Sesaat setelah Vanya menyemangati dirinya sendiri, ia berbalik hendak kembali ke dalam toko dan menyusul Mbok Sih. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara siulan dari arah belakang sana. Vanya menghela napas kasar. Bersama mood yang belum sepenuhnya membaik, tapi sudah ditambah dengan perkara lain. Vanya berniat hendak berbalik badan dan melihat perkara apalagi yang menghampirinya.
Perkara? Tentu saja. Orang di belakang sana bersiul kepadanya. Siapa lagi? Yang ada di lorong ini hanya dirinya seorang!
Hingga Vanya pun berbalik badan dan sudah siap dengan makian yang telah ada di ujung bibirnya. Akan tetapi, tubuhnya seketika membeku saat mengetahui siapa sosok yang berani mengeluarkan siulan di lorong sepi ini. Sosok itu..
“Kak Jordan!?”
Vanya terkejut dengan adanya pria tersebut. Pria yang pernah ia tabrak tanpa sengaja di koridor kampus. Lalu, Vanya ketahui bernama Jordan. Karena pria itu mengenalkan diri pada Vanya.
Tubuh tegap tinggi, wajah yang tak asing, sedang tersenyum miris padanya. Apakah pria ini tahu bahwa Vanya dan Lian tadi sempat gaduh di sini? Hah..rasa-rasanya Vanya ingin menenggelamkan dirinya di samudra saking malunya. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur berjumpa dengan sosok Jordan, Vanya tidak bisa melarikan diri kemana-mana.
“Sebentar..” Saat kening Vanya masih mengerut, tangan Jordan tiba-tiba mengusap sudut mata Vanya dan pipi kiri bawahnya. Seketika tubuh Vanya beku kaku. Sudah pasti yang diusap Jordan adalah sisa kekacauannya—air mata. “Lo enggak bawa kaca kemana-mana? Biasanya cewek selalu bawa kaca seisinya kemana-mana.”
“Emm..e—enggak, Kak.”
Pada jarak yang masih sedekat ini, tentu gugup merupakan suatu hal yang wajar Vanya rasakan. Vanya gugup sekali sampai jantungnya berdebar-debar. Tapi debarannya lebih kepada grogi, bukan karena perasaan cinta. Karena cintanya hanya untuk Lian seorang. Titik.
Mendengar gadis di depannya ini gugup, hati Jordan merasa senang. Entahlah..sejak pertemuan pertamanya dengan Vanya—hari-hari Jordan kerap membayangi wajah cantik Vanya. Dari ekspresi Vanya yang gugup sampai marah-marah, semua masih terekam jelas diingatan Jordan. Membuat Jordan merasa bak ketiban undian karena bertemu gadis ini di toko bahan roti.
Memang, Jordan kemari atas paksaan sang mama yang meminta diantar. Tapi kini Jordan sudah membuang jauh-jauh perasaan terpaksa itu. Semua karena Vanya. Bidadari cantik, yang menabraknya di koridor kampus sampai membuat seluruh map-map yang ia bawa jatuh berserakan! Jordan yang sebenarnya terkenal tegas dan sedikit galak, dibungkam oleh aura kecantikan yang terpancar di wajah Vanya. Sehingga bibirnya kelu untuk sekadar memarahi Vanya. Belum sampai di situ saja, karena kekacauan yang dibuat Vanya, Jordan sampai telat menemui dosennya.
Mengingat hal itu, Jordan sebenarnya ingin marah pada Vanya. Tapi tidak jadi. Mana bisa ia marah kepada bidadari secantik ini? Menggemaskan!
“Aww! Apaan sih lo, Kak!? Tangan lo gratil amat! Cubit-cubit pipi gue..” kesal Vanya. Ia terkejut dengan tindakan tangan Jordan yang tiba-tiba mencubit gemas kedua pipinya.
Jordan terkekeh kecil dan mundur beberapa langkah ke belakang supaya mereka nyaman berbicara. “Sorry-sorry, abisnya gue gemes sama lo! Gue sebenarnya kepingin cekek leher lo, karena gue benci lihat lo cosplay jadi cewek lemah kayak tadi. Apaan coba!? Lo berharap dikasihani sama cowok? Buang jauh-jauh harapan lo itu! Karena enggak semua cowok bisa berubah jadi lembut ketika ngeliat air mata ceweknya.”
Vanya tidak menyangka, Jordan bisa nyerocos sepanjang ini tanpa tahu duduk perkaranya.
Mengusap-usap dagunya. Jordan kemudian melanjutkan cerocosannya, “Tapi cuman cowok b******k yang ngebiarin ceweknya nangis gitu aja. Yaa..lo pahamlah apa maksud dari perkataan gue. Kalau perlu, lo garis bawahi pakai spidol merah permanen.”
‘Tapi gue enggak termasuk cowok b******k ya, Bidadari Cantik. Buktinya, gue sempetin ngusap sisa air mata lo. Lo terlalu baik buat nangisin Pak Lian..’ batin Jordan meyakini dirinya tidak setipe dengan Lian yang tadi bertengkar hebat dengan Vanya.
Jordan tentu mengenali wajah sang pria. Ternyata sosok motivator yang selama ini dielu-elukan. Siapa sangka kata-katanya bisa semenyakitkan ini? Padahal Jordan rasa, Vanya sempurna. Pria manapun pasti beruntung karena disukai oleh gadis secantik Vanya.
“Lo kenapa enggak tampar Pak Lian tadi? Perkataannya nyakitin! Hati lo pasti sakit banget, ya?”
Sudah cukup. Vanya rasa, ini saatnya ia angkat bicara. Atas segala celotehan Jordan yang tidak tahu bagaimana duduk perkara sebenarnya, Vanya memakluminya. Tapi satu hal yang membuat telinga Vanya panas adalah ketika Jordan menyebut Lian ‘cowok b******k’. Hati Vanya tak terima. Meskipun tadi ia dibuat menangis oleh Lian.
“Enggak, kok! Biasa aja. Lagian wajar kalau Pak Lian marah, karena tingkah gue udah ganggu banget, Kak. Gue sadar sama kesalahan gue.”
“Eh-ehh..lo kok jadi nyalahin diri lo sendiri, sih!? Ini, nih. Yang enggak gue suka dari cewek kalau udah jatuh cinta setengah mati! Cintanya sih, indah. Anugerah rasa. Tapi jatuhnya..bego banget! Cinta, boleh. g****k, jangan. Lo pernah dengar slogan itu ‘kan?”
“Lo ngomong kayak gitu, karena lo enggak ada di posisi gue, Kak. Jadi, gue mohon. Jangan ngatain gue b**o. Yang namanya cinta ‘kan butuh perjuangan.”
“Iya, sorry kalau kata-kata gue kasar. Tapi setahu gue, berjuang itu bersama-sama. Bukan sendirian. Emangnya lo mau mati konyol di medan perang? Yaa syukur-syukur aja kalau dia nangisin lo. Kalau dia malah party? Apa enggak sia-sia perjuangan lo yang setengah mati itu? Ha?” Jordan mengibaratkan meraih cinta itu seperti memenangkan sebuah pertempuran. Di sini, Vanya mulai kagum dengan pikiran cerdas Jordan. Ternyata pria ini tidak sekadar njeplak atau asal bicara. Ia mempunyai teori-teori yang harus Vanya akui, masuk akal.
Tapi meskipun begitu, Vanya tak mengindahkan teori Jordan. Karena bagi Vanya, cinta tetap cinta. Teori jenis apapun akan sia-sia saja karena tidak akan bisa digunakan.
“Lo cocok jadi penasihat cinta, Kak. Coba buka jasa, pasti rame.”
“Ogah! Gue maunya cuman nasihatin lo doang! Karena lo bloonnya udah sampai di taraf kebangetan. Paham lo?”
“Iya-iya..” Vanya memutar kedua bola matanya dengan malas. Dijawab sekadarnya saja, supaya cepat kelar.
Mereka pun memutuskan untuk kembali ke dalam toko bersama-sama. Seraya melanjutkan perbincangan kecil mengenai pengenalan lebih lanjut. Karena Jordan merasa ia akan menjadi pahlawan untuk Vanya kedepannya. Ia tidak terima Bidadari Cantiknya dibuat menangis oleh pria, sekalipun itu Pak Lian.
Pria manapun tiada yang berhak membuat Bidadari Cantiknya menangis. Garis bawahi.
Namun tanpa sepengetahuan keduanya, sejak tadi ada sepasang telinga lain yang menguping. Ia menyesali rasa bersalahnya yang membawa langkah kakinya kembali untuk melihat kekacauan yang telah ditimbulkan oleh bibir tajamnya. Ya, sosok itu tak lain dan bukan adalah Lian.
Lian merasa sudah sangat keterlaluan. Ia berniat menyusul Vanya, guna melihat keadaannya sekilas. Siapa tahu, Vanya lupa jalan untuk kembali masuk ke dalam toko. Mengingat tadi Lian menyeretnya tanpa ampun. Namun semua rasa bersalah dan kekhawatirannya luruh begitu saja saat melihat Vanya tengah bersama pria lain. Lian mengenali wajah pria tersebut. Matanya jelas tidak pernah salah dalam mengenali wajah seseorang. Sekalipun jarak mereka tidak terlalu dekat. Karena Lian sendiri juga bersembunyi dengan baik agar tidak terlihat oleh keduanya.
Pria itu merupakan pria yang pernah berinteraksi dengan Vanya di kampus, yang membuat Lian geram karena keduanya berinteraksi di tengah koridor. Menguasai jalan koridor.
Melihat tangan pria itu menghapus air mata Vanya, Lian merasa sedikit lega. Walau perasaannya jadi tidak karuan. Entah perasaan apa ini? Mengganggu sekali rasanya. Sebuah perasaan kesal dan tak terima. Harusnya tangan Lian yang menghapus air mata Vanya, bukan tangan pria lain. Karena Lian merasa bertanggung jawab atas hal tersebut.
Ya, hanya sekadar bertanggung jawab. Tidak lebih. Lian tegaskan hal itu berkali-kali dalam dirinya.
Hingga kini langkah kakinya kembali menyusul Yasmin yang sebelumnya telah menghubunginya. Mengabarkan bahwa ia sudah selesai berbelanja. Selama itu ternyata pertengkaran hebat diantara dirinya dan Vanya. Walau bertengkar itu suatu hal buruk, tapi Lian berharap bisa mengambil hikmah dari pertengkarannya dengan Vanya. Lian berharap, setelah ini Vanya benar-benar sadar. Tak lagi mengejarnya dengan menggebu-gebu.
Karena cinta pada pandangan pertama, kata Vanya? Yang benar saja! Lian saja gagal meraih kebahagiaan dengan cinta pandangan pertamanya—Kirania. Maka dari itu Lian benci saat Vanya mengatakan hal mengenai cinta pandangan pertama.
Cinta pandangan pertama Lian menyakitkan.
“Mas Lian?” panggil Yasmin yang langsung memecah segala pikiran Lian. Lian tidak menjawabinya, hanya mendongak saja untuk menatap Yasmin. “Kita pulang sekarang?”
“Y—ya, memangnya hendak pergi kemana lagi?”
Dengan perasaan tak enak, Yasmin menggigit bibir bawahnya. Ia ragu-ragu bertanya, “Apa boleh mampir makan siang? Perut Yasmin lapar, Mas..”
Lian merasa sangat bersalah karena memikirkan cinta konyol Vanya kepadanya, ia sampai mengabaikan urusan perut sang sepupu. Kasihan sekali gadis baik-baik ini. Harus menjadi korban atas hal yang tidak penting.
“Tentu saja, Yasmin. Maafkan saya. Ayo kita mampir ke rumah makan padang. Kesukaan kamu ‘kan?”
“Iya, Mas!” jawab Yasmin yang merasa senang luar biasa. “Mmm..terima kasih, Mas Lian..” cicitnya kemudian. Ia menyadari keantusiasannya ini membuat Lian terkejut.
Tapi Yasmin lebih terkejut di sini! Ia merasa bahagia karena bisa menambah waktu untuk berdua-duaan dengan Lian. Beberapa kali Yasmin merapalkan kata maaf kepada Sang Penciptanya atas keegoisannya merawat rasa cinta yang indah ini. Selain itu, Yasmin sangat bahagia karena Lian ternyata masih mengingat makanan kesukaannya. Semua menu makanan di rumah makan padang memang Yasmin sukai. Rumah makan padang itu seperti surga tersendiri untuknya.
Perumpamaannya, hari ini merupakan hari berbahagia Yasmin. Selain perutnya dimanjakan, detik-detik yang ia lalui bersama Lian juga sangat berkesan. Kapan lagi ia bisa menghabiskan waktu bersama Lian? Jarang sekali rasanya mereka bisa menghabiskan waktu bersama seperti sekarang ini. Maka dari itu, Yasmin memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Setelah keluar dari toko bahan roti dengan membawa banyak belanjaan. Mereka berdua segera meluncur ke rumah makan padang yang tempatnya sangat mewah. Yasmin meragukan tempatnya yang seperti sebuah restoran mewah. Takutnya, tidak ada menu makan yang biasanya ia pesan di rumah makan padang. Kan sia-sia saja.. Sedangkan perutnya sudah meronta-ronta meminta diisi.
“Mas Lian yakin ini rumah makan padang?”
“Iya. Ini rumah makan padang yang tempatnya sangat nyaman. Saya pernah kemari dengan rekan bisnis saya. Cita rasanya tetap khas. Saya jamin kamu pasti menyukainya, Yasmin.” Bila Lian sudah meyakinkannya seperti ini, Yasmin bisa apa? Ia meleleh karena Lian lembut sekali dalam meyakinkannya barusan. Rasanya perut Yasmin sudah kenyang hanya dengan memandangi Lian!
“Kenapa kamu memandangi saya? Kamu tidak mau makan siang di sini?”
“Eum? E—enggak kok, Mas. Yasmin mau. A—ayo kita turun..” Yasmin segera turun dari mobil. Ia merasa, pipinya memanas. Memandangi Lian secara terang-terangan sangatlah tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Apalagi ketika Lian menegurnya. Rasanya double kill!
Mereka berdua masuk ke dalam restoran yang menjual menu masakan padang itu. Kemudian menduduki sebuah meja bernomor atas arahan pelayan. Kemudian memesan makanan yang mereka mau.
Seraya menunggu pesanan datang, Lian bermain ponsel untuk mengecek bilamana ada yang menghubunginya terkait pekerjaan. Namun yang ia dapati justru Kavin yang sedang memamerkan chat singkatnya bersama Shafa. Shafa tampak sibuk, tapi mengirimkan sebuah foto pada Kavin dengan ekspresi cemberut yang menggemaskan. Lian bahkan geli melihat balasan Kavin kepada pujaan hatinya. Emotikon hati yang diberikan Kavin sampai tidak bisa Lian hitung.
Lebay!
Melihat Lian yang tersenyum-senyum sendiri dengan ponselnya, Yasmin merasa sedih. Mungkinkah Lian sudah berbaikan dengan gadis bernama Vanya tadi? Sebenarnya ada hubungan apa antara mereka berdua? Yasmin bukanlah gadis bodoh yang tidak menangkap sinyal-sinyal ketertarikan Vanya kepada Lian.
Hingga..sebuah deheman membuat Lian mengusaikan kesibukannya dengan ponsel.
Lian peka. Yasmin ingin berbicara. Maka dari itu, Lian mendongak. Ia telah siap mendengarkan ucapan yang akan keluar dari bibir Yasmin.
“Mas.. Gadis yang tadi cantik, ya?”
“Biasa saja. Saya sedang tidak ingin membahasnya, Yasmin.”
Tidak menyerah, Yasmin merasa harus memastikan sesuatu. Ia takut kehadiran gadis tadi di hidup Lian, dapat membahayakan posisinya selama ini. “Iya, Yasmin tahu. Yasmin hanya penasaran saja, Mas. Dia sepertinya sangat menyukai Mas Lian.”
“Dia hanya penasaran kepada saya.”
“Menurut saya, pandangannya kepada Mas Lian berbeda. Kami ini sesama perempuan, Mas. Jadi Mas Lian tidak bisa meragukan penafsiran Yasmin atas pandangan Vanya pada Mas Lian tadi,” kukuh Yasmin yang merasa paling tahu.
Tapi memang Yasmin tahu. Arti tatapan Vanya kepada Lian menyiratkan hatinya yang menggebu-gebu menyukai Lian. Terlepas dari Lian mengartikannya hanya sekadar penasaran, Yasmin tidak peduli.
Yang jelas, tatapan Vanya kepada Lian tiada bedanya dengan cara Yasmin menatap Lian selama ini. Yasmin menyadari hal itu. Makanya ia sangat kukuh berpendapat di sini.
“Yaa..itu ‘kan pendapat kamu. Beda lagi dengan pendapat saya.”
Makanan pun datang. Sehingga menjeda perdebatan mereka. Tersaji di atas meja dengan keadaan hangat dan higienis. Tampak lezat dan menggugah selera padahal baru dipandangan mata dan penciuman hidung. Yasmin sampai menelan ludahnya sendiri. Ini godaan terberat untuk meneruskan perdebatan dengan Lian. Tapi ia harus menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Setidaknya, jawaban itu nantinya dapat mengurai kekhawatirannya.
“Tapi Mas Lian sendiri bagaimana?”
“Bagaimana apanya?” Lian bertanya balik seraya tangannya sibuk membersihkan sendok menggunakan tisu yang tersedia di atas meja.
“Mas Lian juga menyukai Vanya?”
***