Angela yang masih harus menerima pasien itu terpaksa meninggalkan antrian pasiennya ketika telepon itu ia terima dari bangsal VVIP tempat Vanessa dirawat. Ia setengah berlari menuju lift guna segera sampai dikamar putri angkatnya itu. Keringat dingin mengucur deras, jantung Angela berdetak dua kali lebih cepat. Apakah ini saatnya? Apakah ini akhir dari segala macam perjuangan Vanessa melawan leukimia selama ini?
Angela bergegas naik ke lift begitu pintu lift terbuka, ia berharap-harap cemas. Jika memang benar ini adalah saat terakhir Vanessa, berdosakah dia jika dia merahasiakan semua ini dari Vanessa, bukankah dia juga perlu tahu siapa orang tua kandungnya? Namun masalahnya, Angela sendiri tidak tahu di mana keberadaan orang tua kandung Vanessa, ia juga sedang dalam misi pencarian anak kandungnya.
Pintu lift terbuka, Angela setengah berlari segera masuk ke bangsal perawatan VVIP.
"Dokter, Vanessa ...."
Angela tidak menghiraukan perawat yang stand by di nurse station itu, ia langsung melesat ke kamar inap Vanessa. Begitu pintu di buka, nampak Bram dengan mata berkaca-kaca sudah berdiri di sana bersama Bastian. Selang oksigen itu sudah terpasang, namun Angela bisa lihat Vanessa masih seperti kesulitan bernafas, membuat Angela sontak menitikkan air mata.
"Mendekatlah!" guman Bastian ketika Angela masih tampak begitu syok di tempatnya bediri,
Dengan lunglai Angela melangkah, beridiri di samping Bastian yang duduk di kursi sambil menggenggam erat tangan Vanessa. Air mata Angela banjir melihat betapa memperihatinkan kondisi Vanessa saat ini, kulitnya menghitam, rambutnya sama sekali tidak bersisa, bahkan alisnya habis. Tubuhnya tinggal tulang, sungguh efek kemoterapi begitu luar biasa reaksinya pada tubuh Vanessa, padahal pada pasien lain tidak separah ini. Tentu karena daya tahan dan daya terima tubuh orang terhadap obat yang digunakan dalam proses kemoterapi tentulah berbeda.
"Sayang, papa percaya kamu masih bisa mendengar papa, bukan?" guman Bastian lirih sambil meremas-remas tangan Vanessa.
"Maafkan mama, papa dan kakak-kakakmu jika selama ini kami punya salah baik kata maupun perbuatan ya, dan maafkan juga atas ketidak berdayaan kami menolongmu, Sayang."
Angela terisak, Bram mendekati sang mama kemudian mendekap erat tubuh Angela yang sudah setengah lemas itu. Dadanya berubah sesak, meskipun bukan anak kandungnya, tapi tetap saja berat melihat dan harus melepas Vanessa pergi dengan kondisi seperti ini.
"Maafkan kami yang tidak bisa mendonorkan sumsung tulang belakang kami sebagai sarana penyembuhanmu, Sayang. Karena tidak ada satu pun dari keluarga kita yang cocok sumsumnya untuk didonorkan kepadamu." Bastian mengelus kepala Vanessa, tampak air mata meleleh dari pelupuk mata Vanessa, diselingi helaan nafas yang masih terasa begitu berat meskipun tabung oksigen itu sudah dialirkan sebagai alat bantu nafas untuknya.
"Kami sayang Vanessa, apapun itu, siapapun kamu, Nak."
Isak Angela makin keras, apakah akhirnya Bastian akan buka suara mengenai siapa Vanessa yang sesungguhnya? Apakah kemudian Vanessa akan bisa terima dan apakah kepergiannya akan tenang setelah mengetahui fakta yang selama ini tersimpan itu?
"Siapa pun kamu, kamu tetap anak papa. Gadis yang papa dan mama rawat sejak bayi hingg sekarang. Kami tetap menyayangimu, Nes!" Bastian menghela nafas panjang, air matanya menitik.
"Jika Vanessa sudah lelah, kami ikhlas, Nak. Kami tahu tidak mudah menjalani pengobatan ini. Sakit dan sakit, hanya itu yang terasa bukan? Tapi tahukan Vanessa bahwa kami lebih sakit melihat Vanessa jadi seperti ini."
"Jika sudah lelah, Vanessa bisa istirahat, kami ikhlas, Nak. Kamu sudah terlalu lama berjuang untuk bertahan, kamu gadis yang hebat dan kuat."
Belum ada sepersekian detik Bastian mengucapkan kalimat itu, tubuh Vanessa sontak mengejang, matanya terbuka lebar, menitikkan air mata dan kemudian kembali menutup dengan sendirinya. Suara monitor hemodinamik itu berubah nyaring dan melengking. Garis lurus terpampang di sana mana artinya tidak ada lagi denyut jantung yang di deteksi oleh alat itu.
Tangis Angela sontak pecah, begitu pula dengan Bastian. Selesai sudah semua perjuangan Vanessa melawan penyakitnya. Ia sudah menang, menang karena setelah ini tubuhnya tidak lagi harus merasakan sakit akibat efek kemoterapi tersebut.
"Dia sudah menang," Bastian membiarkan air matanya menitik, ia bangkit dan melepaskan satu persatu alat medis yang menempel pada tubuh Vanessa dibantu beberapa perawat yang sejak tadi stand by begitu kondisi Vanessa drop.
Bram menepuk-nepuk lembut pundak sang mama yang tampak begitu terpukul dengan kepergian Vanessa yang tepat di depan mata mereka itu. Tentu berat bukan? Bagaimana pun mereka merawat Vanessa dari bayi, didalam benak mereka, tentu menganggap bahwa Vanessa adalah bagian keluarga mereka bukan? Walaupun ternyata Vanessa sama sekali tidak ada hubungan darah dengan mereka.
Alat-alat medis itu berhasil terlepas semua dari tubuh Vanessa, para perawat hendak membawa keluar semua alat itu ketika kemudian pintu rawat inap terbuka lebar. Nampak Albert dan Christ muncul. Albert yang hendak buka suara mengurungkan niatnya ketika melihat sang papa sudah menutupi tubuh Vanessa dengan selimutnya.
"Dia sudah pergi," guman Bastian sambil menatap Albert dan Christ bergantian.
Semua yang ada di sana menundukkan kepala, hanya isak yang terdengar begitu lirih, hingga kemudian Bastian kembali bersuara.
"Batalkan dulu rencana kalian hendak bertemu dengan Dokter Feri dan Dokter Wisesa, tunda maksimal sampai tujuh hari ke depan."
"Baiklah, biar nanti Bram hubungi beliau, Pa." guman Bram yang masih sibuk menenangkan sang mama itu.
Bastian hendak kembali bersuara ketika kemudian Dokter Rino masuk dengan membawa beberapa peralatan, semua yang di sana kompak menangkap Bastian, ia hanya mengangguk dan tersenyum lalu melangkah mendekati sang isteri.
"Tolong ambil sedikit sample darah Vanessa untuk di simpan, Dokter. Kita perlu untuk bahan uji ketika kelak menemukan orang yang kita prediksi sebagai orang tua kandung Vanessa."
"Baik, akan saya laksanakan, Dokter." Dokter Rino menekan botol handsanitizer, lalu memakai handscoon dan bersiap mengambil beberapa sampel darah untuk kemudian mereka simpan agar dapat digunakan kemudian hari seperti apa yang diinstruksikan Dokter Bastian.
Vanessa sudah pergi, dan satu-satunya cara untuk mencocokkan DNA tanpa harus membongkar makamnya adalah menyimpan sedikit darah Vanessa. Bastian menghela nafas panjang. Tugasnya sebagai orang tua Vanessa sudah usai, dan kini ia masih harus berjuang guna menemukan Puteri kandungnya sendiri. Tentulah setelah segala duka ini selesai mereka melewati.
***
Elsa menghela nafas panjang, resmi sudah ia menjadi mahasiswi UIB fakultas Ekonomi Manajemen. Almamater dan segala atribut untuk Osmaru dan PPA bahkan sudah diserahkan oleh kampus, membuat air mata Elsa sontak menitik.
Bukan, ia buka menangis haru, melainkan menangis sedih. Kenapa harus fakultas ekonomi manajemen? Kenapa bukan fakultas kedokteran? Ahh ... mungkin sudah jadi takdir Elsa bukan? Takdirnya ada di fakultas ini sepertinya, jadi suka tidak suka, mau tidak mau Elsa harus menerima semua ini dengan lapang d**a.
Elsa mengambil hanger baju, membuka plastik almamater itu dan menggantung jas berwarna biru gelap itu di belakang pintu. Hendak ia cuci, namun rasanya Elsa ingin menatap dulu sehari dua hari jas itu tergantung di belakang pintu kamarnya, untuk menguatkan dan menyadarkan Elsa bahwa tempatnya di sini! Dalam balutan jas almamater itu, bukan jas almamater fakultas kedokteran PTN bergengsi yang ada di kotanya.
Ting!
Sebuah pesan masuk? Dari siapa? Elsa bergegas meraih ponselnya. Senyum Elsa merekah ketika mendapati Ramon yang mengirimkan pesan itu.
[Gimana, sudah daftar kuliah?]
Senyum Elsa merekah, kenapa pesan singkat dari dokter itu rasanya seperti obat bagi hati Elsa yang sedang terluka ini? Elsa bergegas membaringkan tubuhnya di atas ranjang, membalas pesan itu dengan segera.
[Sudah nih, Ko. Padahal masuknya masih September besok, eh ini sudah lengkap semua.]
Send.
Elsa menatap langit-langit kamarnya, membayangkan raut wajah itu yang benar-benar mengusik Elsa dengan begitu luar biasa. Dia kurang apa sih? Posturnya tinggi tegap, dengan rambut hitam, mata sipit dan kulit bersih, benar-benar menggemaskan sekali meskipun umurnya sudah hampir kepala tiga.
Ting!
[Ya nggak apa-apa dong, jemput bola malah. Selamat ya sudah jadi mahasiswi sekarang.]
Elsa langsung melupakan kesedihannya ketika sudah bercengkrama dengan sosok itu via pesan singkat, biasanya mereka akan seperti sampai kemudian salah diantara mereka pamit tidur.
Ting!
[Besok free? Makan diluar yuk? Koko traktir deh, anggap aja hadiah karena kamu sudah jadi mahasiswi.]
Elsa membulatkan matanya, Ramon mengajaknya kencan lagi? Apakah ini artinya perasaan anehnya terhadap sosok itu terbalas? Wajah Elsa memerah, kesedihannya benar-benar sirna tanpa bekas. Fokusnya hanya pada sosok Ramon, sosok yang benar-benar perpaduan sempurna sebagai laki-laki di mata Elsa.
[Koko nggak praktek emang? Jam berapa?]
Send.
Diajak keluar oleh sosok itu? Siapa yang tidak mau? Bagi Elsa, Ramon punya segala-galanya. Yang paling utama, dia punya profesi yang begitu Elsa inginkan, yang sampai kapanpun rasanya tidak akan bisa Elsa raih dan miliki. Membuat Elsa bisa langsung jatuh begitu dalam pada sosok itu seketika.
Ting!
[Jam tujuh malam gimana? Oke kan?]
Senyum Elsa kembali merekah, jam tujuh? Nggak masalah sih, belum terlalu malam kan?
[Ok, ketemu di mana, Ko?]
Send.
Ting!
[Koko jemput kerumah mu, boleh kan?]
Jemput kerumah? Ahh ... kenapa sekarang Elsa jadi ragu? Ramon seorang dokter, sudah mapan dan itu artinya dia dari kalangan berada bukan? Lantas kemudian apakah kondisi Elsa ini akan dapat dia mengerti?
Dalam artian Elsa bukan anak dari keluarga kaya, hanya dari keluarga sederhana. Apakah kemudian perbedaan strata sosial itu akan menjadi masalah? Elsa menghela nafas panjang, kenapa tiba-tiba ia menjadi begitu takut? Takut kehilangan, takut menerima kenyataan.
[Koko yakin mau kerumah?]
Send.
Elsa benar-benar risau, apakah setelah tahu semua tentang Elsa Ramon tidak adanya berubah, dia tetap sama seperti ini?
[Why not? Koko nggak masalah kok jemput sampai rumah, besok sharelock saja ya.]
Elsa kembali menghela nafas panjang, perasaan takut itu semakin mencengkram. Apa yang akan terjadi kemudian?