Setelah dokter datang dan memeriksa keadaan Vanya. Ternyata memang benar, Vanya mengalami keracunan makanan. Saat Vanya masih belum sadarkan diri, mata tajam Wiryawan langsung tercuri pada bungkusan snack yang teronggok begitu saja di bawah kursi belajar. Wiryawan meremas bungkusan cokelat itu sesaat setelah membaca tanggal kadaluarsanya.
"Vanya asal nyemil aja," cibir Isna yang paham dengan kegeraman sang suami.
Kemudian Dokter Victor meresepkan obat untuk Vanya. Setelah merasa tugasnya usai, sang dokter pun berpamitan dan diantar ke depan oleh Wiryawan secara langsung. Sebagaimana biasanya ketika Dokter Victor bertandang kemari. Mereka berdua memang sudah akrab selayaknya sahabat.
"Terima kasih, Dokter Victor. Maaf sudah mengganggu waktu istirahat Dokter.." ujar Wiryawan merasa tak enak sebenarnya. Karena jam telah menunjukkan pukul sembilan malam.
Dengan senyum seperti biasanya. Dokter Victor membalas, "Ini sudah kewajiban, Pak Wiryawan. Kembali kasih selalu mempercayakan kesehatan keluarga kepada saya."
"Hmm..ngomong-ngomong. Saya dengar Dokter mempunyai dua orang putra."
"Iya, itu benar Pak. Yang nomor satu mengurus perusahaan Kakeknya. Kemudian yang nomor dua masih menempuh pendidikan kuliah kedokteran."
"Hebat sekali dua putra Dokter!" puji Wiryawan.
"Yaa..saya hanya berharap rumah saya senantiasa aman ketika keduanya bertikai."
Wiryawan terkekeh. "Namanya anak laki-laki, Pak.."
"Putra Dokter yang kedua berkuliah di kampus mana? Vanya juga baru memutuskan untuk melanjutkan kuliah tahun ini. Masih menunggu dibukanya penerimaan mahasiswa baru."
"Di Kampus Warna Baru."
"Wah kebetulan sekali ya, Dok. Itu kampus pilihan Vanya.."
"Vanya cerdas! Memilih kampus yang tepat, Pak."
"Mungkin suatu saat ketika Vanya kesulitan, bisa meminta bantuan kepada putra kedua Dokter."
"Tentu saja, Pak Wiryawan. Dia sangat baik, apalagi kalau kepada gadis secantik Vanya." Dokter Victor yang sudah hafal karakter anak-anaknya membalas demikian. Wiryawan sendiri lagi-lagi terkekeh. Memang tidak salah. Putrinya sangat cantik. Siapa pun yang melihatnya pasti akan mengatakan hal yang sama. Cantik.
Perbincangan antar bapak itu selesai ketika Dokter Victor melajukan kendaraan roda empatnya meninggalkan kediaman Wiryawan. Wiryawan merasa lega, putrinya sudah mendapatkan penanganan dan juga mendapatkan bantuan sewaktu-waktu bila ada kesulitan nanti di kampusnya yang baru. Belum masuk kampus saja, Wiryawan sudah seperhatian ini. Apalagi nanti ketika Vanya sudah menjadi mahasiswanya..
Wiryawan memang sosok ayah yang lebih banyak bertindak daripada berucap manis. Kasih sayangnya kepada Vanya sungguh luar biasa. Mengingat Vanya juga merupakan anak tunggal di keluarga ini.
Kembali ke kamar memastikan keadaan putrinya. Wiryawan tersenyum kala Vanya sudah membuka sepasang matanya. Kini anak gadisnya itu sedang di suapi bubur oleh maminya.
"Vanya, lain kali baca terlebih dulu tanggal kadaluarsa di bungkus snack. Jangan langsung HAP."
"Iya, Pi. Maafin Vanya udah bikin Papi sama Mami khawatir."
"..dan satu lagi, Vanya bukan cicak. Yang HAP, lalu dimakan."
Baik Wiryawan maupun Isna sama-sama tertawa kecil. Putri mereka ini memang luar biasa. Baru saja siuman, langsung merengek lapar. Ingin memakan bubur lezat buatan Mbok Sih. Dituruti. Kemudian setelah diberi makan bisa melawak seperti ini. Benar-benar hanya Vanya orang sakit yang tampangnya pucat pasi, tapi bibirnya aktif!
Setelah Isna selesai menyuapi Vanya yang telah menghabiskan semangkuk penuh bubur ayam. Isna membantu Vanya meminum obat. Kemudian Isna berpesan, "Habis ini kamu istirahat kembali, Van. Supaya pemulihannya cepat.."
"Iya, Mi."
Isna tersenyum manis dan mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi Vanya. Anak gadisnya ketika sakit selalu menurut. Ini yang membuat Isna merasa kembali ke masa-masa kecil Vanya. Vanya yang manis, selalu menurut apa kata Papi dan Maminya. Bukan Vanya yang sekarang. Yang suka sekali kabur-kaburan dan sudah pandai membantah. Tak mau ketinggalan, Wiryawan pun juga melakukan hal yang sama dengan istrinya.
Orang tua Vanya itu kemudian meninggalkan kamar putrinya. Berharap esok harinya, kesembuhan Vanya menjadi kabar bahagia kediaman besar ini.
Sepeninggalan kedua orang tuanya, Vanya tersenyum lebar. Ia sejak tadi sudah memikirkan ide-ide licik dalam otaknya. Bukan untuk melancarkan aksi kejahatan! Ini untuk melancarkan jalannya menggapai hati Lian. Seperti biasa, IYA-IYA Vanya pada maminya hanya sekadar jawaban penenang. Selebihnya ia tentang.
Diraihnya ponsel yang ada di nakas. Kemudian jarinya menari-nari di atas sana. Mengetik sebuah pesan disertai dengan gambar. Kebetulan tangannya diinfus tadi oleh Dokter Victor. Bisalah digunakan untuk memperkuat keadaannya.
To Mas Lian : Mas Lian, saya sakit..
Sambil menyebikkan bibirnya, Vanya seolah membayangkan dirinya sedang berada di depan Lian. Bermanja-manjaan dengan pria yang dicintainya itu. Ahh..sungguh bahagia hati Vanya. Tapi untuk saat ini hal tersebut merupakan halu terbesar Vanya. Sayang seribu sayang, pesannya hanya dibaca oleh Lian.
Tak terima, Vanya lantas memencet tombol panggilan video. Yaa, Vanya menduga mungkin Lian tidak percaya. Makanya hanya sekadar membaca pesan darinya.
"Dikira..gambar tangan yang diinfus itu dapat dari internet apa?! Orang aku sakit beneran.." dumelnya sendiri.
Lama sekali sampai Lian menerima panggilan suara itu. Vanya mesti berkali-kali mendapat penolakan. Barulah yang ke-enam kali mencoba, Lian baru menerima panggilan videonya. Namun, video di layar ponsel Vanya bukanlah wajah tampan Lian. Melainkan sebuah sajadah yang membentang. Itu artinya Lian menggunakan kamera belakang pada panggilan video ini.
"Ada apa?" tanyanya to the point dan ketus. Biasalah.
Vanya buru-buru mengucap salam dan menceramahi Lian, "Saya heran sama Mas Lian. Bukannya harus salam dulu ya, kalau memulai sebuah perbincangan?"
"Saya tidak mau memulai sebuah perbincangan. Makanya saya sengaja tidak mengucap salam." Meskipun Lian menjawab demikian, tapi tadi ia membalas ucapan salam Vanya dengan hati yang adem. Sebenarnya hanya suatu keisengan semata Lian akhirnya mau menerima panggilan video Vanya. Lian ingin melihat, akan ada kehebohan apalagi yang dicipta Vanya.
"Tidak ramah kepada sesama, dosa lohh Mas.."
"Lihat-lihat orangnya!"
"Memangnya saya orangnya gimana? Baik dan cantik 'kan? Apa kurangnya coba!?"
"Kurangnya banyak! Tidak bisa disebutkan satu-persatu."
Wajah Vanya seketika mendung. Tanpa sadar Vanya mencebikkan bibirnya. Sedih sekali rasanya. Bahkan keadaannya yang tengah sakit tidak lantas membuat Lian peduli. Lian malah bersikap seperti biasanya. Double menyebalkan!
Sementara itu, Lian yang melihat pemandangan wajah Vanya yang menggemaskan tak sadar terkekeh begitu saja.
"Kenapa Mas Lian ketawa!? Enggak ada yang lucu!"
'Masyaallah lucu sekali wajahmu ketika cemberut..'
"Ekhmm..ada tikus lewat tadi."
"Mana!? Enggak ada! Mas Lian bohong. Padahal Mas Lian baru aja sholat. Iya 'kan? Yang lebih parahnya lagi, Mas Lian bohong di atas sajadah! Sajadah 'kan alas untuk sholat. Tidak semestinya digunakan--"
"Kamu pandai berceramah juga, yaa.." Lian menyunggingkan senyum miringnya tanpa sepengetahuan Vanya.
"Ya udah! Lipat sajadahanya! Terus duduk manis dan arahkan panggilan video dengan kamera depan. Oke!?" Vanya sudah sangat antusias memberikan arahan kepada Lian. Namun semua itu terkecewakan ketika Lian menjawab dengan tegas, "Tidak oke."
"Ihhhh Mas Lian!? Saya sedang sakit. Ini lagi diinfus juga. Ini bukan bohongan. Ini beneran sakit.."
"Yang bilang bohongan siapa?" Lian justru membalikkan keadaan. Vanya terdiam dan merutuki pikirannya yang mengira Lian tidak percaya. Padahal sejak tadi Lian merasa gelisah karena wajah cantik Vanya sedikit berbeda. Bibirnya pucat. Matanya sayu.
'Kasian sekali kamu, Ya Khumaira..'
Lian langsung beristighfar. Kenapa ia memanggil Vanya dengan panggilan semanis itu? Sebuah panggilan yang digunakan Rasulullah SAW kepada istrinya, Aisyah. Yang berarti perempuan yang kemerah-merahan pipinya. Manis sekali. Dalam kisah percintaan Rasulullah SAW.
"Kenapa Mas Lian selalu istighfar, sih? Aku separah itu, ya?"
"Tidak--emm..iya kamu parah."
"Gimana, sih? IYA atau TIDAK?" Vanya menuntut sebuah jawaban.
"Iya, kamu parah sekali! Berhenti mengganggu saya."
Panggilan video pun dimatikan sepihak oleh Lian. Saking paniknya Lian, karena batinnya memanggil Vanya semanis itu. Ada apa dengan dirinya? Semakin hari human errornya semakin menjadi saja! Apalagi ketika Lian berhadapan dengan Vanya.
Tapi anehnya, hati Lian bergetar saat mengingat panggilan manis itu. Ia memegangi dadanya seraya mengulang panggilan yang hanya didengar malam. "Ya Khumaira.."
Lian terkekeh seraya menggeleng geli. "Terlalu indah untuk diserukan pada kamu, Vanya."
Seusai Lian mengakhiri panggilan video secara sepihak. Vanya tidak menyerah, ia masih terus menghubungi Lian. Kali ini panggilan suara. Berkali-kali, dan Lian sengaja tidak mengangkatnya.
Kemudian pada panggilan suara yang kesekian kalinya, barulah Lian menggeser tombol telepon berwarna hijau.
"Halo, Mas Lian? Kenapa dimatiin? Mas Lian marah? Masyaallah cuman bercanda kecil aja lhoo.."
"Saya hendak beristirahat. Sebaiknya kamu juga." Lian sebenarnya memberikan sinyal perhatian kecil. Namun Vanya tidak menyadarinya. Gadis itu justru mengartikan hal tersebut sebagai kalimat pengusiran halus.
"No! Saya masih ingin berbicara dengan Mas Lian. Saya sedang sakit, saya tidak tahu apakah besok masih bisa berbicara dengan Mas Lian."
Mulai..
Vanya mulai mencoba mencari simpati Lian. Ia mendrama ala gadis-gadis di sinetron yang terkena sakit kanker stadium akhir. Padahal kenyataannya Vanya hanya sakit perut karena memakan cokelat kadaluarsa.
Astaga.. Andai Lian tahu.
"Oh bagus. Jika besok kamu tidak bisa berbicara lagi dengan saya, itu artinya nomor kamu saya blokir. Beres. Jadi tidak akan ada lagi yang mengganggu saya."
Sial!
Jawaban Lian di luar dugaan Vanya. Vanya kesal setengah mati. "Mas!? Saya sayang sama Mas Lian!!"
"Saya tidak."
"Belum! Bukan tidak!"
"Saya ulangi 'TIDAK AKAN'. Jelas?" Sejujurnya, Lian gentar dalam mengatakannya. Biarkan ia dan Allah yang tahu atas alasan kegentarannya ini.
"Iya. Pasti! Suatu saat nanti, Mas Lian akan sayang dengan saya!" yakin Vanya. Ia kukuh sekali. Tak hanya hatinya, lisannya pun juga.
Tanpa sepengetahuannya, sang mami mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka. Menunggu momen yang pas untuk menangkap basah Vanya yang bandel, yang mengiyakan pesannya untuk beristirahat. Namun kenyataannya justru berteleponan dengan..entah siapa orang di seberang sana?
Isna hanya berharap, bila orang di seberang sana adalah pria yang disukai Vanya. Semoga bukan pria berandalan..
"Mas, saya beneran loh sayang Mas Lian.."
Saat Vanya mengulang kata 'sayang'nya yang kesekian kali itulah, Isna akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Telinga Isna geli mendengar Vanya berkali-kali mengucap kata tersebut. "Ekhm! Jangan bilang 'sayang-sayang' lagi! Nanti kamu pingsan kayak tadi.."
"MAMI!?"
"Panik, ya? Kepergok asyik pacaran daripada istirahat."
***