Yasmin Empat

1289 Kata
Jaja menjadi bulan-bulanan di pabrik, bahkan sudah tiga bulan berlalu dari kejadian paling memalukan dalam hidupnya. Kejadian yang tidak akan pernah ia lupakan. Sudahlah nyungsep di depan orang banyak, celana sobek. Pada saat mau pulang, sepatu sebelah kiri, raib entah kemana. Ditambah badan masih pada bentol digigit semut. Jadilah Jaja menggowes sepedanya hanya menggunakan sepatu sebelah kanan. Yuni dan Dian bahkan tidak bersimpati sama sekali, mereka malah terbahak hingga meneteskan air mata. "Kalau gue jadi lu, sih. Mending gue bunuh diri saat itu juga," ledek Janu sambil terkekeh. Diikuti ledak tawa yang lainnya. Saat ini mereka sedang berkumpul di kantin pabrik. Sedang istirahat dengan jam bergantian. "Udah sih, jangan dibahas!" Jaja bersungut, wajahnya berubah jadi jengah. Jangan ditanya lagi bagaimana malunya dia, nyungsep di depan orang yang sedang berduka. Hingga semua yang hadir di sana ikut tertawa. Bahkan Reza anak almarhum bos Arman, terbahak sampai terbatuk-batuk. "Jaja...Jaja...celananya udah lu jahit lagi belum? jahit double, Ja. Biar ga gampang robek." "Udah gue lemparin, Nu. Trauma gue." Janu dan yang lainnya kembali tertawa. Nanang menghampiri meja teman-temannya, sambil membawa kotak bekal. Ia merengganggkan jarak antara Janu dan Jaja. Ia duduk diantaranya. "Gue punya gosip terkini." "Apaan?apaan?" lima orang yang duduk di sana memasang telinga mereka baik-baik. Termasuk diantaranya Jaja. "Gue denger, Pak Malik bakal ngelamar Bu Yasmin." Huk! Huk! Jaja tersedak krupuk yang tengah ia kunyah. Yah, berhubung tanggal tua, emaknya hanya membawakan bekal nasi putih, telur ceplok, dan kerupuk bubur ayam. "Pelan, Ja. Lu mah, makan kaga pernah bener dah. Kalau ga keselek tulang, keselek krupuk," ujar Nanang sambil tertawa, tetapi tangannya menyodorkan gelas air putih kepada Jaja. Jaja meminumnya perlahan. "Jangan sembarangan, Nang. Masih berkabung kali Bu Yasmin." "Janda anyar, Ja. Wajar jadi inceran. Bu Yasmin cantik, umur baru dua puluh sembilan, kaya, berpendidikan. Yah, pasti udah jadi inceran para lelaki." "Bener juga ya. Semoga Bu Yasmin menolak Pak Malik," gumam Jaja tanpa ia sadari. "Aciieee...ada ga rela nih kayaknya," ledek Juna kini, yang lain semakin menimpali yang tidak-tidak. Jaja bersungut, memilih meninggalkan teman-temannya. **** Kesedihan masih menyelimuti Yasmin, bahkan setiap hari ia menyesali keteledorannya lupa menelepon suaminya siang itu. Biasanya, setiap satu jam sekali, ia menelepon suaminya untuk menanyakan keadaannya. Hal itu selalu ia lakukan, saat ia sudah mulai aktif kembali memimpin pabrik tas kepunyaan mereka. Namun, siang itu ia terlupa, karena sedang meeting dengan salah satu pemegang saham salah satu mall di Jakarta. Terlalu asyik hingga satu jam kemudian, Bik Narsih menelepon dan mengatakan bahwa suaminya sudah tidak sadarkan diri. Air matanya masih terus berlinang bila mengingatnya. Dalam sholat ia berdoa agar diberi keikhlasan, namun sangat susah. Rasa penyesalan, rasa sayang, cinta dan sedih itu menumpuk jadi satu. Yasmin bahkan tidak bisa tidur kembali di kamarnya, Kenangan akan suaminya begitu lekat. Arman adalah seniornya di kampus, mereka bertemu di kampus. Yasmin memang sudah sedari awal menyukai Arman saat ada kegiatan ospek kampus. Hingga suatu hari mereka dipertemukan sampai akhirnya menikah dan memiliki Reza. Setelah kepergian suaminya, Yasmin memilih tidur bersama Reza. Ia tidak akan sanggup melewati malam tanda sosok Arman di sampingnya. "Amih, nangis lagi?" Reza masuk ke dalam kamarnya. Masih dengan seragam sekolah, melihat amihnya bersedih. Yasmin menoleh pada anak semata wayangnya, memeluk anak lelaki itu yang sedikit bau keringat. "Mandi dulu, Bang. Bau acem!" Yasmin berseloroh, ia menutup hidungnya, seakan tidak tahan dengan aroma tubuh Reza. "Amih, tadi pagi tebak Abang ketemu siapa?" "Tidak tahu, emangnya Abang tadi ketemu siapa?" tanya Yasmin ingin tahu, jemari lentiknya, membuka satu persatu kancing baju sekolah Reza. "Ketemu abang yang jatuh di rumah waktu itu," jawab Reza sambil terkekeh. "Siapa? Amih lupa deh." "Itulah Amih, yang nyungsep di depan amih dan Abang, waktu papa meninggal." "Ohh...iya, Amih ingat. Abang ketemu di mana?" "Dekat sekolah abang, Mih." "Oh ...gitu, trus?" "Abang Jaja cuma senyum, trus tos. Trus pergi. Lucu, Mih, Sepatunya lain sebelah. Hahahahaha." Reza tertawa di akhir ceritanya. Anak lelaki itu berjalan telanjang, ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Meskipun terlahir sebagai cucu dan anak orang kaya, sikap Reza sangatlah sederhana dan lucu. Tidak sombong dan sering berbagi pada teman-temannya. Yasmin merapikan kemejanya dan riasannya, ia bersiap berangkat ke pabrik sore ini. Sudah selesai masa iddahnya sebagai janda yang ditinggal meninggal suaminya. Saatnya melanjutkan hidup dan dia harus kuat dan semangat, karena ada Reza yang kini sepenuhnya menjadi tanggung jawabnga. Walaupun tiada yang tahu, seberapa hancur dan sedihnya hati Yasmin saat ini. Reza keluar dari kamar mandi. "Amih, tolong handuk. Abang lupa!" seru Reza sambil menyeringai, anak lelaki kecil itu, sudah berdiri di depan kamar mandi dengan tubuh basah kuyup. Yasmin menghampiri anaknya sambil membawa handuk, kemudian dengan sabar dan sambil berceloteh ringan, ia memakaikan baju rumah untuk Reza. "Amih siang ini ke pabrik ya, Za. Abang sama Bik Narsih ya mainnya." "Oke, tapi amih janji ga boleh lembur!" Reza mengangkat jari kelingkingnya. Menanti kaitan jari kelingking cantik milik ibunya. "Janji." **** Hiruk-pikuk pabrik terdengar riuh, saat mengetahui Yasmin kembali ke kantor siang ini. Ada yang terlihat sangat senang, ada juga yang masih merasa iba. Pak Malik keluar dari lift, lelaki tampan yang berusia matang itu, tengah berjalan dengan penuh semangat, menyambut kedatangan bu Yasmin. Langkah anggun Yasmin memasuki area pabrik, hentakan sepatu vantofelnya terdengar ringan, semakin mendekat ke ruang produksi. Tersenyum ramah kepada semua karyawan yang menyapanya dengan hormat. Jaja yang baru saja kembali dari kamar mandi, tidak menyadari kedatangan bu Yasmin. Ia berjalan santai ke lorong biasa, tempat ia bertugas yaitu menjalankan mesin untuk menjahit tas-tas tersebut. Jaja melirik sekilas wajah Pak Malik yang sumringah berjalan keluar dari lift. Huukk! Hhuukkk! Entah apa yang membuat tenggorokan Jaja tiba-tiba gatal? ia terus saja terbatuk-batuk hingga membuat langkah Malik berhenti, lalu pria itu menoleh ke samping. "Kamu kenapa?sakit?" "Bukan, Pak. Nangis!" Huuukk! hhuuukk! Jaja kembali terbatuk, ia menepuk-nepuk dadanya agar rasa gatal di tenggorokannya berhenti, namun masih terus saja terbatuk-batuk. Pak Malik hanya menggelengkan kepalanya, ada-ada saja pikirnya. "Ada apa ini?" tanya suara yang sangat tidak ingin di dengar oleh Jaja. Yasmin menghampiri Malik dan juga Jaja yang masih terus terbatuk. Uueeekkk! Jaja tiba-tiba saja muntah. Yasmin menutup matanya, saat Jaja memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Jijik sekali dan tidak sopan. "Pak Malik, kalau karyawan sakit suruh ke klinik depan saja. Jangan menyebar virus di sini. Jorok banget lagi, pakai muntah segala. Bersihkan!" Tegas Yasmin sekaligus pada Jaja, sebelum kakinya melangkah pergi dari sana yang diikuti oleh Malik. Seandainya saat ini ada pintu doraemon, tentu dia sudah pindah ke bulan saja. Tidak sanggup rasanya, berkali-kali membuat perbuatan memalukan di depan bos wanitanya ini. "Makasih, Nang," kata Jaja saat menerima air mineral hangat yang dibawakan Nanang. Mata Jaja melotot kaget melihat muntahan di lantai. "Lo muntah?" "Iya dan itu di depan Bu Yasmin, Nanang. Ya Allah, gue pengen berhenti kerja aja kalau begini, Nang," Ucap Jaja sedih, lalu ia meminum air yang diberikan Nanang. Yasmin masuk ke dalam ruangannya. Diikuti oleh Malik. Meskipun masih dalam suasana berkabung, namun Yasmin mencoba profesional, apalagi selama tiga bulan ia tidak ke pabrik, laporan keuangan banyak yang tidak sinkron. Ia tidak ingin menuduh siapapun, dia hanya ingin segera mengetahui kesalahannya ada dimana. "Laporan keuangan tiga bulan belakangan, email ke saya ya, Pak," ujar Yasmin sambil menyalakan laptopnya, blazer yang ia kenakan. Ia sampirkan di punggung kursi kebesarannya. "Baru juga masuk, Yas. Santai dululah!" "Bagaimana mau santai? jika laporan yang saya terima, tidak sesuai dengan data yang saya pegang." "Mmm ...oke, oke. Saya akan minta Kamal untuk email ke kamu." "Mmm ... saya mau bicara sesuatu," ujar Malik pelan, suaranya terdengar sedikit ragu. Yasmin yang baru saja fokus pada laptopnya, akhirnya menoleh pada Malik. Wajah Malik terlihat tegang. "Iya silahkan! ada apa?" "Mmm ...tapi kamu jangan tersinggung ya?" "Iya, ada apa sih?" kening Yasmin sampai mengerut, menanti apa yang akan Malik utarakan. "Bagaimana kalau saya menggantikan posisi almarhum Arman di hati kamu?" ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN