Tertekan

1597 Kata
“Kalian akan tinggal dengan Nenek di rumah ‘kan?” “Mana mungkin, Nek? Nenek tahu sendiri ‘kan kalau pengantin baru itu harus ditinggal berdua? Jadi, biarkan aku dan Hazira tinggal di rumah kami sendiri ya?” “Lah, kalau begitu nenek tidak bisa dekat dengan Hazira, Rayyan.” “Iya ‘kan Nenek bisa berkunjung ke rumah kami setiap hari. Kapan pun Nenek ingin.” “Baiklah. Nenek mengalah kali ini. Tapi jangan harap Nenek mengalah lagi jika Rayyan kecil sudah hadir.” Ckittt ...! “Astagfirullah!” Decit suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal, nyaris saja membuat Hazira terantuk kursi di depannya jika saja dia tidak segera menahan diri dengan kedua tangan. Begitu saja ekor matanya melirik tempat Rayyan yang semula menyetir tanpa hambatan. Menilik dan mencoba menerka, hal apakah yang membuat Rayyan menggantikan mobilnya secara mendadak. Bugh! Suara kedua terdengar lagi dan kali ini berasal dari benturan tangan Rayyan dengan dashboard mobil. Membuat Hazira yang melihatnya mengerjap, dan segera mundur dari posisi tadi. Apa yang Rayyan lakukan jelas membuatnya merasa khawatir. Pikirnya, Rayyan sedang melampiaskan kemarahannya dan bisa saja menjadikan dirinya sebagai korban. “Apa saja yang sudah kamu lakukan kepada nenekku, Zira?!” Dan benar saja. Tidak sampai hitungan menit, Rayyan yang semula duduk dengan punggung menegang di kursi kemudi, kini berpindah tempat kemudian memenjarakan tubuh Hazira yang gemetar kecil. Tak sedikit pun mengasihani pemilik tubuh ringkih yang saat ini tengah menatapnya dengan ketakutan luar biasa. “Apa yang membuat nenekku begitu menyukaimu hah?! Jawab!” Ingatan di rumah sakit tadi saat neneknya begitu bahagia dengan pernikahan ini, tentu membuat Rayyan terpantik emosi. Lemahnya pertahanan diri serta kontrol emosi yang tidak pernah Rayyan kuasai, pun membuat Rayyan tega menyakiti. Tangan kekarnya menekan pundak Hazira dan meremas kuat seolah ingin menghancurkan. Tak peduli jika gadis itu tengah memberontak dan memohon padanya lewat manik matanya yang berseru kesakitan. “Saya tidak melakukan apa-apa. Tolong, lepaskan. Ini sakit ....” Hazira melirih dengan tubuh menggigil. Ada rasa nyeri yang menjalar saat punggungnya membentur pintu, dan sekarang Rayyan justru menambah rasa sakit itu. Demi apa pun, Rayyan yang berada di depannya saat ini sangat berbeda dengan Rayyan yang mengaku sebagai suaminya saat berada di rumah sakit. “Sakit katamu?” Rayyan berdesis. Mengikir jarak dengan Hazira yang semakin takut. Bibir merah gadis itu gemetar dengan bola mata berkaca-kaca. Sebuah pemandangan yang entah mengapa membuatnya merasa iba. Namun, mengingat semua keburukan Hazira, dia pun menepisnya begitu saja. “Lalu lebih sakit mana dengan Indah hah? Kamu sudah merampas tempatnya sampai tidak tersisa, Hazira!” “Apa saya yang memulai? Kenapa harus saya yang Anda salahkan?” Tak tahan, Hazira pun membalas dengan kalimat yang cukup berani. Mengambil kesempatan di antara pegangan Rayyan yang mengendur dengan membuat pertahanan diri. Dia mendorong tubuh Rayyan menjauh kemudian berusaha membuka pintu mobil. Sayang, usahanya tidak berhasil. Rayyan sudah mengurungnya di mobil ini dan tiada hal lain yang bisa dia lakukan selain bertahan, atau memanggil bantuan orang luar jika Rayyan sudah membahayakan keselamatan diri. Demi Tuhan, sehari berurusan dengan pria itu sudah membuatnya seperti hidup di neraka. “Hazira!” “Kenapa? Bukankah kebenarannya memang seperti itu, Tuan Rayyan?” Zira kembali menyela. Biar dia tunjukkan bagaimana perasaannya setelah mengetahui statusnya sebagai ibu pengganti. “Anda yang mendatangi saya kemudian menjebak saja dalam sebuah pernikahan, sedangkan status saya yang sebenarnya adalah ibu pengganti. Anda juga yang menyusun semua rencana ini dan membohongi nenek Anda sendiri. Anda lah yang sudah memperalat saya sebagai kantung bayi. Lalu kenapa harus saya yang Anda salahkan? Apa Anda pikir, saya tidak sakit hati setelah direndahkan seperti ini?” Hazira menghela napas sejenak. Memenuhi rongga dadanya yang Terasa sempit karena berteriak serta menetralkan raut wajahnya yang terasa panas. “Jika Anda tidak mau berada di posisi ini, harusnya Anda berpikir dua kali sebelum mencari ibu pengganti. Apalagi tindakan ini haram dalam agama kita dan di mata hukum pun ilegal. Meski Indah—akh!” “Tutup mulutmu, Hazira. Apa hak mu menyebut namanya?” Rayyan kembali menyakiti dengan menggenggam lengan Hazira yang kecil. Sekali lagi tak memedulikan Hazira yang meringis sakit karena rasa bencinya kini semakin menjadi-jadi. “Tidak usah menceramahiku karena aku tahu betul apa yang aku lakukan. Selain itu, jangan lagi memasang wajah munafik. Kamu mendapatkan uang dari pernikahan ini dan masih menginginkan lebih dengan mengambil kepercayaan nenekku. Bullshit jika kamu merasa sakit hati.” Aira mata Hazira jatuh. Tidak bisa lagi dia bendung mana kala mendengar kata-kata menyakitkan itu. Se menyedihkan itukah harga dirinya di mata seorang Rayyan? Tidakkah pria itu ingin mengetahui alasan kenapa dia melakukannya? “Sekarang enyah dari hadapanku! Namun jangan pernah berpikir untuk melarikan diri karena ke ujung dunia pun, aku pasti menemukanmu dan membuatmu hancur!”. Pedih. Namun perintah ini lebih baik daripada terus bertahan dengan monster bernama Rayyan yang tidak hanya menyakiti hati tetapi, fisik. Lekas Hazira menarik diri kemudian keluar dari pintu mobil yang sudah Rayyan buka dengan lebar. Menjauh di antara gemerlap lampu malam kemudian menghentikan sebuah taxi yang melintas. “Jalan, Pak.” Gemetar tubuh Zira saat mengatakannya. Masih terasa nyeri akibat perbuatan Rayyan tadi sehingga dia memeluk tubuhnya sendiri. Ingin rasanya pulang ke rumah kemudian bersembunyi. Akan tetapi, dia ingat benar siapa Rayyan dan betapa menakutkannya ancaman pria itu . “perumahan mawar nomor 102 ya, Pak.” Dan akhirnya, dia memilih kembali walau sakitnya sudah tidak bisa ditoleransi. Dia hanya tidak mau Dirgantara turut menjadi korban keegoisan sang tuan muda. Sekarang dia tahu benar, jika Attarayyan Fahreza bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang pria itu inginkan. Apalagi, di dalam hati Rayyan sudah tertanam kebencian yang teramat dalam. Tanpa dijelaskan secara rinci pun, Rayyan tidak akan mau menerima perlawanan. Mobil taxi yang ditumpangi Hazira berhenti. Tepat di depan pintu gerbang yang sama halnya jeruji besi. Cepat-cepat dia membuka pintu pagar kemudian menuju pintu utama. Sebentar mencari kunci di dekat vas bunga kemudian membuka pintu dengan mudah. Entah Rayyan akan kembali ke rumah ini atau tidak yang jelas, dia harus mencari posisi aman. Yakni bersembunyi di dalam kamar dan tidak menampakkan diri selama pria itu berkeliaran di dalam rumah. “Ya Tuhan, lenganku sakit sekali. Aku harus mengompresnya dengan air dingin,” Lirih Hazira sebelum memberanikan diri membuka pintu kamarnya lagi. Menuju dapur untuk mengambil air dingin dan semoga Rayyan belum kembali. ** Pukul 3 dini hari Hazira terbangun seperti biasa. Rasa letih, cukup membuat tubuhnya ingin tak beranjak dari ranjang ini. Namun, ada kewajiban yang tentu tidak mungkin dia tinggal hanya karena alasan lain. Beruntung, perbuatan Rayyan semalam tidak sampai membuat lengannya patah sehingga dia masih bisa beraktivitas seperti biasa dan pergi bekerja. “Aku haus.” Hazira mendesah pelan. Dia lupa tidak membawa air minum ke dalam kamar sehingga mau tidak mau, dia harus ke dapur untuk mengambilnya. Hanya ... apakah Rayyan sudah pulang? Hazira menjadi bimbang. Namun, dia harus memberanikan diri karena rasa haus ini membuatnya tak tahan lagi. Terakhir, dia tidak punya pilihan lain selain memberanikan diri. Jika Rayyan menyakitinya lagi, dia bisa melawan kemudian pergi. Pintu kamar yang sejak semalam dia kunci itu pun dia buka dengan perlahan walau sebenarnya, dia buka dengan kasar pun tidak akan menimbulkan suara. Begitu saja langkah pelannya menuju dapur yang jaraknya cukup dekat. Tidak begitu menguras tenaga karena dalam beberapa langkah saja dia sudah sampai dan tiba-tiba saja, dia ingin berterima kasih kepada Indah karena sudah memberinya akses yang mudah. Dengan penuh kehati-hatian, Hazira mengambil gelas kemudian menuju lemari pendingin yang kosong tanpa sedikit pun bahan makanan. Hanya terdapat air minum yang sempat dia letakkan semalam dan beruntung, dia sempat makan saat mengunjungi nenek Ratna di rumah sakit. Jika tidak, dia pasti pingsan karena kelaparan di rumah besar ini. “Eoh?” Hazira melirih pelan begitu dia membuka pintu kulkas dan menemukan kantung plastik berukuran sedang yang entah berisi apa? Dia ingat benar, jika lemari pendingin seukuran lemari baju di rumahnya ini tidak berisikan apa-apa semalam. Jadi, benarkah Rayyan sudah pulang? Tidak mau berlama-lama di sana, Hazira segera menutup pintu dan hendak kembali ke kamar. Namun, entah dari mana datangnya? Pria yang sangat dia hindari tiba-tiba berdiri di depannya dan sontak saja, membuat gelas yang dipegangnya hampir terlepas dari genggaman. Ya Tuhan ... kenapa pria ini harus muncul sekarang? Hazira gugup luar biasa. Ingatan saat Rayyan menyakitinya tiba-tiba berkelebat hingga membuatnya mundur dari pijakan. Ingin menyembunyikan rasa takut tetapi tidak bisa. Dan pria itu, justru mengikis jarak—entah ingin melakukan apa lagi terhadap dirinya? “Setelah salat subuh, makanan di dalam kulkas bisa kamu hangatkan.” Hanya itu? Hazira mengerjap. Apalagi setelah Rayyan berlalu tanpa melakukan apa-apa. Tidak ada kekerasan, ataupun kata-kata kejam seperti biasa dan saat ini, punggung pria itu telah menghilang dari pandangan. Apa yang tadi, hanya bayanganku saja? Hazira menemukan dirinya dalam kebingungan yang begitu nyata. Tersadar tidak mau salat malamnya terlewat, dia pun menepuk keningnya pelan. Lekas kembali ke kamar karena setelah ini, ada tugas sebagai pembantu yang harus dia lakukan. ** “Makanannya sudah saya hangatkan, Tuan.” Kertas yang tergeletak di atas meja, sontak membuat Rayyan mendesah pelan. Entah kata-katanya yang terlalu ambigu atau otak gadis itu yang terlalu dungu? Bisa-bisanya Hazira menyajikan makanan ini untuknya sedangkan yang dia maksudkan, makanan ini untuk Hazira makan? Sekalipun dia sudah berbuat keterlaluan, tentu dia tidak mau gadis itu mati kelaparan. “Bagus gadis ceroboh itu tidak pingsan karena kelaparan.” Rayyan melihat cangkir yang juga bertender di sana. Bahkan setelah perbuatannya semalam, Hazira masih melakukan ini untuknya. “dan sekarang, gadis itu justru meninggalkan rumah tanpa berpamitan.” Rayyan lagi-lagi mendesah pelan, “ya Tuhan, kenapa semua gadis yang ada di dalam hidupku sangat menyebalkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN