Insiden di Koridor Kampus

2481 Kata
Gadis Pembangkang!? Seketika sepasang telinga Vanya memerah. Panas sekali rasanya saat mendengar orang asing tiba-tiba sudah menyematkan panggilan sialan itu kepadanya. Apa-apaan ini!? Belum sempat Vanya membuka suara untuk mengomeli orang yang menurutnya orang asing itu, Jordan sudah lebih dulu membungkuk singkat. Tanda bahwa ia memberikan hormat kepada pria yang Vanya ketahui bernama Lian. “Kami mohon maaf, Pak Lian..” “Ayo, Van. Ikut gue!” ajak Jordan dengan menggerakkan kepalanya ke arah kiri, bermaksud mengode Vanya agar berhenti menatap Lian dengan tatapan tajam. Tapi Vanya masih tetap pada posisinya. Berdiri dengan pandangan yang terus menatap tajam kepada Lian. Bukannya Jordan tidak tahu dan tidak peka. Matanya sejak tadi mengawasi setiap gerak-gerik Vanya dan Lian. Jordan sedikit terkejut dengan panggilan yang Lian berikan kepada Vanya. Gadis Pembangkang? Dahi Jordan mengerut, pikirannya berisi banyak tanya. Terutama tentang, apakah keduanya sudah saling mengenal sebelum bertemu di sini? Entahlah.. Yang jelas saat ini Jordan hanya ingin menghindari keributan. Karena sejak tadi tatapan mata Vanya kepada Lian seperti hendak menelan Lian bulat-bulat. Wanita dengan segala emosi yang dimilikinya, Jordan tak yakin Vanya mampu mengendalikan dirinya. Sebenarnya maksud Jordan baik. Hanya saja sepertinya memang Vanya tidak terima dipanggil ‘Gadis Pembangkang’ oleh Pak Lian sekali pun. Pak Lian, di mata para mahasiswa, pria ini mempunyai image yang bagus, semangat bisnis yang tinggi, sehingga mampu memberikan pencerahan-pencerahan yang sangat berguna untuk mereka-mereka yang memang berada di jalan perbisnisan. Tidak hanya itu saja. Karena statusnya yang masih lajang, hal ini menjadi nilai plus. Yang kemudian menjadikan Pak Lian sebagai start kampus yang digandrungi para mahasiswi. Tampan, cerdas, berkarier. Apalagi memangnya kriteria utama untuk menjadi menantu idaman mertua selain itu? “Anda bisa saya laporkan ke pihak berwajib atas tindakan kurang menyenangkan. Ada pasalnya lhoo, Pak..” Nada bicara Vanya memang tidak meninggi. Tapi sarat akan kemarahan yang terpendam. Jordan bisa melihat kilatan amarah itu memancar jelas di sepasang mata tajam Vanya. Betul bukan dugaan Jordan? Jika sudah begini, sepertinya keributan sudah tidak bisa lagi terelakkan. Sudah Jordan putuskan secara kilat, dirinya akan menjadi penengah di sini. Netral. Karena dirinya juga baru beberapa menit yang lalu mengenal sosok gadis cantik yang mengaku bernama Vanya ini. “Bagian tidak menyenangkannya itu dimana? Maaf. Saya tidak merasa.” Setelahnya Lian justru melenggang begitu saja melewati Jordan dan Vanya yang posisinya masih berhadap-hadapan. Untung saja keduanya berdiri dengan berjarak, sehingga Lian bisa menerobos dari sela-sela mereka begitu saja. Lian tahu, ini sangat tidak sopan. Apalagi mereka bertiga tadi sempat menjadi pusat perhatian. Tapi apa boleh buat? Di sini, sebagai orang luar yang diundang penuh dengan kehormatan, Lian harus menjaga imagenya. Ia putuskan untuk tidak meladeni Si Gadis Pembangkang. Lagipula, tidak ada faedahnya untuk Lian. Tadinya Lian hanya bermaksud iseng. Memeriksa, apakah gadis asing ini masih mengenali wajahnya? Mengingat baru semalam mereka tanpa sengaja bertemu di alun-alun kota. Saat gadis tersebut berbicara sendiri, mengadukan nasib hidupnya pada malam, Lian menyahuti setiap aduannya dengan argumen singkatnya. Sebenarnya Lian hanya bermaksud menyemangati sang gadis dengan caranya sendiri. Ditakutkan, saking stressnya gadis tersebut bisa saja bunuh diri di alun-alun kota. Kan tidak lucu bila keesokan harinya terbit sebuah surat kabar mencengangkan mengenai seorang gadis cantik yang bunuh diri di pusat kota. Menambah beban walikota saja! Meskipun tergolong angkuh karena memberikan kata-kata sedikit menyelekit. Lian tetap merasa tidak bersalah. Toh, gadis tersebut merupakan orang asing. Kemungkinan untuk bertemu kembali rasa-rasanya tidak mungkin. Tapi..hari ini. Entah sebuah keajaiban atau kebetulan karena Tuhan mempertemukannya kembali dengan gadis tersebut. Gadis Pembangkang yang ingin bebas karena tak ingin menuruti kata atau permintaan orang tua. Yaa, sementara itu kesimpulan yang Lian buat berdasarkan pengamatan cerdasnya. Lian salah mengira bila dirinya melenggang begitu saja, masalah usai. Justru masalah baru menghampirinya tanpa sempat membiarkan Lian untuk lari. Terdengar suara berat sebuah benda yang menghantam punggung tegapnya. Seketika itu juga Lian menghentikan langkah lebarnya. Tanpa berbalik badan pun, Lian sudah bisa menebak siapa pelakunya. “Itu balasan yang sebenarnya tidak setimpal dengan tindakan tidak menyenangkan Bapak kepada saya!” seru gadis asing itu. Lian mencoba menggelar lebih luas lagi kesabarannya. Maklum. Gadis ini usianya pasti di bawah adik perempuannya. Emosinya masih belum stabil. Tingkahnya sangat kekanakan! Lian marah? Tentu saja! Ia merasa harga dirinya diinjak-injak di hadapan banyak mahasiswa. Kini semua mata tertuju pada mereka berdua. Memandang terkejut pada apa yang baru saja dilakukan oleh gadis asing itu kepadanya. Beberapa dari mereka hanya melotot dengan bibir terbuka. Tapi ada pula yang berbisik-bisik dan mengumpat tidak terima. Vanya sadar betul dengan situasi di sekitarnya yang tidak berpihak kepadanya. Tidak apa-apa. Vanya tidak menyesal karena sudah menghantamkan totebagnya ke punggung pria sembarangan ini. Enak saja memanggilnya dengan panggilan ‘Gadis Pembangkang’! Sebandel-bandelnya Vanya, kedua orang tuanya tak pernah sama sekali memanggilnya demikian. Baru kali ini ada orang yang berani memanggilnya seperti itu. Terlebih orang tersebut merupakan orang asing dalam hidup Vanya. Jelas. Vanya marah sekali! Emosi yang tertahan tadi, pada akhirnya ambrol juga. Jordan bahkan sudah tidak bisa menahan luapan emosi Vanya. Padahal Jordan bermaksud menyelamatkan Vanya dari masalah. Tapi apa boleh buat? Vanya adalah gadis pemberani. Itu adalah kesan pertama yang Jordan sematkan padanya selain cantik. Mulanya pria itu hanya diam saja dengan posisi tetap berdiri di tempat pertemuannya dengan Vanya. Memandang punggung Vanya dan Lian yang sepertinya akan berdebat panjang. Daripada terkena masalah, Jordan memilih untuk tidak ikut campur dan melanjutkan kembali langkah kakinya menuju sebuah ruangan. Untuk menemui salah seorang dosen. Meskipun mendapatkan perlakuan buruk, Lian masih mencoba merangkai kalimat sebaik mungkin. Pria itu memberikan peringatan dengan nada rendah, “Bisa kita selesaikan masalah di tempat lain? Banyak pasang mata yang memandang ke arah kita.” Maksud Lian sudah baik bukan? Sangat baik bahkan. Pria dengan pengendalian emosi yang baik—idaman sekali! Beberapa mahasiswi berbisik-bisik, mereka semakin mengagumi sosok Lian. Tapi semua itu ternyata tidak sejalan dengan pikiran Vanya. Gadis itu justru menyalahartikan niat baik Lian. “Bapak enggak usah sok jaga image, ya! Di mata saya, image Bapak sudah terjun bebas ke bawah sejak Bapak sembarangan memanggil saya dengan panggilan—” “Ikut saya.” Percuma. Berbicara baik-baik dengan gadis yang emosinya tengah menjadi-jadi ini sama dengan percuma. Maka dari itu, tanpa meminta persetujuan dari sang gadis, Lian segera menyeret pergelangan gadis tersebut. Bermaksud mengajaknya pergi dari koridor kampus, tempat dimana mereka menjadi tontonan gratis para mahasiswa. Tentu gadis tersebut meronta-ronta seraya berteriak. Berusaha melepaskan genggaman kasar tangan Lian. Mulanya yang didapat sang gadis hanya sakit hati, kini bertambah menjadi sakit fisik juga. Bibirnya tak lelah mengoceh, mengumpat, sampai keduanya berada di taman kampus yang lumayan sepi. Karena saat ini mereka berada di taman kampus area paling ujung. Sebuah area jarang dikunjungi mahasiswa karena cukup rimbun pepohonannya. Sehingga memberikan kesan sedikit gelap dan menyeramkan. Banyak nyamuk. Tapi aman dari sampah-sampah. Namun tetap saja, tidak nyaman untuk sekadar menongkrong. Apalagi mengerjakan tugas kuliah. Menurut Lian, inilah tempat yang paling pas untuk menghadapi gadis yang hampir menciptakan onar seusai acara seminarnya. Meskipun ini baru ketiga kalinya Lian diundang untuk mengisi seminar di sini, Lian sudah sedikit banyak hafal beberapa tempat atau area di kampus yang memberikan kesan suasana tenang. Karena Lian kerap menghindari para mahasiswi yang mengotot ingin menemaninya. Bagi Lian sangat melelahkan berurusan dengan para mahasiswi cantik. Titik. “Lepasin!” “Maaf.” Lian pun melepaskan tangannya. Seketika itu juga, Vanya langsung mengusap-usap pergelangan tangannya yang memerah. Sial sekali. Berani-beraninya pria ini menyeretnya dengan cengkraman tangan yang kuat. “Bapak itu enggak punya hati, ya!? Lihat ini! Tangan saya sampai memerah! Selain saya akan menuntut Bapak dengan pasal tindakan tidak menyenangkan, saya juga akan menuntut Bapak dengan tindak kekerasan! Bapak siap-siap saja!” ancam Vanya dengan emosi yang masih menggebu-gebu. Bahkan lebih meningkat daripada sebelumnya saat di koridor kampus tadi. Mungkin di sini Vanya merasa bebas, karena ia tidak dipandang oleh pandangan kebencian para mahasiswi yang mengagumi sosok Lian. Apa hebatnya mengagumi pria bermulut sembarangan dan berperilaku kasar? Vanya tidak habis pikir dengan gadis-gadis kampus ini. Berusaha menjadi air di saat lawan bicaranya terus mengeluarkan api. Lian dengan suara yang rendah membalas ancaman Vanya dengan begitu elegan. “Silahkan laporkan saya atas tindakan apapun itu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu bahwa saya tidak bermaksud apa-apa. Saya meminta maaf atas kesalahan yang tidak saya sengaja.” Bukannya sungkan karena sosok yang dimarah-marahinya justru setenang dan seelegan ini menghadapinya, Vanya justru semakin meradang. “Apa!? Tidak sengaja?” Kedua bola mata Vanya melotot. Di bawah sana, kedua tangannya turut terkepal. “Ya. Saya tidak sengaja,” ucapnya dengan raut wajah yang begitu serius. Setelahnya Vanya tertawa keras. Ia tidak habis pikir dengan orang-orang yang berbuat salah, kemudian berlindung dibalik kata ‘tidak sengaja’. Otak mereka sedikit geser ke lutut kali, ya? Awalnya kalimat yang disusun pria itu memang elegan, sampai membuat Vanya hampir tidak bisa berkata-kata. Tapi, bagian akhirnya? Sungguh sangat menyebalkan! Mempunyai sebuah ide jahil. Vanya langsung merealisasikan ide tersebut dalam bentuk tindakan. Dengan berani, Vanya menginjak sepatu pantofel mahal nan mengkilap milik pria itu secara bergantian. Bila sudah begini, refleks Lian mengaduh kesakitan. Injakan kaki gadis ini benar-benar maut dan tiba-tiba. Seperti sebuah ulti. “Kamu..!—arghhh..” Lian tak lagi melanjutkan perkataannya. Vanya sangat puas karena melihat raut wajah kesakitan yang tidak dapat lagi disembunyikan atau ditahan oleh pria tersebut. “Upss! Maaf ya, Pak Lian. Saya tidak sengaja.” Karena inilah yang Vanya inginkan sejak tadi. Setelah Vanya sadar bahwa pengendalian diri pria ini begitu baik. Jujur, ini menjadi nilai plus tersendiri. Bagaimana bisa seorang pria tahan sekali dimarah-marahi oleh seorang gadis yang tidak dikenalnya? Hmm..unik menurut Vanya. Sikap pria bernama Lian ini..selalu di luar dugaan Vanya. Menyudahi erangannya karena kesakitan. Lian kembali berdiri tegap, walau sebenarnya masih nyeri-nyeri sedap di bawah sana. “Jika sudah seperti ini, berarti yang kamu lakukan barusan juga termasuk ke dalam tindak kekerasan. Kamu menginjak kaki saya dengan begitu sadis.” Mencoba mengirim serangan balik, eh? Tidak bisa! Vanya segera membantah dengan membeberkan sebuah fakta. “Satu sama berarti! Hitung-hitung, pengganti rasa sakit di pergelangan tangan saya karena Bapak seret tadi!” Sudah Lian duga. Ini merupakan bentuk pembalasan Si Gadis Pembangkang. Masa bodoh. Kembali ke awal masalah. Lian sebenarnya tidak mempunyai banyak waktu untuk meladeni gadis asing ini. Ia melihat jam di tangannya, sudah saatnya pergi ke depan untuk menemui Kavin yang menjemputnya. “Apa permintaan maaf saya belum cukup? Saya sudah harus pergi. Saya sangat sibuk. Sekali lagi, saya minta maaf. Permisi.” Vanya berteriak karena tidak terima ditinggalkan begitu saja. Sementara ia masih asing dengan area kampus. Lewat mana nantinya ia kembali ke taman yang semula merupakan tempatnya menunggu Danisha usai kelas? Maka dari itu, Vanya putuskan untuk mengikuti langkah kaki Lian. Tak peduli dengan pandangan para mahasiswi yang menatap ke arahnya dengan tatapan tidak suka. “Kenapa kamu mengikuti saya? Kamu mau apa sebenarnya?” kesal Lian meskipun nada bicaranya tidak meninggi. Ia menggeram karena berusaha untuk tidak menciptakan kegaduhan. Cukup tadi saja, saat di koridor kampus. Entah mendapat angin baik darimana? Vanya menjawab pertanyaan kesal Lian dengan suara yang lembut, “Saya sudah memaafkan Bapak. Tapi saya bingung jalan kembali ke taman yang ada burung merpatinya..” Toh, Vanya merasa Si Bapak Lian ini sudah mendapatkan balasan atas tindakannya. Tadi saat di koridor kampus, Vanya sudah berhasil mempermalukannya. Lalu, di area taman sepi tadi..Vanya berhasil menghukum kecil fisiknya. Sampai sepatu pantofel mengkilap itu sedikit kotor karena sepatu Vanya. “Kamu bukan mahasiswi di kampus ini?” Lian sedikit terkejut dengan fakta yang baru diketahuinya tanpa sengaja. Vanya mengangguk. “Tapi saya calon mahasiswi baru di sini.” “Percaya diri sekali kamu. Belum tentu keterima juga.” “Bukankah Pak Lian sendiri yang memotivasi para mahasiswa untuk bersemangat menuntut ilmu dan belajar bisnis? Kok sekarang Bapak malah mematahkan semangat saya?” Vanya mulai sinis karena tidak senang mendengar tanggapan remeh Lian kepadanya. Asem memang si tukang hipnotis berwujud motivator ini! Tapi sejurus kemudian Vanya mengangguk-angguk. Seolah ia mengerti akan suatu hal. “Ohh..saya tahu. Karena saya tidak good looking, ya? Makanya Bapak senang banget cari masalah sama saya?” Mulai-mulai.. Demi menghindari perdebatan yang tidak penting, lagi. Lian sebisa mungkin menanggapi gadis labil ini dengan tanggapan sekenanya. “Maaf atas ucapan saya. Semoga kamu diterima di kampus ini.” “Entah itu sebuah do’a tulus atau sekadarnya. Tapi akan tetap saya aamiin-kan. Aamiin Ya Rabb. Terima kasih, Pak Lian.” Melihat gerak-gerik Vanya yang kurang bersemangat. Lian geram sendiri jadinya. Untuk terakhir kalinya Lian kembali berujar bak seorang motivator, “Semangat menuntut ilmu. Bila kamu memang tidak senang, anggap saja ini ujian sebelum kamu berada di titik kesenanganmu. Untuk membahagiakan kedua orang tua bukan? Niatkan semuanya dari hati yang terdalam. Insyaallah apa yang kamu tanam, nantinya akan kamu tuai juga.” Lian memberikan senyum tulusnya. Kemudian mempercepat langkah kakinya karena melihat Kavin sudah berdiri, menyandarkan tubuhnya di mobil. Ini artinya Kavin sudah menunggunya sejak tadi. Sementara itu, Vanya menghentikan langkah kakinya. Ia masih terpaku karena senyum tulus Lian dan kata-kata terakhirnya. Sungguh. Vanya tidak menyangka akan mendengar kata-kata setulus itu dari sosok yang beberapa saat yang lalu bermasalah dengannya. Bukankah seharusnya pria itu memusuhinya? Ini malah sebaliknya. Dadakan menjadi motivator pribadinya. Vanya geleng-geleng kepala sendiri dengan mata yang terus mengamati mobil Lian. Hingga mobil itu melaju meninggalkan kampus, matanya terus mengikuti. Hingga sebuah tepukan di belakangnya berhasil menyadarkan Vanya. “Lo kemana aja, sih!? Gue cari-cariin juga.” “Ekhm..e—enggak kemana-mana. Jalan-jalan di sekitar taman kampus aja,” bohong Vanya kepada Danisha. Tidak mungkin bukan bila Vanya menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Danisha? Bisa semakin panjang urusannya! Lebih baik Danisha tidak tahu apa-apa. Tapi, rupanya mengelabuhi Danisha tidaklah semudah itu. Buktinya saat ini gadis itu menatap Vanya dengan tatapan curiga. “Lo enggak bikin masalah ‘kan?” “E—enggak.. Bikin masalah apa, sih!?” “Ya udah, yuk keliling kampus bareng gue! Gue tunjukin setiap inci kampus tercinta gue ini! Oh ya. Welcome to my campus, Bestie..” Vanya memaksakan ekspresinya untuk tersenyum. Walau hatinya masih kacau balau karena tadi ia sempat menjadi pusat perhatian di salah satu koridor kampus. Entah, koridor yang bagian mana itu? “Ya, thank you sambutannya.” Saat keduanya berjalan beriringan. Vanya beberapa kali menunduk dan menghindari kontak mata dengan beberapa mahasiswa. Ini sebagai salah satu antisipasi. Ditakutkan mereka mengenali Vanya yang tadi sempat ‘meramaikan’ suasana koridor. Terlebih lawannya Pak Lian. Pengisi seminar dan idaman para gadis kampus! Tapi rupanya keberuntungan tidak selamanya berpihak pada Vanya. Buktinya ia tidak bisa lolos begitu saja. Sebuah suara yang awalnya menyapa hangat Danisha, berubah menjadi interogasi dadakan untuk Vanya. “Bukannya dia ini mahasiswi yang tadi tiba-tiba nimpuk Pak Lian pakai totebag, ya?” Meskipun yang diajak berbicara sebenarnya teman yang berdiri di sampingnya. Bukan Vanya, apalagi Danisha yang mendadak menjadi orang bodoh karena tidak tahu apa-apa. “Oh iya! Gue ingat! Ini totebagnya persis banget kayak yang di rekaman video..” Rekaman video? Jangan-jangan.. “Gue mau lihat rekaman videonya! Send ke gue SE-KA-RANG-JU-GA.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN