jemarinya yang gemetaran.
Mama melangkah maju, dia seperti seorang ratu yang akan melakukan pidato kepada rakyat-rakyatnya.
"Maaf jika perlakuan Kitara membuat jantung kalian hampir tidak berdetak," kata mama dengan lembut. "Tapi, tidak perlu khawatir, sejahat apa pun peran antagonis, pasti ada kebaikan di dalam diri mereka, walau hanya secuil, sama kasusnya seperti diri kalian, sebaik apa pun peran protagonis, pasti tersimpan keburukan di dalam hatinya walau hanya setetes, karena itulah, tergantung kita sendiri yang mau bagaimana, apakah ingin tetap mempertahankan sesuatu yang memang telah berkuasa, atau mengembangkan sesuatu yang kecil untuk mengambil alih tubuh kita?"
Aku benar-benar benci kalimat yang bertele-tele dan rumit seperti itu, aku tidak paham maksudnya, apa itu? Antagonis? Protagonis? Apa dia maksud peran-peran yang ada di sebuah cerita? Dan apa lagi itu, sesuatu yang berkuasa? Sesuatu yang kecil? Aaargh! Aku tidak mengerti!
"Aku tidak paham apa maksudmu! Tapi lebih baik kau katakan saja apa maumu, Mama! Padahal kau sendiri telah mengaku kalah, tapi ternyata kau masih belum menerima kekalahanmu itu! Kau sama seperti pecundang!" umpatku pada mama dengan teriakan, seperti rakyat yang melakukan demo pada pemimpinnya.
"Kau salah," sanggah mama dengan hangat. "Aku sudah menerima kekalahanku, aku mengaku kalah, aku selalu berkata jujur pada semua orang. Tapi, bukankah wajar jika seseorang bangkit kembali dari kegagalan? Berusaha kembali untuk menang? Kita diciptakan untuk hidup, karena itulah, selama aku hidup, aku akan terus meraih kemenangan walaupun terjatuh berkali-kali, bukankah itu adalah kalimat yang sederhana? Intinya, kita diajarkan untuk 'jangan menyerah', Niko."
Aku terbelalak mendengarnya.
Setelah itu, mama memerintahkan kami bertiga untuk istirahat, dia membiarkan Marcell, Merki, dan aku pergi meninggalkan gereja itu, aku cukup curiga mengapa dia memberikan perintah itu, kupikir dia akan menjebak kami, tapi ternyata tidak.
Sampai, akhirnya, aku bertemu dengan Susy dan Robin di tengah perjalanan menuju sel bawah tanah, mereka sedang berjalan sambil membawa Liona yang tertidur di gendongan Robin.
"Kalian baik-baik saja?" tanyaku pada Susy dengan tergesa-gesa karena khawatir melihat penampilan mereka sangat kotor.
"Jangan khawatir, kami baik-baik saja," jawab Robin dengan suara serak-serak basahnya. "Kalian sendiri, bagaimana?"
"Aku sih tidak apa-apa, tapi Marcell dan Merki sepertinya mereka terluka." timpalku dengan menoleh pada Merki dan Marcell di sebelahku.
"Niko bohong, aku baik-baik saja." Merki tersenyum menatap Robin dan Susy, karena melihat senyumannya, muka mereka akhirnya lega.
Tapi sayangnya, kelegaan mereka berakhir begitu saja saat mendengar suara decihan Marcell. "Dasar bodoh. Tentu saja aku sedang dalam kondisi kesal," ucap Marcell dengan mendengus. "Kaca mataku patah, dan tentu saja itu membuatku tidak bisa melihat dengan jelas, bahkan aku tidak bisa melihat wajah-wajah payah kalian, hanya samar-samar saja, dan itu membuatku kesal."
Mengabaikan rengekan Marcell mengenai kaca matanya, kami semua kembali berjalan bersama-sama untuk pulang ke sel kami masing-masing.
Melelahkan sekali setelah kami berhasil melewati berbagai peristiwa yang mematikan, ini adalah pertama kalinya kami sebagai anak-anak Antaroza mengalami hal-hal yang mengerikan. Tapi, syukurlah, Merki akhirnya telah berhasil membongkar semua rahasia mama yang membuatku senang karena ternyata dunia luar itu adalah tempat yang indah dan damai, mengenai manusia berkepala buaya, semua itu hanyalah kostum dari seorang pembeli yang akan membeli kami.
Dan soal apakah para pembeli itu akan membunuh kami atau tidak, itu masih menjadi misteri.
Dan bukan hanya itu saja. Ternyata, mama adalah seorang putri kerajaan yang kabur dari kediamannya karena tidak ingin dijodohkan dengan pria jelek. Konyol sekali, tapi mengapa orang kuat seperti mama bisa kabur seperti seorang pengecut?
Nama kerajaannya adalah Albugatory, nama yang sangat indah. Karena itulah, nama asli mama merupakan Amanda Albugatory, dan katanya, mama adalah putri kedua, itu artinya, dia punya kakak kandung. Aku penasaran, apakah kakaknya mama itu orang yang memiliki kepribadian sama sepertinya? Itu juga masih menjadi misteri.
☆☆☆
"Dari mana kau menemukan kenyataan itu semua, Merki?" Esoknya, aku bertanya pada anak itu dari dalam sel ketika kami tengah menyantap sarapan.
"Kau tahu, karena aku memiliki pendengaran tajam, aku bisa mengetahuinya saat Mama mengobrol dengan Kitara sebelum kita dimasukkan ke sel bawah tanah." balas Merki disertai senyuman cerah seperti biasanya.
"Itu artinya, kau memang sudah mengetahui kalau Kitara adalah seorang pengkianat dari awal? Lalu, mengapa kau tidak memberitahu semua itu pada kami?" Kali ini Marcell yang bertanya dengan dingin.
"Yah, banyak alasan yang membuatku tutup mulut untuk sementara. Aku hanya menduga kalau saat itu bukanlah waktu yang tepat, jadi, aku bertingkah seperti biasanya agar Mama tidak menaruh kecurigaannya padaku. Maaf kalau aku membuat kalian marah."
"Hahah! Tidak apa-apa, berkatmu, setidaknya kita bisa memenangkan pertempuran ini," sanggahku pada Merki karena aku tidak ingin membuatnya merasa bersalah. "Aku cukup kaget saat Mama berkata 'aku kalah', soalnya, Mama tidak pernah mau kalah dalam hal apa pun dari kita."
"Tidak, Niko," timpal Merki dengan wajah yang serius. "Kita masih belum memenangkan apa pun. Memang benar, Mama telah kalah oleh pengakuanku kemarin, tapi, kita masih belum menang. Buktinya, saat ini, kita dibiarkan begitu saja oleh Mama untuk kembali ke sini, itu artinya, Mama dan lima penjaganya beserta Kitara sedang merencanakan sesuatu untuk menekan kita. Kita harus menyiapkan diri jika hal itu terjadi."
Mukaku jadi ngeri melihat perkataan Merki, entah kenapa, aku jadi merinding. Kemarin saja, Mama telah berhasil membuat kami tertindas, aku takut kalau besok kami akan mengalami hal-hal yang lebih buruk dari kemarin.
"Untuk apa kalian sewaspada itu jika makanan kalian saja lupa untuk dimakan? Dasar, para lelaki memang bodoh-bodoh." Liona bersuara dari selnya yang dihuni juga bersama Susy, mereka kini sedang menyantap dengan lahap sarapan paginya.
"I-itu benar," kata Susy dengan gugup pada kami. "Lebih baik, kalian, ma-makan saja sarapannya. Mengenai Mama, nanti saja dibicarakannya."
Karena mendengar hal itu, aku, Merki, dan Marcell langsung memakan makanan kami dengan cepat karena malu ditegur oleh para gadis tetangga.
Trang!
Ada seseorang yang melempar kerikil pada besi-besi selku, entah siapa pelakunya, tapi hal itu membuat kami bertiga terdiam seketika.
"Siapa itu?" ucapku dengan nyaring agar pelakunya mengaku dengan jujur.
Tidak ada jawaban. Percuma saja, akhirnya, kami berhasil menghabiskan sarapan kami dengan lahap. Seperti biasa, piringnya kami letakkan di dekat area luar sel agar robot kucing itu dapat mengambilnya kembali untuk dicuci tapi tiba-tiba saja,
PRAY!
Piring Marcell pecah saat dia baru saja meletakkan benda itu di sana, penyebabnya karena sebuah kerikil telah jatuh ke permukaan piring dengan lemparan yang tinggi, membuat piring itu hancur seketika.
Berkat suara piring pecah, membuat semua tahanan menolehkan pandangannya pada sel kami, tepatnya ke arah Marcell.
"Pi-piring Marcell pecah? Ke-kenapa bisa begitu?" Susy kaget melihatnya. "Sepertinya ada yang sengaja melemparkan kerikil ke piringnya Marcell."
"KATAKAN! SIAPA YANG MELEMPARKAN KERIKIL-KERIKIL PAYAH INI! WAHAI PARA TAHANAN!" Liona langsung berdiri dan berteriak dengan menggebrakkan besi yang mengurungnya. "JIKA TIDAK ADA YANG MENGAKU! AKU AKAN MENGHAJAR KALIAN SEMUA SEKALIGUS!"
Singa pemarah sudah meraung kencang, tapi semua tahanan tidak ada yang menjawab raungan itu, mereka semua terdiam di sel masing-masing. Sebenarnya ada apa ini? Biasanya mereka akan riuh dan ramai jika ada seseorang yang menganggu ketenangan mereka? Seperti saat Marcell dan Merki menyelidiki tentang pengamanan ketat di penjara ini, mereka semua kompak memaki kami, meneriaki kami, menghina kami, tapi sekarang, tiba-tiba saja semua tahanan terdiam.
Sunyi sekali rasanya, padahal ini masih pagi.
"Aku tahu ini," Marcell mulai berkata tanpa kaca mata yang melindungi matanya. "Kalian semua pasti sudah berpihak pada Mama, iya, kan? Kalian semua diperintah untuk mengabaikan kami, benar 'kan?"
"Itu salah, Marcell," Mendadak Robin menimpali ucapan Marcell dari sel sebelah. "Mereka semua-ah tidak, maksudku, kami semua ingin meminta maaf pada kalian karena saat itu, kami telah membuat kalian tertindas, tersakiti, dan tertekan, bahkan, kami juga telah merampas jatah makanan Marcell, Merki, dan Niko, membuat kalian tidak mendapatkan makanan satu pun. Aku, beserta mereka semua, ingin meminta maaf pada kalian semua. Kami tahu kalian telah dibawa oleh para penjaga baru itu dan ditindas habis-habisan, karena itulah, itu membuat kami semua merasa bersalah."
Aku, Marcell, Merki, Liona, dan Susy terkejut mendengar pengakuan dari Robin yang mewakili perasaaan para tahanan yang lain. Jujur saja, itu membuat kami berlima terharu mendengarnya.
☆☆☆
Mama P.O.V
Aku bersama para penjaga payah ini sedang melakukan rapat di meja makan yang biasa aku dan anak-anak lainnya menyantap makanan bersama di sini. Aku menyuruh anak-anak lainnya untuk bermain di luar agar mereka tidak menganggu diskusi penting ini.
"Baiklah, kita langsung ke intinya saja," ucapku yang berdiri di hadapan lima penjaga yang duduk di kursi makan beserta Kitara juga. "Kita sekarang sedang dalam mode 'kekalahan' karena mereka berlima telah membuat kita kalah kemarin, dan aku tidak ingin kekalahan yang memalukan itu terulang kembali. Biarkan mereka bahagia karena telah berhasil membuatku bertekuk lutut, tapi, itu hanya untuk sementara, karena aku telah mendapatkan ide cemerlang untuk membuat mereka menangis menjerit-jerit karena ideku ini."
Starrick yang lehernya sudah diperban olehku mengangkat tangan kirinya, ingin bertanya.
"Bukankah Anda telah memecatku dengan Benriya saat itu? Aku agak resah. Apa aku pantas duduk di sini di saat Anda telah memecatku." ucap Starrick dengan menunjukkan ketakutannya padaku, Benriya pun sama seperti Starrick, mereka berdua benar-benar bodoh.
"Kemarin, itu hanya gurauan saja agar Marcell merasa terkejut, " balasku dengan tersenyum lembut. "Dan aku akan memecat kalian lagi jika kalian berani bertanya hal-hal yang tidak penting di sini."
Mendengar ancamanku, Clara dan Arbastilo terkikik bersamaan, menertawai rekan-rekannya yang dimarahi olehku. Sementara Gebby langsung mengangkat tangan kanannya untuk bertanya padaku dengan memasang wajah serius.
Kuharap wanita itu bertanya hal-hal yang berbobot. "Silakan, Gebby."
Gebby menghela napas, kemudian langsung bersuara, "Jika ide itu berhasil dihancurkan oleh mereka, apakah Anda memiliki ide cadangan agar kita bisa melakukan itu dengan mulus, maksudku, seperti ada rencana A, B, C dan semacamnya."
Aku tertarik mendengarnya. Setidaknya, pertanyaan yang ia lontarkan tidak sebodoh Starrick. Lalu, dengan senyuman hangat, aku memberikan jawabanku padanya.
"Persis seperti yang kau tanyakan," kataku dengan berjalan-jalan, memutari meja makan dengan anggun. "Ide yang kumaksud adalah suatu ide yang memiliki ide-ide cadangan di dalamnya, jadi, kita tidak akan bisa dikalahkan semudah itu oleh mereka. Jika ide yang satu telah pupus, maka akan muncul ide baru yang akan menghadang mereka, ini seperti istilah 'mati satu, tumbuh seribu', sangat mengagumkan, bukan?"
Gebby mengangguk dengan menyeringai. "Aku suka. Aku ingin terlibat di ide Anda, Nona Amanda."
"Semua yang ada di sini, tentu saja akan ikut serta demi meramaikan ide ini. Karena itulah, aku ingin kalian melakukannya dengan sungguh-sungguh, jika tidak, tentu saja aku tidak akan membayar kalian."
"Mama," Kini, Kitara yang berbicara. "Aku harap, di dalam idemu itu, kau memerintahku untuk membunuh Niko. Aku ingin sekali membunuhnya, kumohon, Mama."
Aku tersenyum hangat mendengarnya, kemudian aku menghampiri kursi yang diduduki Kitara dan mengelus-elus rambut hitamnya dengan lembut. "Jangan khawatir, sayang," kataku berusaha menenangkannya. "Kau akan mendapatkan bagian terlezat di ide ini."
Dan aku menyeringai senang.
Tidak bisa kubayangkan bagaimana reaksi Niko, Marcell, Merki, Liona, dan Susy saat terperangkap di dalam ideku ini.
Intinya, persiapkan diri kalian, anak-anak, karena perang yang sesungguhnya akan segera dimulai.
Semoga kalian baik-baik saja.
Musim dingin telah turun, menyelimuti panti asuhan Antaroza dengan hujan salju, membuat genting dan pepohonan tertutupi oleh salju yang tertiup kencang. Hawa dingin mulai menusuk kulit para manusia yang tinggal di sana, apalagi mereka yang terkurung di sel bawah tanah, karena angin super dingin itu berhembus masuk melalui sela-sela atap yang berlubang, membuat para tahanan hampir mati membeku.
Termasuk aku yang berada di salah satu sel bersama dua temanku, kami bertiga meringkuk di lantai karena tidak kuat menahan hawa dingin yang semakin lama semakin membunuh. Kami juga memeluk tubuh kami sendiri dengan erat, mencoba menghangatkan diri.
Tidak adil sekali melihat Liona dan Susy yang tertidur nyenyak menggunakan selimut super tebal pemberian robot kucing itu, kalau tahu akan jadi begini, seharusnya aku juga meminta satu untukku, tapi sayangnya, robot itu hanya datang ketika waktu tertentu saja.
Padahal, tadi sore cuaca masih hangat-hangat saja, tapi mengapa tiba-tiba datang badai salju saat semua orang akan pergi ke alam mimpi? Tentu saja itu membuat kami tidak bisa tidur nyenyak jika terus begini. Ternyata cuaca memang sulit diprediksi, ya?
Aku cukup penasaran pada para tahanan yang punya insting kuat untuk meminta selimut pada robot kucing itu tadi sore, termasuk Liona dan Susy, apakah mereka sudah mengetahui sejak awal bakal ada badai salju yang akan turun di malam hari?
Mengerikan sekali, membayangkannya saja membuatku takut, maksudku, mungkin saja, Liona dan Susy itu memiliki indera keenam, sama seperti tahanan-tahanan lain yang juga meminta selimut dalam waktu bersamaan.
"Hey, Niko, jangan menilai aneh-aneh tentang mereka." tiba-tiba Merki bersuara dari sebelahku, kami sedang dalam posisi yang sama di lantai, yaitu meringkuk seperti kucing.
"Huh? Apa maksudmu?" Jujur saja, aku barusan memang berpikir hal-hal aneh tentang orang-orang yang meminta selimut tadi sore, karena kupikir mereka seperti seseorang yang memiliki indera keenam, tapi, bukankah aku tidak mengatakan apa pun pada Merki soal itu? Ayolah, aku kan sedang berbicara dipikiranku?
"Kau sudah lupa, ya?" Merki menggeserkan badannya mendekatiku, lalu dia tersenyum tepat di depan wajahku, senyumannya sangat menakutkan. "Aku punya pendengaran yang tajam, lho."
Ah, aku lupa soal itu! Merki memang memiliki kelebihan itu, yang bisa mendengar suara apa pun walau terhalang oleh dinding atau pun baja sekali pun. Wajar saja, dia pun bisa mendengar pikiran orang lain, tapi tetap saja, tidak sepenuhnya bisa didengar.
Aku menghembuskan napas. "Huh, iya-iya, aku tahu," ucapku dengan memutarkan bola mataku. "Aku berpikir begitu karena aku iri melihat mereka yang bisa tidur enak dengan selimut yang tebal, sedangkan kita ...."
"Kurasa begini menyenangkan," kata Merki. "Aku mengerti perasaanmu, tapi, jika kau memutar balikkan fakta, bukankah di tempat ini hanya kita yang bisa bersenang-senang? Dengan posisi meringkuk begini, kita bisa melakukan apa saja, seperti," Merki langsung melebarkan lengannya membuat tubuhku dan tubuh Marcell bergeser ke pojokan. "Menyingkirkan teman-temanmu dari areamu sendiri."
Aku beranjak dari lantai dan tersenyum lebar. "Dan kurasa, aku akan memberi pelajaran pada dia yang telah menyingkirkan tubuh teman-temannya! Haha!" Dan aku langsung menggelitik badan Merki hingga kami berdua tertawa bersamaan.
Bug!
Mendadak, Marcell bangun, dia menoleh padaku dan Merki dengan tatapan tajamnya yang menusuk. "Aku tidak suka tidur nyenyakku diganggu oleh orang-orang bodoh seperti kalian." Kemudian, dia kembali berbaring, memunggungi kami.
Ada yang aneh, aku langsung bertanya pada Marcell. "Hmm, ngomong-ngomong dari mana kau mendapatkan kaca mata baru itu, Marcell?"
"Bukan urusanmu." balas Marcell yang masih tidur memunggungi kami. Dia itu kalau tidur sangat merepotkan, kami pasti harus menjaga suara agar dia tidak terbangun dan melontarkan kalimat-kalimat tajam seperti tadi.
Benar-benar merepotkan.
Merki mencolek pinggangku, lantas aku menengok padanya. "Ada apa?" tanyaku dengan antusias.
"Tadi siang, Marcell meminta sendiri pada robot kucing untuk diberikan kaca mata yang baru, dan robot itu langsung memberikan benda itu sore tadi, di saat Liona dan Susy meminta selimut hangat." jelas Merki dengan tersenyum hangat. "Hey, Niko, kurasa aku tidak pernah melihatmu meminta sesuatu pada robot itu, apa kau tidak punya rencana untuk meminta suatu benda?"
Aku merenung seketika, Merki benar, selama ini, aku tidak pernah meminta apa pun pada robot itu, padahal semua orang di sekitarku selalu melakukannya.
Aku terlintas sesuatu, ya, mungkin itu bisa kujadikan sebagai permintaan pada robot itu.
"Baiklah!" Aku menepuk telapak tanganku dengan semangat. "Aku akan meminta celana dalam pada robot itu!"
Mendengarnya, Merki menahan tawa. "Yah, kurasa itu permintaan yang bagus."
☆☆☆
"Niko bodoh! Niko bodoh! Niko bodoh! Mana mungkin Gerry mengabulkan permintaan bodohmu itu! Niko bodoh!"
Esoknya, aku malah dimarahi oleh Gerry, robot kucing yang selalu memberikan makanan pada para tahanan. Dia berkata kalau permintaanku mengenai celana dalam adalah hal yang bodoh, jika itu salah, lalu aku harus meminta apa?
"Jangan menyebutku bodoh tiga kali, Gerry!" Aku gemas sekali pada robot itu, mulutnya itu terlalu pedas, mirip seperti Marcell, tapi raut wajahnya selalu saja tersenyum walaupun kata-katanya kasar. Dasar robot.
"Karena Niko memang bodoh! Gerry tidak suka orang bodoh seperti Niko! Orang bodoh tetaplah orang bodoh!"
"Uuuuurghh!!" Aku benar-benar kesal sekali mendengar Gerry mengatakan itu padaku, rasanya aku ingin membanting tubuhnya hingga rusak dan melemparkan semua benda yang ada di dalam badannya. Sayangnya, dia selalu saja mengeluarkan pistol laser jika ada seseorang yang membahayakan dirinya. Sungguh, mama memang hebat bisa merancang dan menciptakan robot semenyebalkan Gerry.
"Aku setuju pada robot payah itu." ucap Marcell dengan tersenyum dingin, membuatku semakin kesal saja.
"Gerry tidak payah! Marcell yang payah di sini! Marcell payah! Marcell payah!" Mendengar dirinya diejek oleh Gerry membuat Marcell sedikit berkedut jengkel.
Merki yang melihat kami bertengkar bersama robot hanya bisa tertawa riang, mencoba mencairkan suasana agar tidak terlalu serius. Dia memang ahlinya dalam menstabilkan keadaan.
☆☆☆
Seperti biasa, kegiatan kami selain dikurung di dalam sel, kami juga diperintahkan untuk bekerja di kebun yang terletak di halaman belakang panti. Para tahanan selalu mengenakan baju belang-belang berwarna hitam dan putih, saat melakukan pekerjaan kebun.
Para pria tugasnya mencangkul, membuat cangkokan, mengubur sayuran yang busuk, dan menanamkan sayur-sayuran yang masih mungil ke dalam tanah. Sementara para gadis pekerjaannya hanya menyiram, membuat makanan dan menyemangati lelaki. Sungguh perbedaan yang sangat mencolok, bukan?
Padahal sedang hujan salju, tapi kami tetap saja dipaksa untuk berkebun, ini memang penyiksaan. Apakah mama memang sengaja membuat kami kedinginan di luar? Kejam sekali.
"Aku tidak tahan lagi!" Aku langsung membanting cangkulku ke tanah, membuat Susy yang ada di sebelahku terkejut.
"Eh? Ka-kau kenapa, Niko?"
"Aku ingin protes pada Mama! Dia jahat sekali memerintahkan kita berkebun pada musim dingin seperti ini tanpa dibaluti jaket berbulu yang selalu dia pakai! Aku kedinginan sekali di sini!"
Susy tersenyum gugup melihatku marah-marah, dia menyibak poninya yang hampir menutupi mata dan berkata, "Ja-jangan khawatir, sebentar lagi, kita pasti diberikan jaket itu, tetaplah bertahan, Niko." ucap Susy menyemangatiku, mendengar gadis itu berbicara membuatku terharu. Baru kali ini aku berbicara empat mata dengan Susy, biasanya aku juga agak malu jika hanya berdua dengannya.
"Um!" Aku mengangguk cepat, seperti seorang tentara yang menghormati jenderalnya. "Aku pasti akan bertahan!"
Susy tersenyum lega mendengar jawabanku, melihat senyumannya benar-benar membuatku senang.
Semua tahanan sibuk dengan urusannya masing-masing, mereka semua melakukan tugasnya dengan sangat cepat. Karena udara salju yang tebal membuatku tidak bisa melihat dengan jelas pada orang-orang yang ada di dekatku, bahkan, dari sini, aku seperti memandang bayangan saja. Badainya semakin kencang saja.
Ini gawat! Tapi, mengapa mereka semua masih bersikap seperti biasa, berkebun, mencangkul, menyiram, bercanda, seolah-olah mereka lupa kalau saat ini badai salju sedang berlangsung.
"Susy!" Tidak ada jawaban, semuanya tampak tidak jelas karena angin yang berhembus sangat kencang, sampai butiran-butiran salju itu bertumpuk di tubuhku, sampai kakiku saja sulit melangkah karena menginjak bongkahan salju yang mengumpul di tanah.
"Marcell! Liona! Merki! Susy! Kalian masih ada di sana, kan?"
Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang mencengkram kedua betisku dari dalam tanah, aku terkejut menyadarinya, tapi, saat aku akan berteriak, tubuhku langsung ditarik ke bawah, tenggelam di tumpukan salju dan masuk ke dalam tanah, meninggalkan para tahanan yang masih bekerja di halaman belakang panti.
"WOAAAH!! SIAPA PUN! TOLONG AKU!"