Mendoakan Yang Baik.

1028 Kata
Setelah matahari benar-benar terbenam, penerangan di sekitar pantai berganti dengan lampu yang menambah suasana menjadi lebih romantis. Ombak yang semakin naik, membuat keseimbangan Zalikha goyang dan dia hampir jatuh diterpa ombak kakinya jika saja Daylon tidak kuat merangkulnya. Debur ombak yang semakin kencang dan tinggi berhasil mengakhiri ciuman basah keduanya. "Sebaiknya kita kembali ke kamar, lebih baik di gulung selimut dari pada ombak, bukan?" canda Daylon. Dijawab langsung Zalikha dengan anggukan. Keduanya kembali ke hotel. Zalikha dan Daylon di buat terkejut dengan kehadiran seorang dokter keluarga Takizaki dan perawat pendampingnya. "Ada apa, kenapa ada dokter? Apa ada sesuatu dengan papi?" tanya Daylon pada staff frontoffice hotel. Pria itu mengira kalau dokter yang di lihatnya itu datang untuk memeriksa Alfredo. "Dokter itu baru saja selesai memeriksa nyonya Ara, Tuan," jawab sang staff yang sedang bertugas. "Ara sakit apa?" timpal Zalikha. "Info yang saya terima, perut nyonya Ara sakit." Zalikha menarik lengan Daylon, memberi tanda pada pria itu kalau mereka harus segera melihat kondisi Ara. "Terimakasih informasinya," ucap Daylon seraya menepuk pundak staff tersebut kemudian dia pergi bersama Zalikha yang sudah tidak sabar karena khawatir. "Kita tidak ada kepentingan melihat kondisi dia, Likha," tegur Daylon di dalam lift. Zalikha menghela napas, "Bagaimanapun dia tetap adik aku, Uncle. Aku khawatir kandungannya kenapa-napa." Daylon merangkul pundak Zalikha dan memberinya usapan di sana. Pria itu berusaha menenangkan calon istrinya itu. *** "Kemana saja kalian?" cecar Sarah ketika melihat Zalikha dan Daylon baru saja masuk kamar pengantin baru Hugo dan Ara. Zalikha memberi tanda pada calon suaminya agar tidak menjawab pertanyaan dari Sarah. Daylon yang paham langsung terdiam menahan diri. "Bagaimana kondisi kamu, Ra?” tanya Zalikha, mengabaikan pertanyaan Sarah. Namun yang ditanya dan diperhatikan bukannya senang malah berdecih seakan dia jijik. "Gak usah basa basi, kamu senang kan lihat kondisi aku sekarang?” singgung Ara. "Apa kalian habis dari pantai?” timpal Aksa, menyela percakapan kedua putrinya, matanya tertuju pada Zalikha dan Daylon yang basah bawah pakaian keduanya. "Iya, Ayah. Tadi aku dan Likha menghabiskan sore di pantai sampai lupa waktu. Ketika kami kembali ternyata ada kabar mengejutkan seperti ini," jawab Daylon yang sudah memanggil Aksa dengan sebutan 'Ayah' karena permintaan pria itu sendiri. Ara kembali berdecih, "Baru juga kenal, sudah dekat begini," sindirnya. Daylon yang mendengarnya menjadi geram. Dia maju satu langkah mendekati ranjang yang ditiduri Ara. Dengan kedua tangan berlipat di d**a. "Kenapa kalimat yang keluar dari kamu tidak pernah bagus, Ara? Selalu negatif pada Likha. Sebenarnya ada masalah apa kamu sama calon istri saya?” ucap Daylon dingin. Tatapannya juga tidak kalah dinginnya mengintimidasi lawan bicaranya. Ara sampai menelan salivanya karena takut. Hugo merasa sebagai suami dari Ara, maju. Tepat di hadapan Daylon. Tubuh keduanya hampir sama tinggi dan gagah, hanya beda usia yang terpaut sedikit. "Apapun itu, biar menjadi urusan pribadi antar kakak beradik saja, Uncle," bela Hugo. "Urusan, masalah atau apapun yang berhubungan dengan calon istri saya otomatis akan menjadi urusan dan masalah saya juga," sahut Daylon. Daylon melirik Ara dari samping pundak Hugo. "Saya tahu siapa Zalikha, dia yang selalu mengalah dari adik sambungnya yang egois, bodohnya dia karena memiliki hati yang baik dan. Tulus," ujar Daylon. "Tidak cukupkah pengorbanan dia terakhir ini? Mengorbankan pernikahannya," sambungnya. Ara terkekeh meremehkan. "Pengorbanan? Itu bukan pengorbanan, Uncle. Uncle benar, Zalikha memang bodoh. Dia bodoh sekali karena tidak bisa melayani Hugo. Kalau Hugo melampiaskan bersamaku apa itu salah? Salahku?” beber Ara. "Istri kamu benar-benar tidak tahu malu, Hugo!” decak Daylon kesal. "Siapa yang lebih tidak tahu malu, Ara atau Uncle yang dua kali gagal dalam pernikahan?” "HUGO!” bentak Roki. "Tidak pantas kamu bicara seperti itu pada uncle kamu sendiri," tambahnya dengan telunjuk mengacung tepat di depan wajah sang putra. Nafas ketiga pria di sana memburu, terlihat jelas emosi mulai tersulut. Zalikha merangkul lengan Daylon dan mengusapnya, begitu juga dengan Trantri—istri Roki, ibu kandung Hugo itu pun ikut menenangkan suaminya. "Akhhh, perutku," rintih Ara. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan dirinya, dia mulai memainkan dramanya. "Sakit lagi ya?" Hugo langsung berbalik dan duduk di pinggir ranjang, mengusap perut Ara dengan lembut. "Sebaiknya kita bicara di luar, Ara butuh istirahat," usir Sarah. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kami ke sini hanya ingin melihat kondisi Ara dan mendoakan dia, semoga bayi dalam kandungannya baik-baik saja," ucap Daylon. "Amin, terimakasih, Daylon," balas Sarah. "Semoga bayi itu tidak menyesal telah lahir dari rahim wanita sepertinya." Kalimat Daylon belum berakhir tapi Sarah sudah lebih dulu menyela dan mengaminkan. Sontak saja Ara dan Sarah mendelik tapi mereka tidak berani melawan Daylon karena tatapan pria itu lebih menyeramkan dari pada kalimatnya. *** Semua anggota keluarga sudah keluar dari kamar. Tinggalah Sarah dan putrinya. Hugo sendiri ikut bergabung dengan keluarganya di luar. "Bodoh! Harusnya kamu nahan diri, Ara!” bentak Sarah memarahi putrinya. "Bagaimana kalau kamu keguguran? Bisa-bisa kamu di cerai sama Hugo," tambahnya. Nafas Sarah memburu karena emosi yang memuncak. Dia tidak habis pikir kalau putrinya melakukan hubungan intim disaat usia kandungannya masih muda. "Ck! Dokter bilang gak apa-apa kok," decak Ara, dia berkelit. "Gak semua rahim kuat, Ara!" sahut Sarah. "Lagian sampai berapa ronde kalian melakukan itu sampai kamu keram begitu?” tambahnya bertanya sesuatu yang privasi. Wajah Ara cemberut, saat ini dia sedang kesakitan tapi sang ibu malah mengomel. "Aku ngantuk, mau tidur," usir Ara tapi Sarah tidak perduli. "Tidur sana, mama temani di sini." Sarah duduk di sofa panjang yang ada di dekat kaca. "Ngapain Ibu di sini?” "Temani kamu lah, kalau nanti kontraksi palsu lagi bagaimana? Mama juga akan jaga kamu dari nafsu Hugo!" Ara mengdengus kesal. Apa-apaan ibu kandungnya ini? "Bu, saat ini aku gak butuh ibu, aku butuh suamiku, aku gak mau dia di luar sana bersama Zalikha. Mereka pasti sedang ngobrol bersama, berdekatan dan ...." Ara tidak bisa melanjutkan karena tidak mampu menahan rasa cemburunya yang berlebihan. Pikirannya sudah negatif begitu jauh tentang suaminya dan kakak tirinya. "Arght! Ara, otak tuh di pakai! Di luar banyak orang bagaimana mereka bisa berduaan." "Pokonya aku mau Hugo yang temani, ibu temani ayah aja sana.” "Kamu usir Ibu?” Ara menghela nafas panjang, rasanya sejak tadi dia sudah melontarkan kalimat usiran yang halus hanya saja Sarah tidak peka hingga Ara kembali melontarkan kalimat lebih kasar dari sebelumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN