Bab 4 Nasi Padang

2114 Kata
Tidak butuh waktu lama nasi padang pesananku sudah jadi, aku memberikan uang 20 ribu kepada ibu penjual nasi padang. "Makasih ya Mbak,” ucap ibu penjual itu saat menerima uang dariku. "Iya Bu, sama-sama,” sahutku tersenyum. Setelah mendapatkan Nasi padang itu, aku langsung pulang ke rumah karena ibu mertuaku pasti sudah menungguku. "Bu, ini nasi padangnya." Aku memanggil mertuaku begitu sampai di rumah. Ibu mas Rangga lalu keluar dari kamarnya datang menghampiriku. "Mana sini, lama sekali," keluh mertuaku. "Maaf Bu," Hanya itu yang bisa ku jawab. "Iya, sudah sana kamu pergi ke belakang mencuci pakaian, ada banyak baju ibu yang kotor kalau kau disini akan merusak selera makan ibu saja,” ucap ibu mertuaku ketus. Bukannya berterima kasih padaku karena sudah membelikan nasi padang untuknya tapi mertuaku malah mengusirku. Aku hanya bisa diam dan menerima semua perlakuan buruk ibu mertuaku, lalu aku pergi ke belakang untuk mencuci pakaian. Di meja makan mertuaku sedang asyik menikmati makanannya sambil menonton gosip artis sinetron di TV. "Nisa!" teriak mertuaku. Aku yang mendengar suara ibu mas Rangga memanggilku langsung segera datang menemuinya dan meninggalkan setumpuk cucian kotor itu. "Ada apa Bu?" tanyaku. "Cepat pijat kepala ibu, tiba-tiba saja kepala ibu sakit." Mertuaku mengeluh sakit di bagian belakang kepalanya lalu aku mulai memijatnya. "Bu, tadi 'kan Nisa sudah bilang nasi padang itu banyak santannya mungkin kepala ibu sakit karena kolesterol ibu naik," ucapku sambil terus memijat kepala ibu. "Sudah kau diam, mendengar suaramu membuat kepala ibu tambah sakit," ucap mertuaku ketus. Aku menghela napasku mendengar ucapan ibu yang masih saja ketus padaku padahal aku hanya mengingatkannya saja. "Sudah, sudah, pijatanmu tidak enak. Ibu mau tidur saja." Mertua melepaskan tanganku dengan kasar lalu melangkahkan kakinya ke kamar sambil terus memegang bagian kepala belakangnya. Lagi-lagi aku mengelus dadaku mencoba lebih sabar menghadapi mertuaku. "Ya Allah, kuatkan lah aku," batinku. Aku lalu kembali melanjutkan mencuci pakaian di belakang setelah itu pergi belanja ke pasar dan memasak untuk mas Rangga pulang kerja. **** Sementara itu Di kantor, mas Rangga masih sibuk bekerja bersama salah satu temannya membuat sebuah iklan untuk produk baru perusahaan tempat Mas Rangga bekerja. “Rangga, kenapa kau cepat sekali cutinya?” tanya Dion teman Mas Rangga. Dion dan Mas Rangga sudah lama berteman semenjak mereka pertama kali bekerja di perusahaan swasta tersebut. “Iya Dion, aku cuma dapat izin cuti nikah satu hari,” jawab Mas Rangga. “Bos kita memang pelit dari dulu,” tutur Dion. “Ya mau Gimana lagi, kalau kita macam-macam nanti di pecat lagi, Gimana nanti nasib istri kita,” sahut Mas Rangga. “Ow ya Rangga, Gimana istrimu? Aku dengar dari gosip kalau dia adalah wanita malam?” Tanya Dion berbisik. Bola mata Mas Rangga membulat mendengar pertanyaan Dion temannya, mas Rangga langsung menimpuk kepala Dion dengan berkas di tangannya. “Istriku bukan wanita seperti itu!” tegas Mas Rangga. “Ya Maaf Rangga, aku Cuma memastikan saja gosip itu. Kalau istrimu masih perawan itu berarti dia bukan wanita malam,” imbuh Dion. Mas Rangga terdiam mendengar penuturan Dion. Ia lalu teringat dengan noda darah seprei tadi