Melangkahkan kembali kakinya ke rumah dengan badan loyo bak jelly. Vanya disambut hangat oleh Mbok Sih yang tersenyum dengan tatapan yang begitu teduh. Seolah-seolah memberikan Vanya sebuah harapan bahwa di dunia ini masih ada yang mendukung jalan hidupnya.
Perempuan jawa yang usianya sudah senja itu memilih untuk mengabdikan seluruh hidupnya di kediaman besar Wiryawan. Beliau yang bernama lengkap Winarsih memang sudah hidup sebatangkara. Tiada tempat baginya berpulang selain rumah besar yang selama puluhan tahun ini memberikan kenyamanan untuknya. Tuan dan Nyonya rumah ini menganggapnya seperti ibu. Terlalu berlebihan memang, tapi memang begitulah kenyataannya.
Selain Mbok Sih, ada beberapa pelayan rumah lain yang mengurus segala keperluan di sini. Mereka kebanyakan berusia lebih muda daripada Mbok Sih. Mereka menganggap Mbok Sih menjabat sebagai pemimpin pelayan. Karena beliau sudah menghabiskan waktu puluhan tahun lamanya di sini. Sehingga sudah pasti hafal semua kebiasaan atau hal yang disukai dan tidak disukai oleh para majikan.
Tangan rentanya kemudian merangkul Vanya dan mereka pun berjalan beriringan memasuki rumah besar ini. Perlahan namun pasti, tangan wanita tua itu bergerak lembut mengusap lengan Vanya yang dingin karena udara malam, ditambah saat kabur tadi Vanya hanya mengenakan kaos pendek.
Si Mbok geleng-geleng kepala. Antara kasihan, kesal, dan gemas, bercampur menjadi satu. “Non-Non..kebiasaan kalau kabur tidak bawa jaket!”
Mendengar perkataan bernada kesal Si Mbok, Vanya terkekeh. “Kalau Vanya ngambil jaket ke kamar dulu, keburu hilang nafsu kaburnya, Mbok!”
“Ya sudah. Lain kali jangan kabur-kaburan lagi ya, Non. Tidak baik, Non. Apalagi saat orang tua Non sedang memberi nasihat. Mau bagaimana pun, suka atau pun tidak suka, nasihat orang tua itu harus didengar sampai selesai. Itu baru anak baik dan manis.”
“Mbok, Vanya sudah gedhe. Tapi cara Mbok memperlakukan Vanya persis anak TK.”
“Iya, soalnya Non Vanya tidak berubah sejak dulu. Masih tetap cantik, imut dan menggemaskan.”
Wajah Vanya seketika memerah. Ia malu ketika mendengar pujian Si Mbok barusan. Memangnya apa yang dikatakan Si Mboknya barusan benar adanya? Atau sekadar merayunya supaya mau menghabiskan makan malamnya yang kebetulan tadi hanya beberapa suap yang masuk ke dalam mulut? Entahlah..
Karena tanpa terasa, langkah keduanya yang berjalan beriringan telah sampai di depan pintu kamar Vanya.
Vanya melepaskan pelan rangkulan Si Mbok dari tubuhnya. “Makasih ya, Mbok. Karena Mbok sudah mengantar Vanya sampai depan pintu.”
“Iya, Non. Selamat beristirahat. Jangan lupa s**u stroberi di nakas diminum dulu sebelum tidur. Itu ‘kan kesukaan Non Vanya.”
Sepasang mata Vanya langsung memancarkan kebahagiaan yang tadinya sempat redup. Ia senang sekali karena Si Mbok selalu tahu cara menaikkan moodnya kembali. Vanya bersyukur karena Si Mbok masih diberi kesempatan untuk menemaninya dari bayi hingga sekarang. “Oke siap, Mbok! Makasih untuk s**u stroberinya!”
Mbok Sih hanya manggut-manggut lalu melangkahkan kaki meninggalkan Vanya.
Tak ingin berlama-lama berdiri di depan pintu kamar, Vanya pun segera masuk ke dalam kamar. Bermaksud untuk mencuci kaki dan tangannya, meminum s**u stroberi buatan Mbok Sih, lalu berlayar ke alam mimpi.
Tapi ternyata kenyataan tidak mengizinkannya secepat itu untuk berlayar ke alam mimpi. Karena Isna—Mami Vanya—sudah duduk manis, lesehan di lantai kamar Vanya yang sebagian beralaskan karpet bulu tebal. Seraya tangan dan matanya fokus melukis pemandangan malam dari jendela kamar Vanya, dengan sebuah kanvas kecil. 15x15cm mungkin..
Entahlah, Vanya tidak paham mengenai ukuran kanvas. Yang selama ini ia pahami adalah ukuran lingkar d**a, panjang baju, panjang kaki hingga ukuran tas. Jelas! Karena ia penjual produk-produk tersebut.
Vanya menghela napas pasrahnya. Jika sudah begini, sepertinya malam ini akan Vanya lalui dengan waktu yang berjalan lambat. Matanya yang tadinya setengah mengantuk, kini terbuka lebar kembali. Badannya yang tadi loyo, terpaksa ia tegakkan. Vanya tak ingin terlihat lemah dan menyedihkan di hadapan maminya. Ia akan tetap menjadi gadis yang teguh dengan jalan yang sudah ia ambil sendiri. Tentunya seperangkat dengan segala resiko di dalamnya.
Apapun itu, Vanya sudah siap menerimanya!
‘Halo, Kebebasan dan Kebahagiaan Hidupku? Tunggu perjuanganku, ya..’ batin Vanya mencoba membesarkan hatinya sendiri.
“Sudah lelah kaburnya?” tanya Isna tanpa menghentikan aktivitas melukisnya. Itu artinya, pendengaran Isna begitu tajam sampai pintu yang terbuka dan tertutup secara pelan pun..wanita itu mampu mendengarnya. Sedangkan posisi Vanya membelakangi pintu dan kasur putrinya.
“Bukan lelah, Mi. Hanya saja..Vanya memang tidak mempunyai tempat berpulang selain rumah ini. Vanya ke kamar mandi dulu.”
“Hm.”
Isna yang tadinya membelakangi sumber suara yang menjawab jujur pertanyaan sarkasnya itu, kini perlahan membalikkan badannya. Sepasang matanya langsung menatap punggung lesu Vanya. Wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu memperlihatkan senyum tipisnya pada malam. Ia baru sadar, anaknya telah benar-benar menjelma sosok gadis yang keras kepala dengan pilihan jalan hidupnya. Isna jadi teringat dengan dirinya dahulu semasa muda.
Keras kepala merupakan urutan nomor satu dalam list sikap seorang Isnaya, atau sekarang biasa dipanggil Nyonya Isna Wiryawan.
Sembari menunggu putrinya di kamar mandi menyelesaikan ritual sebelum tidur, Isna melanjutkan kembali melukis pemandangan malam melalui jendela kamar lantai dua ini. Bukan tanpa alasan Isna memilih area kamar Vanya ini sebagai tempat ternyaman untuk melukis, sekadar merenggangkan jari-jarinya, karena memang di sini pemandangan malam begitu indah.
Terkadang Isna heran, mengapa Vanya selalu menutup rapat jendela kamarnya ini dengan tirai tebal? Mengapa tidak membiarkan jendela kamarnya ini tertutupi tirai putih tipis? Sepertinya fungsi dua tirai benar-benar dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Vanya. Ia benar-benar orang yang tertutup jika sudah berada di dalam kamar. Kecuali siang hari.
Andai Vanya tahu, bahwa di luar sana banyak hal indah yang ternyata selama ini Vanya lewatkan. Pasti Vanya akan sangat senang membebaskan dirinya dari segala kesibukan yang ia ciptakan sendiri..
Di mata Isna, Vanya hanya seorang gadis biasa yang gigih memperjuangkan dirinya sendiri. Berusaha semaksimal mungkin membuktikan bahwa dirinya bisa melakukan semuanya tanpa bantuan dari kedua orang tuanya yang berasal dari orang berada. Vanya ingin berdiri di kedua kakinya sendiri.
Tapi sayangnya karena hal itu Vanya justru melupakan hal terpenting dalam hidupnya—pendidikan. Menuntut ilmu itu hukumnya wajib, sampai akhir hayat kita nanti bila perlu.
Memang, kesuksesan tidak berasal dari bangku perkuliahan saja. Namun, sebagai orang tua salahkah Isna dan Wiryawan menuntun Vanya ke jalan yang semestinya dilaluinya? Tidak bukan? Sebagai orang tua, keduanya hanya menginginkan yang terbaik untuk putri semata wayang mereka.
Terdengar suara pintu kamar mandi, itu artinya anak gadis Isna telah menyelesaikan ritualnya. Tetapi mendengar langkah kaki Vanya, Isna tak yakin anak gadisnya itu langsung merebahkan diri di kasur. Ternyata Vanya meraih segelas s**u stroberi buatan Mbok Sih, kemudian mendudukkan dirinya di samping sang mami.
“Mami melukis apa?”
“Masa depanmu,” jawab Isna dengan nada ketus. Sedap-sedap. Sukses menyindir Vanya yang susah sekali untuk dituntun menuju masa depan yang cerah.
Bukannya tersinggung atau kesal. Vanya justru terkekeh. “Masa depan Vanya itu cerah, Mi. Paling enggak yaa seperti pelangi sehabis hujan. Bukan seperti pemandangan malam yang temaram.” Tangan Vanya sampai menunjuk-nunjuk lukisan maminya.
Apa tanggapan Isna?
Wanita itu menoleh pada Vanya seraya menaikkan sebelah alisnya. “Oh ya? Tapi sayangnya kali ini Mami tidak sependapat dengan kamu, Vanya. Menurut Mami, masa depanmu itu persis dengan lukisan ini. Titik.”
“Pendapat setiap orang ‘kan berbeda-beda, Mi. Lagipula, selama ini Vanya sudah berjuang untuk meraih masa depan yang cerah. Tentu saja dengan jalan yang Vanya pilih sendiri.” Vanya tetap optimis. Ia tak gentar meskipun terang-terangan maminya sejak tadi menyindir habis-habisan jalan yang ia pilih sendiri.
“Dengan jalan tidak mau melanjutkan pendidikan? Itu yang kamu bilang masa depan cerah?”
“Mi, berapa kali Vanya bilang? Pendidikan, perkuliahan, itu enggak menjamin—”
Isna mengangkat tangannya. Memotong penjelasan Vanya, “Sssttt..stop. Iya. Sanggahan kamu yang itu sudah Mami catat. Bahkan Mami rekam di perekam suara yang ada di ponsel Mami. Mau dengar?”
Vanya tentu saja menggeleng. Untuk apa? Ia kemudian menghela napasnya, lelah sekali. Lagi-lagi yang ia perdebatkan dengan orang tuanya mengenai pendidikan. Memangnya kenapa sih, bila Vanya enggan berkuliah dan hanya berdagang? Toh, Vanya berdagang barang-barang yang lazim dan halal untuk diperdagangkan. Jadi, salah Vanya dimana?
Saat Vanya terdiam dengan beberapa pertanyaan yang belum terjawab di kepalanya. Isna kembali memberikan nasihat bijaknya, “Dunia ini sangat luas, Vanya. Apalagi untuk seorang perempuan. Berbekal kemampuan saja tak cukup bila tidak diimbangi pengetahuan. Pun juga sebaliknya. Teori tanpa praktik sama dengan nol. Dua-duanya harus seimbang. Singkatnya, menurut Mami, jadi perempuan harus serba bisa. Supaya di kemudian hari kita tidak terlalu bersusah payah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, keluarga, yang terpenting pasangan.”
Belum sempat Vanya berkata. Isna kembali melanjutkan nasihatnya, “Kamu boleh menjalani pilihan hidupmu, Nak. Tapi, jangan lupa dengan pilihan terbaik yang dipilihkan orang tuamu. Bukan maksud kami menuntut, tapi memang kamu harapan satu-satunya kami. Ketahuilah, kami selalu memikirkanmu siang-malam. Percayalah, apapun itu..pasti pilihan kami akan menjadi salah satu jalan terbaik di hidupmu.”
Pembahasan semakin berat saja. Apalagi maminya sudah mengumandangkan panggilan ‘Nak’.
“Mungkin saat ini kamu belum bisa percaya dengan kalimat terakhir Mami barusan, karena kamu belum menjalaninya. Tapi nanti, pasti kalimat terakhir Mami itu akan terbukti.”
Tidak terasa, sembari menasihati anak gadisnya, ternyata lukisan Isna telah selesai. Indah sekali menurut Vanya. Yaa..meskipun lukisan malam remang-remang itu tadi menjadi perumpamaan masa depan Vanya—yang artinya gelap.
Tapi tetap saja, soal lukis-melukis, Mami Vanya tetap juaranya!
“Lukisan Mami selalu indah,” puji Vanya dengan segenap ketulusan hatinya. Vanya juga ikut berdiri saat Isna berdiri.
Kini keduanya sama-sama memandang lukisan yang diangkat tangan Isna. “Seperti kamu..”
Seketika itu juga, kedua pipi Vanya langsung memerah. Maminya memang kerap ketus, sarkas, seperti tadi. Tapi hanya pada saat-saat tertentu. Selebihnya Mami Vanya merupakan sosok malaikat tak bersayap dalam hidup Vanya.
“Mami tidak mengatakan bahwa masa depanmu itu gelap. Hanya saja, belum diberi cahaya. Tenang saja. Mami dan Papi akan selalu menuntunmu menuju cahaya itu. Entah redup atau terang, kami akan selalu ada.” Setelahnya Isna tersenyum manis. Senyum yang begitu tulus hingga membuat Vanya terharu. Ia memeluk erat maminya dari samping. Menangis tanpa isakan seraya mengatakan kata ‘maaf’ beberapa kali.
‘Mi, Pi, maaf. Vanya belum bisa membahagiakan Mami dan Papi.’
“Sudah peluk-pelukannya. Sekarang saatnya kamu istirahat, Vanya. Siapkan mental untuk besok. Papimu pasti mempunyai banyak kejutan untuk kamu.”
“Siap, Mi!” Vanya sudah tidak terkejut dengan ‘kejutan Papi’. Itu sudah pasti. Karena sepertinya waktu istirahat yang Papinya berikan, sudah habis. Saatnya Vanya menentukan jurusan kuliah yang menyenangkan untuk dijalaninya.
“Selamat malam dan selamat beristirahat, Mami..”
“Iya. Kamu juga, Sayang.”
Isna meninggalkan kamar putrinya dengan jejak kecupan manis di dahi sang putri. Seraya berdo’a dalam hati supaya nanti putrinya bermimpi indah.
Sepeninggalan maminya, Vanya tidak langsung bergegas tidur. Dengan membawa gelas s**u stroberi yang tersisa separuh, Vanya duduk manis di meja belajarnya. Hmm..rasanya sudah lama sekali tidak mempergunakan meja ini sebagai mana mestinya. Yaa karena selama ini meja dialihfungsikan untuk keperluan dagang. Mencatat penjualan dan laba, semua Vanya lakukan dengan hati gembira di meja ini.
Tapi malam ini, Vanya membuka laptop untuk berselancar di beberapa web universitas. Ia sedang berusaha untuk tetap menjalani hidupnya sesuai dengan pilihannya, tapi tidak lantas mengabaikan keinginan mami dan papinya yang mati-matian membujuknya agar melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.
Seraya terkantuk-kantuk karena sudah belasan kali menguap. Akhirnya Vanya menemukan juga universitas beserta jurusan yang menurut Vanya cocok untuknya, Kewirausahaan. Pasti suatu saat nanti ilmu-ilmu dari jurusan tersebut dapat Vanya terapkan di usaha bisnis online shopnya. Menyenangkan bukan?
“Selesai! Saatnya berlayar dengan tenang ke alam mimpi.”
Tanpa melihat jam dinding, Vanya langsung merebahkan dirinya di kasur dan terlelap begitu saja.
Melupakan kewajiban isya’, mengabaikan do’a sebelum tidur. Pertanyaannya, apakah hidup Vanya benar-benar tenang? Mungkin tenang versinya.
Keesokan harinya.
Vanya merasa baru memejamkan matanya beberapa menit. Tapi gelegar suara Mbok Sih dengan menabuh panci dan sendok sayur terdengar bak petir. Mengganggu sekali dan berhasil mengusaikan mimpi indah Vanya yang sukses bergelimang uang dari hasil jualan bajunya.
Mau tidak mau, Vanya mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Tentu saja dengan sepasang mata yang masih tertutup. Kepalanya pusing. Ia sudah akan limbung kembali ke bantal tapi dengan cepat dua orang pelayan muda yang ikut Mbok Sih masuk ke kamar Vanya menahan gerak tubuh ringan Vanya.
“Haduhhh, Non! Semalam tidur jam berapa, sih!? Tumben jam sembilan pagi belum bangun? Tidak ada jadwal dengan kurir untuk pick up dagangan?”
Jam sembilan!?
Pick up dagangan!?
Vanya terkejut dan langsung membuka matanya. Ia pun juga melakukan pergerakan melompat dari tempat tidur. Sehingga dua pelayan muda yang memegangi lengannya langsung tersingkir, untung mereka berdua tidak sampai jatuh. “Gimana bisa jam sembilan!? Perasaan Vanya baru bobo beberapa menit, Mbok!”
“Itu jam dinding Non Vanya nunjuk ke angka sembilan. Meskipun tua begini, mata Mbok masih berfungsi dengan baik, Non..”
Kepala Vanya langsung menoleh pada jam dinding yang lumayan besar, yang terpajang di dinding kamarnya. Memang benar, pukul sembilan pagi. Bahkan lebih lima menit. Sial!
Vanya mengacak-acak rambutnya. “Kenapa baru dibangunin sekarang, Mbok!? Enggak sekalian saja dibangunin besok? Kenapa enggak dibangunin dari tadi jam enam pagi?” Vanya kesal sekali. Kenapa semua orang seolah-olah semakin memperburuk keadaan? Jika sudah begini, pasti akan sulit melihat senyum manis kedua orang tuanya. Karena lagi-lagi anak gadis mereka yang katanya ‘akan sukses dengan jalan pilihannya sendiri’ malah bangun kesiangan. Yaa, meskipun pukul sembilan masih terbilang pagi. Tapi bagi Vanya dan seisi rumah ini, pukul sembilan itu terlampaui siang untuk bangun tidur dari semalam.
Vanya heran. Pukul berapa memangnya semalam ia tidur?
Seusai membersihkan dirinya. Vanya merias tipis wajahnya dengan riasan natural. Seperti biasa. Hanya day cream, bedak tabur, dan liptint. Karena masih penasaran dengan jam tidurnya semalam. Vanya iseng mengecek aktivitasnya melalui ponsel. Karena Vanya ingat, semalam sebelum tidur ia sempat mengirim sebuah pesan singkat kepada salah seorang sahabatnya.
“Semalam aku tidurnya jam setengah tiga!? Astaga! Pantas saja sampai kesiangan bangunnya.” Vanya merutuki kebodohannya yang lupa dengan waktu saat berselancar di berbagai web universitas.
Satu hal yang Vanya sadari, ternyata tidak buruk juga bangku perkuliahan itu.
Berkaca. Vanya berbicara dengan dirinya sendiri, “Kamu tetap menjalani hidupmu sesuai dengan jalan pilihanmu, Vanya. Tapi sekarang ditambah harus bisa membanggakan mami dan papi! Are you ready?”
“Okey, i’m ready!”
Notifikasi pesan beruntun mengusaikan kegiatan Vanya mengobrol dengan dirinya sendiri di cermin. Vanya sangat bersemangat untuk hari ini. Selain menjalani kegiatan dagang online seperti hari-hari biasanya, hari ini ia sudah meminta tolong kepada Danisha—sahabatnya—untuk mengantarkannya berkeliling, melihat-lihat calon kampusnya.
Danisha : Gue udah di depan. Buruan!
Danisha : Gue ada kelas pagi, nih!!
Danisha : Lo enggak usah dandan cantik-cantik, Vanya! Mau dandan buat siapa emang? Merpati depan kampus?
“Ck-ck-ck..enggak sabaran banget! Emang ya, orang kalau dari lahir brojolnya kecepetan, apa-apa selalu mintanya cepet-cepet mulu. Buru-buruin orang kayak udah jadi suatu kewajiban!” Setengah kesal Vanya segera bergegas menghampiri Danisha di depan sana. Sebelum sahabat sat-set-wat-wet-nya ini semakin mengamuk.
***