'Kkreeekkkk'
Suara jeritan pintu itu terdengar begitu memekak kan telinga ketika Dokter Wisesa membuka pintu depan klinik. Hari ini Atmajaya sekeluarga dan Dokter Wisesa beserta Dokter Feri datang dan membuka pintu klinik itu.
"Beginilah sekarang kondisinya, Dokter!" Dokter Wisesa menghela nafas panjang, ia menatap nanar keadaan klinik yang dulu menjadi pencapaian paling membanggakan dalam hidupnya itu.
Tempat pendaftaran itu begitu berantakan, keramik yang dulu berwarna putih, kini tertutup debu dan kotoran yang begitu tebal. Baunya sudah tidak karu-karuan, Dokter Wisesa yakin banyak sekali tikus, kecoak dan mungkin hewan-hewan lainnya yang menghuni kliniknya ini selama lima tahun terakhir.
Bram menyingkirkan sarang laba-laba yang mengangtung menutupi pandangannya itu. Sungguh memprihatinkah sekali kondisi tempat ini. Ia menatap ke sekeliling, hawa aneh menyergap membuat bulu kuduk Bram meremang. Sudah bukan hal asing sih bagi Bram yang sejak koas sudah wira-wiri bahkan harus tidur di rumah sakit, hawa macam ini pasti ada. Terlebih klinik ini sudah cukup lama tidak beroperasi dan tidak tersentuh orang.
"Mana ruang penyimpanan rekam medisnya, Dok?" tentu itu yang hendak Angela kunjungi pertama kali ketika berhasil melangkahkah kaki masuk ke dalam klinik ini. Ia tidak peduli dengan betapa kotornya klinik ini, ia hanya perlu ke ruang penyimpanan data rekam medis pasien, membongkar semua isinya guna menemukan rekam medis para pasien yang dulu melahirkan bersamaan dengan dirinya.
"Ada di sini, Dokter. Mari ikut saya!" Dokter Wisesa melangkah menyusuri lorong utama, kemudian berbelok ke kiri, menuju sebuah ruangan dengan pintu yang mulai keropos itu.
Untung hari ini hari minggu, semuanya libur, jadi mereka punya banyak waktu untuk membongkar satu persatu dokumen yang masih tersisa di klinik itu. Semoga titik temu yang mereka cari bisa mereka dapatkan hari ini.
"Aduh, Fer ...," tampak Dokter Wisesa kesulitan membuka pintu itu.
Dokter Feri langsung mendekat, ia membantu sang papa memutar kunci itu, sia-sia ... kuncinya macet. Bram dan Albert mendekat, tampak Albert menepuk lembut pundak Dokter Feri, membuat laki-laki itu menoleh dan menatap Albert lekat-lekat.
"Kita dobrak saja pintunya, Dokter!" guman Albert yang langsung dapat anggukan kepala semuanya yang ada di sana.
Dokter Feri mengangguk tanda setuju. Ia bergegas mundur, menjejerkan posisinya di antara Bram dan Albert. Tentu jika dilakukan bertiga, pekerjaan itu akan menjadi mudah bukan?
"Satu ... dua ... tiga ..." Bram memberi instruksi, hingga kemudian ketiganya serempak mendorong paksa pintu itu hingga pintu terhempas kuat.
Bau tidak enak menguar dari dalam ruangan itu, map-map berwarna hijau itu banyak berserakan di lantai. Di sudut-sudut ruangan terdapat banyak kotoran tikus. Bastian maju, ia menyodorkan surgical mask dan handscoon pada semua yang ada di sana.
"Pakai sebelum masuk dan menyentuh apa yang ada di dalam sini," perintah Bastian yang sontak dibalas anggukan kepala setuju semua yang hadir di sana.
Angela yang sudah siap dengan masker dan handscoon-nya itu lebih dulu maju, menginjak beberapa map yang berserakan di lantai dan berdiri di depan sebuah rak besar yang terdapat banyak folder-folder berisi map-map itu.
Hatinya bergejolak luar biasa, ia harus mendapatkan berkas itu, rekam medis itu. Karena semua data yang ia butuhkan ada di berkas itu. Setidaknya ia dapat nama lengkap wanita yang kemungkinan besar membawa dan merawat putrinya, mendapatkan alamatnya untuk kemudian Angela datangi untuk meminta kembali anaknya, putri kandungnya yang selama ini tidak pernah ia temui, ia dekap dan sayangi.
Bram dan Albert segera memburu sang mama, ia ikut membongkar satu persatu folder dan membuka map-map itu untuk membaca data-data pasien yang terulis dan terekam di sana. Dokter Wisesa dan Dokter Feri pun ikut membantu mencari data yang sejawatnya cari.
Bastian menghela nafas panjang, ia menundukkan kepalanya sejenak untuk mengucap doa, setelah selesai, Bastian melangkah masuk. Satu kakinya menginjak sebuah map hijau yang kondisinya setengah basah karena tetesan air hujan yang rembes dari plafon. Di sana tertulis nama, 'Ny. Anita Ernawati. 10-01-1981, RM - 397651.
***
Elsa rasanya begitu malas, seharian ini ia hanya menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Ia benar-benar tidak bersemangat lagi. Ramon benar-benar hilang bagai di telan bumi. Semua pesan yang ia kirim, sama sekali tidak di balas. Padahal statusnya cecklist dua. Tapi sama sekali tidak ada balasan. Jangan kan dibalas, dibaca saja tidak. Ahh ... sebegitu pentingnya kah status ekonomi untuk beberapa orang?
"Elsa, Sa ... mama minta tolong, dong!" Anita muncul dari balik pintu kamar Elsa, membuat Elsa menoleh dan menatap Anita lekat-lekat.
"Minta tolong apa sih, Ma?" Elsa hanya melirik seklias, menatap sang mama yang masih beridiri di depan pintu kamarnya.
"Pergi ke Luwes dong, mama sudah bikin list apa saja yang perlu di beli," Anita menyodorkan kertas ke arah Elsa.
Elsa bangkit, ia duduk di tepi ranjangnya dan meraih lipatan kertas itu. Ia membuka lipatan kertas itu, dan membaca tulisan yang terdapat di dalam kertas itu. Cukup banyak ternyata, namun lumayankan lah, jadi Elsa bisa refreshing sejenak dengan membelikan barang-barang yang Anita tulis di kertas itu.
"Mau kan? Mama soalnya mau ada urusan sama ibu-ibu PKK," Anita menatap sang anak yang tengah meneliti list belanja yang ia buat itu.
"Oke deh, mana duitnya?" Elsa melipat kertas itu, meraih tas selempangnya yang tergantung di dinding dekat meja rias.
Anita tersenyum, sejak dulu Elsa memang anak yang patuh dan penurut. Ia tidak pernah membantah dan menolak apapun perintah yang Anita berikan kepadanya. Ia selalu menuruti apa yang Anita perintahkah, tidak pernah neko-neko dan jangan lupa, Elsa gadis yang sangat cerdas. Ia kemudian menyodorkan tiga lembar seratus ribuan itu kepada Elsa. Elsa menerima uang itu, lalu memasukkan uang itu ke dalam tas selempang yang sudah ia siapkan.
"Uangnya sisa nggak nih?" tanya Elsa sambil mengerling manja ke arah sang mama.
"Sisa paling sepuluh ribu lah!" Anita tersenyum lebar, ia bergegas keluar dari kamar Elsa.
Elsa menghela nafas panjang, lumayanlah buat beli es teh dan gorengan. Elsa bergegas meraih jaket, memakai sendal dan melangkah keluar rumah. Nanti sekalian ia bisa windows shopping, sekedar hiburan daripada Elsa stress memikirkan Ramon yang terkesan meng-ghosting dirinya dengan hilang begiu saja bagai di telan bumi setelah tahu segala macam kondisi Elsa yang sebenarnya.
Ia memakai masker guna menutupi hidung dan mulutnya, memakai helm lalu membawa motor itu melaju ke sebuah supermarket besar yang tidak jauh dari rumahnya itu. Jujur hatinya begitu sakit, kalau akhir-akhirnya laki-laki itu menghilang bagai di telan bumi, untuk apa selama ini ia terkesan agresif mendekati Elsa? Merayunya dengan sedemikian hebat sampai Elsa jatuh hati dan terkesan pada sosok itu?
Ah ... Elsa menggelengkan kepalanya, ia fokus pada motornya, fokus pada jalanan yang ada di hadapannya itu. Untuk apa sih mikirin Ramon? Buat apa coba? Ujungnya bikin Elsa sakit hati, bikin Elsa menangis dan bikin Elsa emosi setengah mati.
"Semangat, move on Elsa! Ayo move on!" guman Elsa pada dirinya sendiri.
Ia tidak mau terus-menerus terpuruk pada sakit hati yang menderanya itu bukan? Sejak awal ia sudah harus sadar diri posisinya di mana, posisi Ramon di mana, mereka beda jauh! Strata mereka sangat jauh berbeda. Salah Elsa juga kan terlalu berharap pada sesuatu yang tidak mungkin ia raih dan gapai dalam hidupnya itu?
Elsa membelokkan motornya ke halaman parkir, matanya tertuju pada mobil putih yang ia kenal betul itu mobil siapa. Ini kan mobil Ramon? Jadi dia ada di supermarket ini juga? Astaga! Elsa bergegas turun, melepas helm tanpa melepas maskernya, ia tidak boleh terlihat oleh Ramon. Ramon tidak boleh tahu bahwa Elsa ada di supermarket ini juga.
Elsa menghela nafas panjang, ia bergegas masuk ke supermarket dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ia harus menghindar jika melihat sosok itu. Aman! Elsa tidak melihat Ramon ada di sekitarnya! Dengan langkah santai, Elsa masuk sambil mendorong troli, ah semoga ia ada di sisi lain supermarket ini. Lantai dua atau tiga mungkin, jangan sampai Elsa bertemu denganya. hanya bikin sakit hati saja!
Elsa bergegas mencari barang-barang yang tertulis di daftar yang sudah di buat oleh sang mama. Dari mulai rak sabun mandi, sabun cuci dan makanan ia jelajahi. Setelah yakin semua barang sudah terbeli, Elsa bergegas menuju kasir. Tampak ada beberapa antrian di sana. Elsa memilih kasa nomor dua, ia bersandar di troly dan merogoh smartphone dari tasnya ketika ia mendengar suara yang begitu familiar itu.
"Nih fotonya, masih SMA lulus tahun ini, namanya Elsa!"
Sontak Elsa bergetar ketika ada yang menyebut nama itu. Elsa siapa yang orarng itu maksud? Dia atau siapa? Orang lain? Elsa melirik ke sumber suara, jantungnya hendak melompat ketika tahu sumber suara itu berasal dari sosok yang tadi Elsa harap tidak harus bertemu dengannya, dia dan dua laki-laki itu bediri di kasa no empat.
"Gila, ini mah cantik Mon! Mana mulus begini lagi kulitnya," seorang laki-laki dengan kulit kuning langsat itu tampak menatap dengan seksama ponsel di tangannya.
"Iya nih, kayak gini kamu buang begitu saja, Mon? Gila bener!" komentar laki-laki sipit tampak geleng-geleng kepala.
"Mau gimana lagi? Nggak masuk kriteria dia," jawab Ramon santai yang sontak membuat hati Elsa begitu perih luar biasa.
"Nggak masuk kriteria gimana?" laki-laki bermata sipit itu tampak melotot tidak percaya menatap Ramon.
"Anak orang nggak punya, tahu kan apa maksudnya? Bisa gila mama-papaku kalau dia yang aku bawa pulang kerumah buat aku kenalin sebagai calon isteri."
Deg!
Mata Elsa memanas, hatinya benar-benar sakit. Benar dugaannya! Ternyata yang jadi permasalahan adalah status ekonomi Elsa. Itu yang membuat laki-laki itu kemudian menghilang begitu saja tanpa memberi kabar lagi. Bisa gila mama dan papanya kalau Ramon membawa Elsa dan mengenalkan dia sebagai pacar? Seburuk itukah Elsa? Elsa menghela nafas panjang, antrian sudah habis, ia mendorong trolinya, sudah gilirannya membayar belanjaan yang ia beli.
Elsa sekuat tenaga menahan tangis, sementara ketiga laki-laki itu masih tertawa begitu heboh. Membuat hati Elsa makin pedih luar biasa.
"Dia cerdas juga sih, kelihatan dari cara dia bicara, pengetahuan dia luas, cuma ya itu ... dia kere!"
Kere?
Kini air mata Elsa benar-benar menitik. Kenapa sih sekali lagi kondisi ekonomi yang membuat Elsa begitu terpuruk dan tersakiti? Kondisi ekonomi membuat ia harus kehilangan kesempatan meraih mimpinya dan sekarang kondisi ekonomi juga yang membuat ia dipermainkan dan dihina sedemikian hebat oleh laki-laki yang ia cintai.
'Kere? Apakah orang kere itu sejelek-jeleknya orang?'