pagi. “Jadi noda Darah itu bertanda Nisa masih perawan,” batin Mas Rangga. Dion yang melihat mas Rangga terdiam gantian menimpuknya dengan berkas yang sama. “Puk.” “Aaaww, Dion sakit tahu!” pekik Mas Rangga karena Dion memukulnya sedikit keras. hu Mas Rangga lalu mengelus kepalanya. sementara itu Dion malah tertawa melihat wajah mas Rangga yang meringis kesakitan. “Aku yakin kau pasti sedang memikirkan istrimu bukan,” ucap Dion terkekeh. “Iya Dion, ternyata istriku benar masih perawan, aku sudah menduganya sejak awal kalau semua gosip itu tidak benar,” ucap mas Rangga. Ketika Mas Rangga dan Dion sedang asyik berbincang tiba-tiba saja Bos mas Rangga melihatnya. “Hei...kenapa kalian malah sibuk bicara. Cepat bekerja! Apa kalian mau aku pecat Hah!” Teriak Bos Mas Rangga marah. “Baik Bos.” Mas Rangga dan Dion menundukkan kepala mereka takut kepada Bosnya lalu mereka melanjutkan pekerjaannya. *** Kembali ke Rumah, aku baru saja pulang dari pasar membeli bahan makanan untuk di masak, tapi sebelum memasak aku pergi ke kamar mertuaku untuk melihat keadaan sakit kepalanya. “Bu, bagaimana keadaan ibu sekarang?” tanyaku. “Kepala ibu masih sakit dan ini semua gara-gara kamu Nisa,” jawab mertuaku kesal. “Tapi Bu, Nisa tidak melakukan apa pun,” ucapku membela diri. “Nisa, kau yang sudah membeli nasi padang itu untuk ibu. jadi kau yang salah!” bentak mertuaku. “Tapi Bu....” “Sudah, sudah ibu tidak mau dengar alasanmu,” ucap mertuaku menyela ucapanku. “Astagfirullah Hal Adzim, kenapa aku yang di salahkan, jelas-jelas ibu sendiri yang maksa minta Nasi padang tadi,” batinku. Ibu Mas Rangga lalu pergi keluar rumah menemui Bu Wati tetangga kami, aku hanya diam melihat ibu mas Rangga pergi. dari kejauhan aku melihat mertuaku sedang asyik berbincang dengan Bu Wati, entah apa yang mereka bicarakan. Aku lalu melangkahkan kakiku menuju dapur untuk memasak sebelum Mas Rangga pulang karena hari sudah mulai sore. Aku mengupas bawang merah dan putih lalu menghaluskannya, kemudian menggoreng ayam yang sudah aku siapkan. Aku akan memasak ayam kecap untuk makan malam, salah satu makanan kesukaan Mas Rangga. “ Aku yakin mas Rangga pasti akan menyukainya,” guman hatiku. Selesai memasak aku langsung ke kamar mandi membersihkan diriku karena sebentar lagi Mas Rangga pulang, aku memakai baju gamis sederhana namun terlihat manis dan tak lupa aku merias sedikit wajahku agar terlihat segar di hadapan Mas Rangga. “Brem...brem....” Terdengar seperti sepeda motor Mas Rangga berhenti di depan Rumah. Aku langsung mempercepat langkahku membuka pintu menyambut mas Rangga pulang. "Assalamualaikum!" teriak mas Rangga. "Wa ’alaikumsalam!". Aku mencium tangan mas Rangga, dan membawanya tasnya masuk ke dalam Rumah bersama mas Rangga. "Dek, ibu mana?" tanya Mas Rangga sambil mengendurkan dasinya. "Ibu pergi Mas ke rumah tetangga," jawabku. "Ow ya sudah, Mas mandi dulu ya gerah.” Aku menganggukkan kepalaku tersenyum, sambil menunggu mas Rangga mandi aku menyiapkan pakaian mas Rangga dan membuat segelas teh untuknya. Hanya 15 menit Mas Rangga sudah selesai mandi, ia lalu duduk di ruang tamu. "Ini Mas tehnya!". Aku memberikan segelas teh yang sudah aku buat untuk mas Rangga. "Iya Dek." Mas Rangga mengambil teh itu dan menyeruputnya. Tidak lama kemudian ibu mas Rangga pulang, ia lalu menghampiri mas Rangga. “Rangga, untung saja kau sudah pulang,” ucap Ibu lalu duduk di sebelah mas Rangga. "Iya, Ibu kenapa? Kok wajah ibu terlihat kesal gitu?" tanya Mas Rangga. "Istrimu itu sudah membuat kepala ibu sakit," jawab ibu mas Rangga. Aku membulatkan mataku mendengar ibu yang sengaja menyalahkanku. Sedangkan Mas Rangga mengernyitkan dahinya merasa bingung dengan ucapan ibunya. “Aku tidak melakukan apa pun Mas,” ucapku membela diri. “He. Nisa, kepala Ibu sakit itu gara-gara makan nasi padang yang kau belikan,” ucap Ibu ketus. “Tapi Bu, kan ibu yang mau makan Nasi padang,” sahutku. “Sudah, sudah,” ucap Mas Rangga melerai perdebatanku dengan ibu. “Ibu jangan menyalahkan Nisa, kepala ibu sakit itu mungkin karena kolesterol ibu naik. Sekarang ibu minum obat ya nanti aku pijat kepala ibu.” Mas Rangga membujuk ibu agar tidak kesal lagi dan membawanya ke kamar, sejak dulu Mas Rangga memang sangat baik dan sayang kepada ibunya terlebih ketika ayahnya meninggal, Begitu pun sebaliknya ibu Mas Rangga juga sangat menyayangi mas Rangga. Tetapi jika sikap ibu sudah berubah kasar maka Mas Rangga akan bicara sedikit keras pada ibu. Setiap kali aku melihat kedekatan keduanya, aku merasa iri. Aku juga ingin merasakan kasih sayang ibu yang tidak pernah aku dapatkan, tapi Ibuku dan Mertuaku sama sekali tidak menyayangiku bahkan mereka membenciku. “Ya Allah, apa aku memang tidak pantas mendapat kasih sayang ibu,” Batinku. Aku menghapus Air mataku yang menganak di sudut mataku, aku tidak ingin sampai Mas Rangga sampai melihatnya. Aku lalu kembali ke kamarku, mengambil ponselku untuk menelepon Ayah. “Tut...tut...tut....” “Halo Assalamualaikum,” ucapku begitu ponselku tersambung dengan ponsel Ayah. “Wa’alaikum salam,” sahut ibuku yang mengangkat teleponku. “Ibu apa kabar, bagaimana keadaan Ayah?” tanyaku. “Baik. Ayahmu juga baik,” jawab ibu ketus. “Nisa untuk apa kau menelepon ayahmu, kami sudah hidup bahagia tanpa kamu. Jadi jangan hubungi ayahmu lagi.” “Tapi Bu....!” “Tut...tut...tut...” Panggilan teleponku sudah terputus di matikan sepihak oleh ibu. Aku menghela napasku berat, ku pandangi foto ayah di layar ponselku untuk mengobati kerinduanku padanya. “Dek!” Panggil Mas Rangga masuk ke dalam kamar. “Iya Mas, ada apa?” tanyaku menoleh ke arah mas Rangga. “Sudah mau magrib, yuk kita Sholat di mesjid!” ajak Mas Rangga. “Iya Mas, aku ambil mukena dan sajadah dulu.” Mas Rangga menganggukkan kepalanya, lalu menungguku di ruang tamu. Kemudian aku mengambil wudhu dan memakai mukenaku lalu menghampiri mas Rangga. “Tunggu Dek, Mas ajak ibu sebentar.” “Iya Mas,” sahutku. Mas Rangga masuk ke dalam kamar ibu, dan mengajaknya pergi ke mesjid bersama kami. “Ayo Bu, ikut aku dan Nisa ke mesjid!”. “Tidak, ibu mau di Rumah saja,” jawab ibu mas Rangga malas. “Ya sudah, ibu hati-hati di rumah,” pesan mas Rangga. Ibu menjawab dengan anggukkan kepalanya lalu kembali beristirahat. Sementara aku dan mas Rangga berjalan bersama menuju mesjid. Mesjid itu terletak tidak jauh dari Rumah mas Rangga hanya melewati beberapa rumah tetangga saja. Azan magrib mulai berkumandang, banyak tetangga di dekat rumah mas Rangga yang juga datang ke mesjid. Selesai Azan Kami lalu Sholat magrib bersama. Sehabis Sholat aku memilih pulang terlebih dulu sedangkan Mas Rangga masih berada di mesjid berbincang bersama pak Ustaz Musa. Aku melangkahkan kakiku menuju Rumah Mas Rangga bersama ibu-ibu lainnya. “He. Nisa besok kamu jangan Sholat ke mesjid lagi,” ucap Bu Wati tetanggaku. “Memangnya kenapa Bu? Aku tidak boleh Sholat di mesjid?” tanyaku bingung. “Nisa, kamu itu tidak sadar diri ya! Kamu itu bekas wanita malam, kami tidak mau mesjid tempat yang suci, nanti menjadi kotor karena dosa kamu,” sahut Bu Siti tetanggaku lainnya. “Astagfirullah Hal Azhim.” Aku mengelus dadaku mendengar ucapan ibu-ibu tetanggaku. “Itu tidak benar ibu-ibu, saya bukan wanita seperti itu,” ucapku mencoba menjelaskan. “Apanya yang tidak benar, mertuamu sendiri yang mengatakannya,” sahut Bu Wati sinis. “Sudahlah Nisa kau tidak usah berbohong. Ingat dosa kamu itu sudah banyak,” sambung Bu Siti. Aku hanya diam tidak membalas ucapan ibu-ibu itu, karena percuma saja aku mengatakan yang sebenarnya mereka juga tidak akan percaya dengan ucapanku. “Sudah yuk ibu-ibu kita duluan! Jangan jalan sama wanita malam ini,” ajak Bu Wati kepada ibu siti dan lainnya. Ibu-ibu tetanggaku itu lalu mempercepat langkah mereka sedikit menjauh dariku. Aku berusaha tidak menghiraukan mereka dengan terus berjalan pulang ke Rumah. “Kasihan sekali ya Rangga anak nya Bu Ratih ganteng-ganteng punya istri bekas di pakai orang.” “Iya benar itu Bu Siti, lebih baik Nak Rangga nikah sama Fira anak gadisku, di jamin masih perawan,” sahut Bu Wati. Masih terdengar ucapan ibu-ibu itu di telingaku, meskipun aku berjalan sedikit jauh di belakang mereka. Aku mencoba menahan tangisku mendengar ibu-ibu itu yang terus membicarakan keburukan diriku. Begitu sampai di Rumah aku langsung menuju kamar sambil menyeka sedikit air mataku. Ibu Mas Rangga yang sedang di Ruang tengah terlihat tersenyum senang saat melihatku menangis. “Rasain kamu Nisa, aku akan membuatmu terus menangis sampai kau angkat kaki dari Rumah ini,” batin Mertuaku. Aku terus berada di dalam kamar sampai Mas Rangga pulang ke Rumah. Setelah Sholat isya’ Mas Rangga baru pulang ke Rumah, ia melihatku meringkuk di kamar sambil memeluk bantal. “Dek, kau kenapa?” tanya Mas Rangga heran sambil melepas baju koko yang di kenakannya dan menggantinya dengan kaos biasa. “Aku tidak mau Sholat di mesjid lagi Mas,” jawabku. Mas Rangga malah tersenyum mendengar jawabanku, ia lalu menghampiriku dan mengambil bantal yang sejak tadi ku peluk. “Katakan, ada apa sebenarnya? Kenapa istriku yang cantik ini cemberut?” tanya Mas Rangga mencubit pelan pipiku. “Ibu-ibu tetangga di sini melarangku Sholat di mesjid Mas,” Keluhku. “Dek, mereka itu tidak berhak melarangmu. Mesjid adalah Rumah Allah semua orang berhak Sholat di Mesjid bahkan penjahat koruptor saja tidak malu Sholat di mesjid setelah menghabiskan uang Rakyat,” ucap Mas Rangga menghiburku. “Tapi Mas mereka bilang aku wanita malam dan aku akan mengotori Mesjid itu jika aku Sholat di dalamnya,” sahutku kesal. “Dek, kalau kau mengikuti kata mereka, itu berarti kau membenarkan ucapan mereka. Tapi Kalau kau masih Sholat di mesjid itu berarti kau menepis semua kabar gosip tidak benar itu.” Mas Rangga mencoba memberi pengertian padaku, Aku lalu menganggukkan kepalaku mengerti dan tersenyum menatap wajah Mas Rangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN