BAB 13. Tugas Chris

1176 Kata
Astri segera menghampiri putri semata wayangnya. “Tari, kamu harus bersabar, ya. Demi kita bisa hidup lebih baik. Selama ini kita sudah hidup susah, kerja keras, Ibu sudah capek kerja jadi buruh cuci, keliling jualan gorengan. Ibu kepengen hidup enak, Tari.” Mentari menghela napas dalam-dalam, lalu dia bangkit dan ikut duduk di samping ibunya. “Iya Bu, maafin Tari ya keseringan ngeluh. Lagipula ini karena kesalahan Tari kok. Andai saja malam itu nggak ada kejadian—” “Kamu ngomong apa sih Tari! Ibu malah bersyukur karena kejadian itu, kamu bisa nikah sama orang kaya, sama dokter! Apa namanya itu kalau bukan rezeki nomplok?!” Terdengar kekehan bahagia dari Astri, tapi Mentari hanya diam tepekur. “Sudah jangan bengong terus! Ingat loh, kita makan siang cuma dikasih waktu 1 jam!” Astri mengingatkan, lalu dia segera menyantap sepiring strip steak. Mentari memandangi ibunya yang terlihat begitu lahap menikmati makan siangnya, sampai mulutnya belepotan dengan bumbu. “Wuahh enak banget loh ini Tari dagingnya. Baru kali ini ibu makan daging selain pas hari raya, dan ini nggak kalah enaknya dengan rendang!” seru Astri dengan mulut yang masih penuh makanan. Mentari tersenyum. Dia mengambil sepiring spaghetti alfredo. Dalam hatinya begitu resah sekarang. Dia tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali. Bahkan Mentari ingin segera mengakhirinya sebelum dimulai. Namun begitu mendengar ucapan sang ibu tadi, lalu melihat ibunya itu begitu lahap makan di hadapannya. Tiba-tiba saja dia jadi ragu sendiri. Astri masih mencoba menu lainnya untuk dia cicipi, ketika Mentari memutuskan berhenti makan. Mentari menatap ibunya tak percaya, dia geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak? Ibunya itu sejak tadi bilang ingin mencicipi ini, mencicipi itu, nyatanya setiap piring yang sudah diambilnya pasti akan berakhir habis tak bersisa. “Sudah Bu, nanti Ibu kekenyangan malah bikin sakit perut. Ingat Bu, kita akan pergi setelah ini, untuk fitting baju.” Mentari mencoba mengingatkan ibunya yang kini sedang melahap zuppa soup. “Sebentar lagi Tari. Ini enak banget loh! Seumur-umur Ibu belum pernah makan ini. Kamu bersiaplah duluan, sana!” Mentari menghela napas dalam-dalam, dia menurut perintah ibunya. Tak lama kemudian terdengar bel pintu berbunyi. Mentari yang telah berganti pakaian segera menuju pintu dan membukakannya. Kedua bola matanya seketika terpaan pada sosok yang sedang berdiri di depan pintu. Seorang pria tinggi yang sangat tampan, dengan ekspresi wajah terlihat sangat ramah, dan dibingkai dengan rambut model man bun. Dan pria itu menyunggingkan senyum mautnya pada Mentari, terlihat kedua matanya seperti ikut tersenyum, sungguh sangat mempesona di mata Mentari. “Hemm, kamu pasti Mentari ya? Kenalkan, aku chris.” Dan Chris mengulurkan tangannya pada Mentari. Dengan agak gugup Mentari menyambut uluran tangan itu. “Iya betul, aku Mentari.” “Bagus! Bisa kita berangkat sekarang?” Chris mengedipkan sebelah matanya, dan bibirnya tetap tersenyum maut. Apa dia baru saja mengedipkan mata padaku? Atau dia hanya kelilipan? Ah, sepertinya dia memang sengaja mengedipkan mata. Dia menggodaku? Dalam benak Mentari melambung berbagai pertanyaan yang tak dapat dia ucapkan. Hanya berbicara lewat tatapan mata yang tak bisa lepas dari wajah tampan Chris. “Hei! Kok bengong? Yuk, jadwal mu sangat padat hari ini!” ajak Chris lagi. Mentari mengangguk perlahan, lalu mempersilakan Chris untuk masuk. “Sebentar ya, aku panggil ibuku dulu.” Chris mengangguk, dan dia duduk di sofa. “Oke.” Namun tak lama kemudian, Mentari sudah kembali lagi, berdiri di hadapan Chris. “Maaf Kak Chris, ibuku sepertinya nggak bisa ikut, dia sedang buang-buang air. Mungkin karena tadi makan terlalu banyak.” Chris tersenyum, dia tak menyangka akan mendapat panggilan ‘Kak’ dari Mentari. Tapi baginya itu lucu juga, maka Chris tidak protes. “Kok senyum Kak Chris? Jadi bagaimana sekarang?” Senyum Chris seketika hilang. “Umm begini saja, bagaimana kalau kamu saja nanti yang pilihkan baju untuk ibumu? Kamu hapal ukuran badan ibumu, kan?” Mentari mengangguk. “Iya hapal.” “Kalau begitu, kita saja yang pergi ke butik. Nanti akan aku minta housekeeping mengantarkan obat untuk ibumu kesini.” Mentari mengangguk. Pikirnya, itu adalah ide yang baik. “Sebentar, aku pamit dulu pada ibu.” Tanpa menunggu jawaban dari Chris, Mentari berlari menuju pintu kamar mandi. Dan pamit pada ibunya, juga memberitahu bahwa nanti akan ada yang membawakan obat kesini. Setelah itu mereka pergi berdua dengan menggunakan mobil Chris. Di perjalanan, Mentari tak banyak bicara, hanya menjawab singkat jika sedang ditanya oleh Chris. Dia agak canggung juga, hanya berdua dalam mobil, dengan Chris yang belum dia kenal. Namun Chris justru menikmati bisa melihat wajah Mentari yang terlihat agak cemas, dan juga gestur tubuhnya yang terlihat sekali sering salah tingkah. Bahkan Chris sering menahan tawa karenanya. Dia memang senang menggoda gadis yang masih polos, seperti hiburan baginya. Sesekali Chris melirik Mentari lewat ekor matanya. Pikir Chris, Mentari ini sebetulnya cantik sekali, dan juga bentuk tubuhnya yang bagus. Hanya sayang saja penampilannya terlalu sederhana, bahkan terkesan kampungan. Membuat kecantikan alaminya menjadi tidak menonjol. “Kita sudah sampai,” ucap Chris setelah memarkirkan mobilnya di depan sebuah butik yang besar. Mentari ikut turun dari mobil, lalu matanya memandang takjub pada butik di hadapannya. “Wuahhh,” gumamnya tanpa sadar. Chris tersenyum menyeringai. “Jangan kagum dulu, sebelum lihat gaun-gaun di dalam.” Mereka berdua masuk ke dalam butik, yang langsung disambut dengan hangat oleh karyawan yang berjaga. “Saya sudah ada janji dengan Nona Kim,” ucap Chris seraya melempar senyum mautnya. Mendengar nama sang desainer pemilik butik itu disebut, seketika membuat para karyawan di sana bersikap lebih formal. “Maaf, dengan Tuan siapa? Saya akan segera beritahukan pada Nona Kim.” “Chris.” “Baik Tuan Chris, mohon ditunggu sebentar. Saya akan segera kembali,” ucap karyawan dengan seragam yang terlihat begitu rapi. Lalu karyawan lainnya memandu Chris dan juga Mentari menuju ke ruangan lain untuk menunggu. Saat berjalan menuju ruangan itu, pandangan mata Mentari tak bisa lepas dari gaun-gaun mewah yang dipajang di dalam lemari kaca. Benar kata Chris tadi, Mentari akan sangat mengagumi deretan gaun yang terlihat sangat anggun dan mempesona. Seorang wanita berusia tiga puluhan masuk dengan senyum tipis, dan tatapan mata yang cantik. Membuat setiap orang yang melihatrnya tak ingin cepat-cepat mengalihkan pandangan. Wanita itu memakai dress di atas lutut yang terlihat manis meskipun dengan potongan yang begitu simple. Chris berdiri dari duduknya dan sedikit mengangguk. “Hallo Nona Kim,” sapa Chris dengan sopan. Ini adalah perilaku tersopan dari Chris yang dilihat Mentari sejak pertama bertemu. “Silakan duduk Pak Chris.” Lalu Kim, desainer cantik tersebut ikut duduk di salah satu sofa yang kosong, tepat berhadapan dengan Chris dan Mentari. Barulah Kim menyadari kehadiran Mentari di sana. Mentari sangat terpesona pada desainer cantik itu, sehingga tak sadar sejak tadi pandangannya terpaku pada sang desainer. Sedangkan Kim ternyata jauh lebih terpesona pada Mentari, sejak dia melihatnya pertama kali, beberapa detik lalu. “Inikah gadis yang akan menikah dengan Arion?” tanyanya dengan nada datar. Seketika Mentari terkejut. Kalimat irtu terdengar begitu dingin, tapi seperti penuh arti. Dan, Mentari juga bertanya-tanya dalam hatinya, desainer itu memanggil Pak Chris, tapi pada Arion, langsung memanggil nama. Jadi, apa hubungannya antara Nona Kim ini dengan Pak Arion? Mentari membatin penuh tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN