Turun dari taksi, Sheina pun gegas masuk ke dalam gerbang rumahnya. Sheina sempat berhenti sejenak. Rasa rindu menyeruak kala kakinya mulai menginjak rerumputan di pekarangan rumah itu. Sekuriti menyambut kedatangannya dengan ramah. Meskipun dua tahun telah berlalu, tapi petugas keamanan di rumahnya tentu masih mengingat jelas siapa itu Sheina.
Netra Sheina seketika diselubungi kabut bening. Rindu. Ia benar-benar merindukan kehidupannya yang dulu. Saat ibunya masih sehat, ia kerap bermain dan menghabiskan waktu bersama ibunya. Menyiram tanaman bersama. Membuat kue bersama. Menunggu kepulangan sang ayah bersama. Meskipun ayahnya tidak pernah membalas sambutannya seperti harapannya, tapi ia tidak masalah.
Saat kecil Sheina pernah bertanya, kenapa sikap ayahnya begitu dingin padanya? Mengapa ayahnya tidak seperti ayah teman-temannya yang suka tersenyum, mengajak bermain, bercerita, jalan-jalan bersama?
"Apa Daddy tidak sayang padaku, Mom?" tanya Sheina kecil.
"Siapa bilang Daddy tidak menyayangimu? Daddy menyayangimu, Nak. Sangat sayang. Daddy hanya kelelahan saja," jawab sang ibu.
Sheina kecil percaya saja. Meskipun ia terkadang iri dengan sikap sang ayah pada sepupunya. Ayahnya begitu lembut, ramah, dan penuh perhatian pada sepupunya. Berbanding terbalik dengan dirinya. Ayahnya sangat-sangat dingin. Sheina kecil jadi sering menangis karena iri.
"Sheina mau Daddy," lirih Sheina saat itu.
Hingga suatu hari, terkuaklah fakta kalau sepupunya ternyata putri ayahnya. Pantas saja ia begitu menyayanginya.
Tapi Sheina juga putrinya. Kenapa ayahnya justru memperlakukan mereka berbeda?
Sheina menggelengkan kepalanya cepat. Mengingat masa lalunya yang pahit hanya membuat kesakitan Sheina kian menjadi-jadi. Karena terlalu larut dalam ingatan masa lalunya, Sheina sampai hampir saja lupa tujuan kedatangannya. Dengan langkah pasti, Sheina pun berjalan menuju pintu masuk. Namun sebelum ia masuk, perhatian Sheina justru terdistraksi dengan keberadaan mobil seseorang yang sangat dikenalinya.
"Mobil ini? Bukankah ini ...." batin Sheina bertanya-tanya. Kenapa mobil seseorang yang sangat ia kenali justru ada di sini?
Dengan perasaan yang terus bertanya-tanya, Sheina kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah. Rumah itu dalam keadaan sepi. Entah dimana istri muda ayahnya itu. Ayahnya juga belum pulang ke rumah.
Sheina terus melangkah hingga tibalah ia di ruang keluarga. Matanya mengerjap, mencoba meyakinkan apa yang lihat itu hanyalah ilusi. Sheina mengucek kedua matanya. Hingga beberapa detik, apa yang ia lihat tetap ada di posisinya. Bahkan kegiatan yang tadi hanya sekedar b******u, kini sudah berganti dengan kegiatan sentuh menyentuh tempat-tempat sensitif.
"Ah, permainan jarimu memang selalu menakjubkan, Moreno," racau perempuan yang tak lain adalah saudari beda ibu Sheina itu saat laki-laki yang sedang memangkunya menusuk-nusukkan jarinya keluar masuk liang kewanitaannya.
Laki-laki itu terkekeh. "Mau langsung ke intinya?"
"Of course." Perempuan itu menjawab dengan bersemangat. Ia pun segera melucuti pakaiannya yang memang sedari tadi sudah berantakan. Sementara sang laki-laki hanya menurunkan celananya saja. Sheina yang sedari tadi berdiri tak jauh dari sana benar-benar terperangah. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya bergetar hebat, matanya memanas, dan gemuruh di hatinya meletup-letup saat melihat adegan tak terduga itu.
Hingga akhirnya suara desahan terdengar jelas dari bibir Sylvia menyadarkan Sheina kalau keduanya pasti sudah menjalin hubungan itu sejak lama.
"Ah, ah, ah, yes, faster, faster, ahh ...."
Tiba-tiba sebuah guci meluncur begitu saja kemudian pecah dan hancur berantakan di lantai tepat di samping Sylvia dan Moreno. Moreno sebenarnya adalah kekasih Sheina. Mereka sudah menjalin hubungan sejak SMA. Mereka dikenal sebagai pasangan yang sangat serasi. Cantik dan tampan. Moreno pun selama ini selalu bersikap baik, lembut, dan penuh perhatian. Dengan Moreno, Sheina kerap meluapkan keluh kesahnya atas sikap ayahnya yang tak pernah memedulikannya.
Namun siapa duga, kalau laki-laki yang digadang-gadang Sheina sebagai masa depannya itu justru tega menusuknya dari belakang. Ia berselingkuh dan yang lebih parah ia berselingkuh dengan seseorang yang sudah merebut hidup dan kebahagiaannya–Sylvia.
Sylvia dan Moreno terlonjak. Bahkan penyatuan mereka sampai terlepas paksa. Keduanya pun menoleh dari arah pintu masuk. Posisi mereka yang tengah berbaring di atas sofa membuat keduanya tidak menyadari keberadaan Sheina yang sejak tadi memperhatikan mereka.
"Jadi ini yang kau sebut dengan sibuk bekerja?" sarkas Sheina membuat Moreno gelagapan. Ia pun segera menarik celananya berikut resletingnya.
"Ini ... ini tidak seperti yang kau bayangkan, Sayang. Kami ... kami hanya sedang ...."
"Hanya sedang apa? Making love ... atau having se-x?" sinis Sheina yang sudah menatap tajam keduanya. "Aku tidak menyangka kalau kedatanganku kemari setelah dua tahun tak pernah menginjakkan kaki di sini justru disambut dengan pemandangan yang fantastis seperti ini. Hebat!" Sheina bertepuk tangan sambil melangkah maju.
Moreno berusaha mendekat hendak meraih tangan Sheina, tapi Sheina segera menghindar.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu, b******k!" sentak Sheina. Terdengar dengusan kesal dari belakang. Itu adalah Sylvia yang sedang mengenakan pakaiannya.
"Berhenti berdrama di sini! Katakan, untuk apa kau kembali, hah?" sinis Sylvia. "Ini bukan rumahmu lagi. Daripada ribut-ribut di sini, lebih baik kau urus ibumu yang gila itu!" imbuh Sylvia membuat rahang Sheina mengeras. Bila selama ini Sheina selalu diam atas segala tindakan Sylvia dan ibunya, termasuk saat mereka berlaku semena-mena, maka kini tidak lagi. Sheina tak ingin harga dirinya diinjak-injak lagi.
"Tutup mulutmu, B!tch!" Sentak Sheina dengan wajah merah padam. "Bagaimanapun, aku yang lebih berhak atas rumah ini! Apa harus aku ingatkan kalau perusahaan yang Daddy pimpin itu adalah milik Mommy-ku? Dan karena aku adalah anak satu-satunya, akulah yang lebih berhak termasuk rumah ini!" Imbuh Sheina dengan mada meninggi.
"Dan kau, aku tidak menyangka, setelah segala yang kau ambil, kini Moreno pun kau ambil. Kau benar-benar b******k, Sylvia!"
"Mengambil? Memangnya siapa yang mengambil Moreno? Sayang, ayo katakan padanya, siapa yang lebih kau pilih? Berikut alasannya. Tak perlu kau tutup-tutupi lagi supaya matanya terbuka," seru Sylvia.
Moreno menyugar rambutnya kasar. Wajah mengiba Moreno seketika berubah. Sheina sampai terperangah melihatnya.
"Aku lebih memilih Sylvia. Bagiku, dia yang lebih pantas menjadi pendampingku. Dia memenuhi segala ekspektasiku. Selain cantik, ia adalah putri keluarga Salvatore yang berharga. Ia juga pewaris satu-satunya Sanz Group. Hanya dia yang pantas menjadi pendampingku sebagai satu-satunya pewaris Moreno's Inc. Aku harap kau mengerti. Meskipun kau pun putri dari Adam Salvatore, tapi kau adalah putri yang tak dianggap. Aku harap kau mengerti dan merelakan aku ...."
"b******n!" umpat Sheina dengan d**a bergemuruh. "Sepertinya kau sangat suka dengan segala yang aku miliki." Sheina melirik Sylvia yang tengah tersenyum penuh kemenangan. "Ambil saja! Ambil saja sampah seperti dirinya. Aku tidak butuh. Namun, ini untuk yang terakhir kali. Aku pastikan kau takkan bisa mengambil milikku lagi. Dan perlu aku ingatkan, aku adalah pewaris sah Sanz Group. Saham terbesar Sanz Group masih dimiliki ibuku. Lalu, kau ingin menjadi pewaris satu-satunya? Jangan lupa, Sanz Group dibangun oleh ibuku. Jadi kalian tidak memiliki hak apa-apa di sini. Camkan itu!"
"Siapa yang bilang ibumu masih jadi pemegang saham terbesar Sanz Group?" Seorang wanita paruh baya berjalan anggun masuk ke dalam rumah. Di sisinya ada seorang laki-laki paruh baya yang kini sedang menatap datar. "Apa kau belum tahu kalau pemilik sah Sanz Group sekarang adalah aku, Nyonya Deana Salvatore," ucapnya membuat mata Sheina terbelalak.
***