Lain di Bibir, Lain di Hati
“Kau sengaja melakukan itu pada Ririn?” Hardi menghardik pada istrinya tersebut.
Tentu saja, Sonya yang buta itu seharusnya memang tak mengerti. Maka dia pun hanya berbalik sambil memasang wajah datarnya. “Kenapa, Sayang?” timpal Sonya dengan senyum manja yang selalu ia berikan untuk Hardi.
“Kau memukul kaki Ririn menggunakan tongkatmu?” sentak Hardi.
Lalu Ririn pun menimpali. “Iya, Nyonya pukul saya dengan tongkat ini tadi!” ujarnya sambil merebut tongkat dari tangan Sonya.
“Ah!” Karena tongkat miliknya direbut secara tiba-tiba, maka Sonya pun pura-pura tersungkur akibat tak ada pegangan di tangannya.
“Kapan aku memukulmu?” tutur Sonya dengan pilu.
“Barusan! Aku juga lihat dengan mata kepalaku sendiri! Kau sengaja mengetuk tongkat lebih keras untuk memukul kaki Ririn!” Kali ini ibu mertua Sonya yang menimpali.
Sonya pun mengerutkan dahi, dia meraba pada dinding, lalu mencoba berdiri. “Aku menggunakan tongkat untuk menuntunku berjalan. Tongkat itu hanya aku ketuk pada lantai yang ada di depanku, aku sama sekali tak mengetuk benda lain apalagi kaki seseorang! Kecuali jika benda tersebut ada di depan dan menghalangiku, pasti tongkatku tak sengaja mengenainya.”
Saat bicara demikian, Sonya langsung menutup mulutnya. “Hah? Tidak mungkin, kan, kalau kaki Ririn ada di depan jalanku? Untuk apa? Kecuali jika dia ingin menjegalku?” Suara Sonya dilirihkan, lalu sedikit seringai ia angkat dari ujung bibir.
“Kau tidak seperti itu, kan, Ririn?” Sonya menyudutkan lawannya dengan cara yang elegan.
Hardi menelan ludahnya. “Tidak mungkin, Ririn menjegalmu! Tapi ... kamu memiliki pendengaran yang kuat, kamu seharusnya tahu jika Ririn ada di depanmu.”
“Aku tetap tidak bisa tahu, kalau Ririn bersuara, Sayang! Kau pasti saat ini sedang kesakitan, ya, Rin? Aku minta maaf!” Wajah polos Sonya tampak memohon.
Pada akhirnya, Hardi juga tidak lagi membahas hal tersebut walau Ririn tampak merengek. “Sudahlah! Aku tidak akan membahas lagi masalah ini! Tapi kau, Sonya! Kau harus kembali lagi ke kamar dan jangan berkeliaran! Jika ada yang kauperlukan, panggil asisten saja seperti biasa!”
“Baiklah ...,” timpal Sonya sambil berbalik meninggalkan mereka.
“Mas ...,” bisik Ririn dengan penuh kekesalan.
Sementara itu, Sonya berpura-pura pergi dari ruangan tersebut, yang padahal dia masih ada di sekitar tempat itu untuk mengamati apa yang setelah ini bisa terjadi. Kira-kira apa yang dilakukan oleh Hardi pada selingkuhannya tersebut.
“Mas, kenapa dilepaskan begitu saja itu Si Sonya! Mas tidak kasihan padaku apa?” protes Ririn merajuk.
Sonya menikmati drama tersebut dari balik jendela luar ruangan.
“Rin ..., sudah, ya! Aku sudah mencoba untuk memarahi Sonya tadi! Tapi dia malah menjawab demikian, kalau dia sampai benar-benar curiga kaulah yang hampir mencelakai dia, maka kau tanggung sendiri akibatnya!” tegur Hardi pada perempuan tersebut.
Ririn mengerucutkan bibir sambil mengentak-entakkan kaki. Dia tak terima jika Hardi tetap bersikap lembut pada istrinya tersebut.
Sementara Sonya, masih tersenyum saat melihat bagaimana wajah kedua orang itu yang masih kesal pada dirinya.
“Ririn, Ririn! Tahu dirilah kau jika ingin menghancurkan aku! Kalau kau ingin memiliki Hardi, rebutlah dia, Rin! Aku akan permudah jalanmu! Tapi, sampai mati pun, kelasmu tidak akan sederajat denganku!”
**
“Ini bubur alpukat untuk Nyonya Sonya.” Seorang asisten rumah tangga, seperti biasa akan mengantar makanan ke kamar Sonya.
“Terima kasih, Fatimah!” timpal Sonya sambil menerima sendok yang diberikan oleh Fatimah. Bahkan di depan ART-nya pun, Sonya tetap berpura-pura buta seperti sebelumnya.
“Apa kali ini Tuan Hardi mengurung Anda di kamar?” tanya sang asisten tersebut sambil menemani Sonya.
Sonya tersenyum. “Fat, tolong tuangkan sedikit madu lagi ke buburku! Kau membawa madunya juga, kan?” pinta Sonya.
“Baik, Nyonya! Saya bawa, kok, madunya! Ditambah satu sendok cukup?”
Sonya pun mengangguk. “Coba tambahnya dua sendok, aku ingin rasa yang sangat manis hari ini.”
“Iya, Nyonya!” Fatimah pun melakukan apa yang diminta oleh Sonya dan memberi madu untuk bubur alpukat tepat dua sendok. Sesuai dengan yang diminta.
“Fat, kamu sudah makan?” tanya Sonya.
“Sudah, Nyonya! Saya selalu makan di jam makan para ART.”
“Kamu betah tinggal di sini?”
Kali ini Fatimah tampak terdiam. Sonya bisa melihat, bagaimana wajah wanita muda tersebut menunduk sedih. “Saya betah, kok, Bu!” jawab Fatimah yang tak sesuai dengan ekspresi wajahnya.
Sudah berulang kali, Sonya melihat orang memasang ekspresi yang berbeda dengan ucapannya. Tapi Sonya harus mencoba untuk percaya.
“Syukurlah kalau begitu! Jika ada yang kau butuh atau ada sesuatu yang membuatmu tak nyaman selama tinggal di sini, jangan sungkan katakan padaku. Aku tidak mau kau juga tiba-tiba pamit pulang kampung tanpa alasan seperti bibimu dulu.” Kali ini Sonya menerawang jauh pada kenangan saat awal-awal ia mengalami kebutaan dulu, di mana kepala pelayan kepercayaannya, Aminah, tiba-tiba mengundurkan diri dan harus diganti oleh Ririn.
“Bibi Aminah bilang dia sakit, Nyonya. Makanya beliau memilih pulang,” jawab Fatimah dengan wajah yang sangat sedih.
“Sebelum pergi, aku tahu jika dia menitipkan aku padamu. Sampai sekarang kau benar-benar menjadi orang yang paling menjagaku.”
Fatimah terlihat menitikkan air mata.
Hampir saja, Sonya spontan ingin mengusap mata gadis itu. Tapi dia terpaksa untuk diam dan pura-pura tak menyadarinya.
“Saya senang bekerja bersama Nyonya Sonya. Nyonya Sonya adalah orang yang baik, jadi ... saya selalu berusaha untuk membalas kebaikan Nyonya.”
Tak terasa, Sonya telah menyelesaikan makanannya. Fatimah kembali membereskan semua peralatan makan miliknya.
“Saya permisi dulu, Nyonya!” pamit Fatimah.
“Iya, terima kasih!”
Sonya melihat Fatimah meninggalkan kamarnya. Lalu dia berpikir sesuatu tentang mantan kepala pelayan yang dulu pernah bekerja dengannya.
“Kenapa wajah Fatimah langsung berubah menjadi sangat sedih ketika aku membicarakan bibinya? Apa terjadi sesuatu pada Bi Aminah dulu?” pikir Sonya.
“Aku harus mencari tahu!” tukasnya sambil mengambil tongkat lalu ia pun berjalan keluar dari kamar.
Sonya berjalan layaknya orang buta melewati lorong rumahnya.
Lalu, ia tak sengaja berpapasan dengan dua orang ART lain yang sedang membersihkan keramik hiasan di lorong.
Sonya tetap berjalan menggunakan tongkatnya. “Apa ada orang?” tanya Sonya sambil menoleh kanan kiri.
Kedua ART tersebut diam saja, mereka malah menepi sambil menatap Sonya dengan tatapan sinis. Mereka memberi kode pada satu sama lain, yakni dengan meletakkan telunjuk di bibir masing-masing, pertanda agar mereka saling diam.
“Oh, mungkin aku salah dengar!” ujar Sonya sambil terus berjalan.
Lalu dua ART tersebut menertawakan Sonya tanpa suara. Mereka menutup bibir sambil menahan agar tawa mereka tidak terdengar.
Sonya bisa dengan jelas, para pegawai yang bekerja di rumahnya itu mencemooh dirinya.
“Kalau dipikir lagi, asisten rumah tangga yang benar-benar hormat padaku hanya Fatimah. Hmm, aku yakin yang lain pasti sudah lebih tunduk pada Ririn. Buktinya, tak ada seorang pun yang memprotes saat foto mereka dipajang di kamarku!”