BAB 6. Pertentangan Dari Amanda

1152 Kata
“Menikahi gadis itu. aku harus bertanggung jawab,” jawab Arion dengan yakin. Hendy mengangguk. “Oke.” “Apanya yang oke?!” seru Amanda pada suaminya. “Bagus, itu berarti Arion adalah laki-laki bertanggung jawab.” “Apanya yang bagus sih, Pa?!” seru Amanda lagi dengan kesal. Hendy menghela napas dalam-dalam. “Ma, Arion telah berbuat salah, makanya dia harus bertanggung jawab. Apalagi kesalahannya kali ini termasuk fatal.” Amanda melotot, kedua tangannya di pinggang. “Tidak boleh! Arion bilang sendiri dia tidak kenal perempuan itu! Lalu darimana kita bisa tahu dari keluarga mana dia berasal, apa pekerjaan bapaknya!” “Bapaknya sudah meninggal. Dia anak yatim,” ucap Arion. Amanda sontak menoleh pada Arion, lalu segera berpaling kembali pada suaminya. “Nah kan, dia itu anak yatim! Tidak punya bapak, bagaimana dengan ibunya? Kita juga tidak tahu ibunya itu punya pekerjaan atau tidak!” “Punya. Ibunya penjual gorengan sekaligus buruh cuci,” ucap Arion lagi. “Hah?!” Amanda menatap putranya tak percaya. Dia kaget bukan main, pikirannya langsung melayang. Membayangkan jika nanti dia punya besan seorang penjual gorengan sekaligus buruh cuci. Lalu bagaimaan jika teman-teman sosialitanya sampai tahu itu?! Amanda segera menggeleng dengan kencang. “Tidak mungkin!” teriaknya. “Apanya yang tidak mungkin?” tanya Hendy. “Tidak mungkin kita punya besan kerjaannya begitu, Pa! Malu dong kita!” Hendy Albern justru tersenyum sambil memandangi istrinya. “Kita? Mama saja kali yang malu, Papa sih nggak.” “Ih, apaan sih Papa ini! Jelas malu lah, terus bagaimana kalau saudara-saudara kita sampai tahu, rekan kerja Papa sampai tahu! Aduh, pusing Mama!” Hendy hanya geleng-geleng kepala. “Arion, di mana rumahnya … siapa namanya tadi?” “Mentari Pa. Nama lengkapnya Cahaya Mentari. Rumahnya di Kampung Sawah Gang Senggol, itu nama daerahnya di KTP. Masih daerah Jakarta Pusat,” jawab Arion. Amanda kembali melotot. “Kampung sawah?! Daerah macam apa itu? Apa rumahnya di tengah-tengah sawah?! Gang senggol lagi! Maksudnya, gangnya sempit banget gitu? Kalau lewat mobil, harus agak minggir gitu?!” Amanda terlihat panik sendiri. “Ke rumah Mentari nggak bisa masuk mobil, Ma. Cuma muat motor saja, namanya juga gang senggol. Tapi mobil ada tempat parkirnya, di tanah kosong sebelum masuk gang,” jelas Arion dengan nada datar. “Astaga! Ariooonnn! Mimpi apa Mama punya menantu macam begitu!” Arion menarik napas dalam-dalam. “Fokus Mama jangan kesana dong, Ma. Tadi hampir aku dikeroyok oleh warga Gang Senggul karena dituduh perkosa anak orang. Tidak ada alasan Ma, aku dan Mentari harus segera menikah.” Amanda berkacak pinggang. “Sudah gila ya mereka! Berani-beraninya mau keroyok anak Mama! Nanti bisa Mama kasuskan ke polisi perbuatan mereka, Mama punya banyak teman pengacara hebat.” “Mama nih kok ngomongnya malah kemana-mana sih!” sergah Hendy. Lalu dia beralih pada putranya. “Mentari itu sudah bekerja juga, Arion?” Arion menggeleng. “Tadi kata Pak RT di sana, dia masih kuliah semester awal. Aku lihat di KTP nya, dia masih umur 19 tahun, Pa.” Sontak Hendy menepuk jidatnya sendiri. Sedangkan Aruna geleng-geleng kepala mendengar penjelasan adiknya itu. “Yang benar saja Arion! Jadi dia baru 19 tahun? Itu sama saja kamu akan nikahin gadis ingusan! Kamu sih sudah matang, sudah umur 31 tahun, sudah mapan pula. Tapi dia? Aduh!” Amanda memegang kedua pipinya dengan raut wajah sedih. “Kamu dan dia beda 9 tahun loh Arion!” seru Amanda lagi. “Beda 12 tahun, Ma,” ucap Arion membenarkan. Amanda tampak kembali terkejut. “Nah! Beda 12 tahun malah!” “Ma, kita harus bertemu dengan ibunya Mentari, segera,” ucap Hendy dengan wajah serius. Yang langsung disambut Arion dengan menganggukan kepalanya. “Tapi untuk apa, Pa?” Amanda jelas merasa keberatan dengan usul suaminya itu. “Loh kok untuk apa sih, Ma? Tentu saja untuk membicarakan pernikahan Arion dong!” Jalan pikiran Hendy jauh lebih terbuka daripada istrinya. Mungkin karena Hendy berasal dari London, sehingga budaya barat yang tidak terlalu kaku seputar masalah pernikahan, mempengaruhinya sikap yang diambilnya. Hendy bahkan sama sekali tak memarahi Arion atas kejadian itu. Sebagai orangtua dia hanya mengambil sikap tegas. Dan Hendy sudah cukup puas atas keputusan Arion yang penuh rasa tanggung jawab. “Aduh, Pa! Mama nggak mau deh punya besan dan menantu dari orang kelas bawah begitu! Nggak cocok dong Pa sama keluarga kita. Coba Papa bayangkan, apa nanti kata keluarga besar kita? Ah, pokoknya Mama nggak setuju!” Hendy geleng-geleng kepala, dia menatap pada istrinya. “Mama bisa nggak setuju, tapi bagaimana pihak dari Mentari? Anak gadisnya sudah tidur dengan anak kita, Ma. Dan tidak menutup kemungkinan, dia bisa hamil.” Lalu Hendy beralih menatap pada Arion. “Benar begitu kan, Arion?” Arion mengangguk perlahan. “Iya Pa, itu benar. Jika saat berhubungan badan, keduanya sedang dalam masa subur, yang perempuan bisa hamil tentu saja, meskipun baru sekali berhubungan. Apalagi … tidak memakai alat kontrasepsi.” Arion yang seorang dokter obgyn menjelaskan sesuai fakta yang dia pahami. Amanda langsung mengetuk meja di depannya, setelah itu dia juga mengetuk keningnya sendiri. “Ngapain Ma?” tanya Hendy keheranan. “Ih, amit-amit deh Mama punya cucu keturunan dari orang biasa-biasa begitu. Anak penjual gorengan, buruh cuci lagi! Aduhh, nggak deh, nggak pokoknya! Pernikahan eta teu bisa lumangsung!” berang Amanda dengan wajah super sewot. Dan kalau bahasa Sundanya mama Amanda sudah keluar, itu berarti dia sedang sangat emosi. “Mama tidak bisa begitu, ini semua adalah salahku. Maka aku harus bertanggung jawab,” cetus Arion dengan nada datar. Arion yang terkenal kalem dan dingin, memang jarang sekali menunjukan emosi seperti mama dan kakaknya. “Hemm, itu. Betul itu,” timpal Hendy, lalu meneguk teh hangat yang sejak tadi tersedia di atas meja. “Apanya yang betul sih Pa?!” Bibir Amanda mengerucut, wajahnya juga masih cemberut. Namun, detik kemudian tiba-tiba muncul senyuman menyeringai di wajah wanita setengah baya tapi masih cantik mempesona itu. “Arion! Bagaimana kalau kamu kasih saja perempuan itu uang yang banyak. Dengan syarat masalah selesai sampai di sini, Mama yakin dia pasti senang! Dia pasti butuh uang, iya kan?” Bibir Amanda mencibir. Arion tak menjawab, dia hanya memijit keningnya saja, supaya rasa sakit di kepalanya dapat sedikit berkurang. “Nggak semuanya bisa dibeli dengan uang, Ma. Salah satunya kehormatan seorang wanita,” tangkas Hendy sambil mengibaskan tangannya di depan wajah. Membuat istrinya terlihat semakin resah. Lalu Amanda menoleh pada putri sulungnya yang sejak tadi diam saja, hanya memperhatikan dengan memasang wajah memberengut. “Aruna, kalau menurutmu, bagaimana? Bagus kan usul Mama itu? Kita kasih saja pada mereka uang yang banyak, kan bisa dipakai untuk kebutuhan mereka, asalkan habis itu putus semua hubungan! Anggap kejadian itu tidak pernah ada! Gimana Aruna?” Amanda berusaha mencari dukungan untuk pendapatnya. Namun putri sulungnya yang terkenal bersifat galak itu hanya memutar kedua bola lalu mendengkus malas. Tak menjawab apa-apa. Amanda mendecih dengan kesal melihat reaksi Aruna. “Punya anak perempuan, nggak bisa diajak kerjasama! Heran!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN