Pertanyaan Baskara sukses membuat semua orang di meja makan menghentikan kegiatan mereka. Sebenarnya Baskara sangat anti berbicara saat sedang makan. Namun, ketika ada orang luar seperti Yasmin duduk di tengah-tengah mereka dan ikut makan, Baskara merasa harus mencairkan suasana di meja makan yang biasanya hening. Baskara hanya tidak ingin Yasmin merasa kehadirannya mengganggu acara makan bersama keluarga omnya.
Karena pertanyaan Baskara, semua mata kini tertuju pada Yasmin. Kecuali Lian yang tetap enjoy saja menikmati bubur sum-sum buatan Yasmin. Sepertinya pria itu ingin segera menghabiskan dessertnya. Kemudian cepat-cepat berangkat ke kantor.
Yasmin yang merasa canggung ditanya demikian, mulai berdehem. Tenggorokannya tiba-tiba tak nyaman. Serba bingung dan tidak tahu harus memberikan jawaban yang bagaimana atas pertanyaan yang dilontarkan omnya. Walau sebenarnya, Yasmin sudah mempunyai dua jawaban. Yang satu jawaban jujur, sedangkan yang satunya jawaban dusta yang selalu Yasmin berikan sebagai alasan penolakan pada setiap lamaran yang datang ke rumahnya.
Melihat Yasmin yang sepertinya gugup. Yunita kemudian menyela, "Enggak apa-apa, Yasmin. Ommu itu cuman nanya. Kalau kamu punya jawabannya, silahkan dijawab. Kalau enggak, enggak apa-apa kok. Lagian ommu itu enggak minta kamu nikah sekarang juga. Hehe.." Kekehan kecil Yunita terdengar di akhir kalimat penenangkan. Kemudian Yunita menatap tajam sang suami. Bisa-bisanya sesantai ini bertanya hal yang seharusnya menjadi privacy Yasmin.
Tapi senyum tipis Yasmin kemudian mengawali, sebelum gadis cantik itu menjawab pertanyaan tersebut. "Yasmin masih ingin berkarier, Om.."
"Hmm..berkarier, ya?" ulang Baskara yang langsung diangguki kepala oleh Yasmin.
Yasmin merasa, senyum Baskara berbeda daripada senyum tulus lainnya. Pandangan mata Baskara juga sesekali beralih pada Lian. Apakah Baskara tahu mengenai perasaan diam-diam Yasmin kepada putranya? Jika IYA, Yasmin harus bagaimana lagi menutupinya?
"Semoga kariermu semakin sukses, Yasmin. Dan, seseorang yang kamu cintai segera sadar. Kemudian datang ke rumah untuk melamarmu.." Kali ini senyum Baskara begitu tulus. Yasmin bisa membedakannya dengan senyum yang tadi.
Do'a tulus seorang ayah seketika Yasmin aamiin-kan. Berharap dapat menembus langit. Yunita juga turut meng-aamiin-kan. Sepertinya semesta juga tahu bagaimana selama ini Yasmin benar-benar menaruh cinta yang begitu besar pada sosok Lian. Berdo'a sepanjang waktu supaya Lian segera sadar akan cintanya. Kemudian mempersuntingnya tanpa melalui pengenalan lagi. Waktu yang mendewasakan mereka bersama, sudah sangat cukup untuk sebuah pengenalan.
"Lian sudah selesai makan, Ma, Pa. Lian berangkat sekarang, ya.." pamit Lian yang memang sudah menghabiskan semangkuk bubur sum-sum yang tadi diambilkan Yasmin. Ia berdiri dari duduknya seraya merapihkan dasinya kembali.
Berusaha senormal mungkin walau sebenarnya sedikit canggung. Lian juga menoleh pada Yasmin dan berpamitan. "Saya berangkat dulu, Yasmin. Terima kasih bubur sum-sumnya. Rasanya lezat." Lian juga memuji masakan Yasmin.
Perempuan pasti akan merasa dihargai ketika masakannya dipuji lezat bukan? Maka dari itu semua ini Lian lakukan semata-mata untuk menghargai usaha Yasmin dan memang benar adanya—bubur sum-sum itu lezat. Berhasil menggoyang lidah Lian.
"Iya. Hati-hati di jalan.." kata Baskara. Ini artinya Baskara sudah mengizinkan sang putra untuk beranjak. Sedangkan Yunita hanya mengulenyumnya.
Dengan sopan Lian meraih tangan mama dan papanya untuk dicium. Seperti biasanya. Kebiasaan itu tidak pernah Lian lalaikan. Bagi Lian, restu merekalah yang mengantarkannya pada jalan kesuksesan. Sehingga L'Biscuit menjadi sebesar ini.
"Eumm..Mas Lian?" Panggilan Yasmin sukses menghentikan langkah Lian.
"Ya, Yasmin?"
Dengan perasaan tak enak hati, Yasmin merasa harus berani mengatakan keinginannya. Sebenarnya ia datang kemari bukan hanya untuk mengantarkan bubur. Ada lagi hal lain yang ingin Yasmin lakukan. Namun hal tersebut berkaitan dengan Lian. Lebih tepatnya Yasmin ingin Lian membantunya.
"Maaf sebelumnya. Yasmin ingin merepotkan Mas Lian hari ini. Semoga saja jadwal Mas Lian tidak terlalu padat.."
"Merepotkan?"
"Bantu Yasmin untuk berbelanja ke toko bahan roti. Mas Lian bisa? Karena belanjaan Yasmin nantinya cukup banyak. Alhamdulillah ada pesanan banyak untuk acara pengajian besar besok."
"Wahh, alhamdulillah. Tante ikut senang dengarnya, Yasmin. Itu artinya kamu dipercaya untuk menghandle konsumsi snack di acara tersebut."
"Iya, Tante. Yasmin juga tidak menyangka."
"Sukses selalu ya, Nak.." Baskara turut menimpali dan semua meng-aamiin-kan do'a baik tersebut.
Lian sendiri masih terdiam. Antara ingin menolak. Tapi Lian merasa sungkan. Di sini juga ada dua pasang mata yang selalu mengawasinya—mama dan papanya. Sehingga Lian merasa hanya mempunyai satu jawaban yakni, bersedia.
"Bisa. Tapi kamu ikut saya dulu ke kantor. Saya ada urusan pagi ini. Nanti kita belanjanya siang."
Seketika Yasmin merasa lega. Ia mengulas senyum lebarnya dengan binar kebahagiaan di kedua matanya. Syukurlah..Lian mau membantunya berbelanja siang ini. “Terima kasih banyak, Mas Lian. Maaf merepotkan.”
“Tidak merepotkan. Kebetulan jadwal hari ini tidak begitu padat. Kalau lain waktu, mungkin kamu bisa membuat janji terlebih dulu.”
“Lian-Lian..kamu pikir Yasmin ini rekan kerjamu? Masa harus bikin janji dulu, sih. Kamu nyebelin banget.” Yunita memprotes ucapan Lian. Bagi Yunita, putranya itu terlampaui resmi. Padahal Yasmin ini sepupunya sendiri. Tidak seharusnya Lian menyamakan Yasmin dengan rekan-rekan bisnisnya.
“Takutnya Lian berhalangan, Ma. Lian ‘kan juga mempunyai kesibukan Lian sendiri,” jelas singkat Lian berusaha memberi pengertian. Karena memang benar adanya. Sebagai pemilik sebuah perusahaan biskuit, Lian mempunyai segudang kesibukan.
Baskara pada akhirnya mencoba menengahi. “Lian benar, Ma. Pria seperti kami ini jarang ada waktu senggang. Pekerjaan segudang selalu menghabiskan hari-hari kami.” Karena beliau juga berada di posisi Lian. Selama ini, Baskara masih aktif mengelola perusahaannya sendiri—di bidang transportasi.
“Iya-iya. Mama ngerti.” Yunita sebenarnya masih kesal. Tapi wanita itu tak mampu mendebat sang suami.
“Ya sudah. Tunggu apalagi? Kalian segera berangkat, gih!”
Yunita dan Baskara pun melepaskan Lian dan Yasmin pergi. Sebelum kemacetan jalan kota membuat mereka terjebak. Sampai tubuh keduanya tak terlihat, barulah Baskara dan Yasmin memutus pandangan mereka pada dua sosok tersebut. Baskara tersenyum tipis dan berkata, “Sepertinya tinggal menunggu waktu untuk Lian membuat sebuah keputusan besar, Ma.”
“Hmm..atau menunggu Lian terus menanti calon istrinya. Yang entah sedang Lian cari atau tidak!?”
“Sabar, Ma..”
“Mama sudah enggak sabar mau nimang cucu dari Lian!”
“Sebentar lagi..”
Meninggalkan kedua orang tua yang khawatir dengan nasib anaknya yang tak kunjung menemukan calon istrinya itu. Di sebuah kediaman besar, sosok wanita paruh baya cantik sedang mengomel pada putri kesayangannya. “Kenapa sih, kamu tidak mau ikut Mami ke kampus? Mami ‘kan butuh teman buat bawain barang-barang melukis Mami. Kamu tidak bosan terus-terusan di rumah? Mami takut kamu stress, Vanya.”
“Astaga, Mi! Sebenarnya Mami itu butuh asisten, bukan teman. Lagipula, Vanya enggak akan stress kok, Mi. Di rumah ‘kan Vanya juga melakukan kesibukan. Ini packing-packing pesanan pembeli. Lumayan banyak. Jadinya ada kegiatan yang Vanya lakukan walau di rumah.” Memang saat ini gadis itu sedang mengemas beberapa barang pesanan pembeli. Mulai dari yang hanya pesan sebuah kaos. Hingga yang memesan baju sampai sepatu.
“Sesekali cari udara, dengan keluar dari rumah.”
“Udah semalam!” Vanya keceplosan. Ia merutuki lidahnya yang tak bertulang. Padahal Mbok Sih sudah berbaik hati menutup rapat-rapat bibirnya. Tapi sialnya, justru Vanya sendiri yang mengumumkannya.
Seketika kedua bola mata Isna membola. “Kemana kamu semalam!? Bukannya Mami sudah bilang untuk di rumah saja? Kamu kabur terus kerjaannya!”
“Ya, maaf Mi. Namanya juga anak muda. Keluar tanpa izin orang tua itu suasananya lebih menyenangkan. Menantang gitu.” Vanya masih bisa cengengesan ketika bersama Isna. Tapi tidak bila Wiryawan ada di sini.
“A—apa? Menyenangkan? Menantang? Telinga Mami tiba-tiba panas, Vanya..” geram Isna. Ia terlanjur kesal pada sang putri. Selalu saja bandel.
Meskipun begitu, Isna percaya bahwa kemana pun Vanya pergi, Vanya pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Kekhawatiran Isna ini selalu terpatahkan oleh kepulangan Vanya yang dalam keadaan baik-baik saja tanpa kurang satu pun. Syukurlah..
Saat anak dan ibunya itu masih asyik berbincang. Pintu kamar yang terbuka mendapat ketukan. Seketika dua pasang mata mengarah pada sumber suara.
“Papi?”
Ya, Wiryawan berdiri di ambang pintu. Hal tersebut membuat Vanya cemas. Apa jangan-jangan Lian sudah melaporkan semuanya pada sang papi? Kalau IYA, Vanya harus bersiap dengan segala kemarahan Wiryawan.
“Papi boleh masuk?”
“T—tentu, Pi..” Vanya sedikit gugup. Padahal yang sedang ia hadapi adalah papinya sendiri. Bukan orang lain. Aneh memang.
Vanya segera mengusaikan kegiatannya yang mengemas barang pesanan pembeli. Toh, tinggal sedikit. Sisanya bisa ia selesaikan nanti saja. Sekarang, Vanya harus fokus pada kedua orang tuanya yang sudah duduk manis bersebelahan di atas ranjang empuknya. Untung saja ranjangnya sudah rapih. Vanya bersyukur ketika bangun tidur tadi langsung membereskan kamarnya. Entahlah, sebuah feeling kah?
Sementara itu, Vanya duduk manis di lantai. Ia menunggu-nunggu saat penghakimannya. Dalam hati Vanya sudah menyiapkan ujar kebencian pada Lian. Cinta dan benci mungkin judul kisah cinta mereka saat ini. Tapi segala ketakutan Vanya berganti dengan helaan napas lega ketika Wiryawan berucap, menagih suatu hal padanya.
“Bagaimana keputusan kamu? Kata Mami, kamu sudah memutuskan suatu hal besar mengenai berkuliah.”
“Iya, Pi..”
“Apa itu?”
“Vanya mau melanjutkan kuliah. Di universitas yang sama dengan Danisha. Tapi Vanya mohon, izinkan Vanya mengambil jurusan yang Vanya inginkan.”
“Jurusan apa?”
“Kewirausahaan,” jawab Vanya dengan tegas. Keputusannya sudah bulat. Semoga saja tidak ada pertentangan dari sang papi.
Di luar dugaan, karena Wiryawan mengangguk-angguk. Tapi belum menjawabi segala rasa penasaran Vanya. Apakah gesture Wiryawan menunjukkan kesetujuannya? Ataukah setelah ini Wiryawan akan menentang keputusan Vanya dengan segala pertimbangannya?
Semua masih abu-abu sampai Vanya bertanya jelasnya. “G—gimana, Pi? B—boleh?” Tentu saja masih dengan rasa gugup yang menguasai diri Vanya. Tangannya bahkan sejak tadi memilin ujung baju. Berusaha melampiaskan kegugupannya di sana.
“Boleh..” Wiryawan tersenyum tulus.
Vanya sangat lega dan bahagia. Ia langsung memeluk tubuh papi dan maminya. Mengucap kalimat sayang pada keduanya berkali-kali. Isna di sini juga merasa bahagia. Akhirnya Vanya tidak sepenuhnya menjalani hidup dengan diatur sang papi.
“Kuliah yang benar!”
“Siap, Pi! Vanya akan buktikan bahwa Vanya bisa membuat Papi dan Mami bangga!”
“Aamiin..”
Wiryawan mengusap lembut rambut Vanya. Berharap setelah ini, anak gadisnya benar-benar berusaha untuk membanggakannya. Mengingat usianya tak lagi muda dan tak tahu kapan Tuhan memanggilnya untuk pulang.
Sepeninggalan mami dan papinya, Vanya memutuskan untuk keluar kamar. Karena maminya sudah menyerah dan kesal akibat Vanya menolak diajak pergi ke kampus. Maminya pun terpaksa membocorkan rencana Mbok Sih yang siang hari ini hendak bepergian. Mendengar hal itu, Vanya bersemangat empat-lima untuk mengekori wanita tua tersebut.
“Mbok Sih!” Vanya mendatangi dapur dengan suara lantangnya.
“Iya, Non. Haduhh..Non Vanya! Ngagetin Si Mbok saja.”
“Hehehe..maaf, Mbok. Vanya terlalu bersemangat. Oh ya, kata Mami. Mbok Sih mau ke toko bahan roti, ya? Vanya ikut dong, Mbok! Boleh, ya? Ya?” Sebenarnya bukan sebuah izin. Tapi pemaksaan agar Si Mbok mau diekorinya.
“Vanya bosan di rumah, nih..”
Yaa, lebih baik Vanya ikut dengan Si Mboknya daripada menjadi asisten pribadi maminya. Toh, kegiatan seminar seni di kampus itu membosankan bagi Vanya. Vanya bosan. Tapi berbeda halnya bila yang menjadi pemateri Pak Lian. Dijamin, segala kebosanannya berganti dengan kesenangan!
“Memangnya Si Mbok bisa melarang, Non? Ya sudah..Mbok tunggu. Segera bersiap-siap, Non.”
“Oke, Mbok! Makasih..” Vanya segera ngacir ke kamar dan bersiap untuk ikut Mbok Sih pergi ke toko bahan roti.
Mungkin saja di sana nanti Vanya tiba-tiba kepikiran ingin membeli bahan roti. Untuk apa? Ya untuk membuatkan roti Mas Lian-nya lah!
Hmm. Kira-kira Lian menyukai roti apa, ya? Kan macam-macam roti itu banyak.
Setelah rapih dengan pakaiannya yang simpel. Hanya kaos pendek berwarna merah marun dan rok plisket selutut berwarna hitam. Vanya bergegas menyusul Mbok Sih yang sudah duduk manis di kursi penumpang dengan sopir pribadi rumah di depan kemudi. Pak Rahman namanya.
“Pak Rahman enggak nganterin Mami?”
“Nyonya Besar diantar Tuan, Non.”
“Cih, tumben Mami manja. Papi juga tumben enggak sibuk.”
“Tuan Besar sibuknya sudah selesai, Non. Kemarin. Hari ini libur. Makanya di rumah sejak tadi pagi..” jawab Si Mbok ketika Vanya sudah duduk manis di sebelahnya dan mobil pun Pak Rahman lajukan.
Benar juga kata Si Mbok. Memang sejak pagi papinya di rumah.
“Mereka gantian ya, Mbok. Kemarin Mami nemenin Papi dinas. Sekarang giliran Papi yang nemenin Mami.”
“Iya, Non. Romantis sekali ya, mereka berdua.”
“Hmm..suatu saat nanti, Vanya bakalan lebih romantis!”
“Dengan siapa, Non!? Memangnya Non Vanya mempunyai pasangan?” Pertanyaan polos nan spontan itu justru terdengar menyebalkan di telinga Vanya. Meskipun Vanya tahu, Mbok Sih hanya spontan saja bertanya karena tidak percaya dengan ungkapan Vanya sebelumnya.
“Mbok lihat saja nanti!”
“Jangan-jangan..dengan Den Lian yang kemarin anterin Non Vanya, ya?”
Vanya tak menjawab lagi pertanyaan Si Mbok. Namun pipinya terasa panas. Sudah pasti saat ini pipinya memerah bak tomat. Ia tersipu malu hanya karena seseorang menyadari perasaan sukanya terhadap Lian.
“Ekhm..Vanya cocok enggak Mbok, sama Mas Lian?”
“Ya cocoklah, Non! Yang satu ganteng, yang satu cantik. Apa masalahnya?”
“Mas Liannya belum suka sama Vanya, Mbok..”
“Belum suka ‘kan? Berarti masih ada kesempatan, Non! Suatu saat nanti, pasti Den Lian akan suka dengan Non Vanya. Lebih daripada rasa suka malahan.”
“Rasa kasih sayang dan cinta yang amat besar. Seperti perasaan Tuan pada Nyonya..” lanjut Mbok Sih. Seolah beliau yakin bisa menerawang keadaan di masa depan. Padahal semua ini masih berada di titik yang tidak pasti.
Namun kata-kata Mbok Sih barusan berhasil menghibur kegalauan Vanya. Selama ia menunjukkan perasaannya secara terang-terang, Lian memang selalu menunjukkan perilaku-perilaku penolakan secara langsung. Tapi tak apa. Vanya merasa, ia sedang berproses untuk bisa menggapai hati Lian.
Ya, suatu saat nanti. Hati Lian akan tergapai.
***