Di Mana?

1562 Kata
Angela turun dari mobilnya, ia menatap bangunan klinik tempat ia melahirkan dulu. Bangunan itu sudah tidak terawat karena memang sudah sejak lima tahun yang lalu klinik itu sudah berhenti beroperasi. Air matanya menitik, bagaimana bisa hal ini terjadi? Bagaimana bisa bayinya tertukar dengan entah bayi siapa itu. Memang dulu rumah sakit belum menerapkan gelang identitas pasien seperti sekarang. Jadi kemungkinan bayi tertukar itu nyata adanya. Berbeda dengan zaman sekarang gimana bayi lahir langsung dipasang gelang berisi identitas dan nomor RM sang ibu, jadi sangat tidak mungkin akan tertukar kecuali memang ada yang sengaja menukarnya. Angela menghela nafas panjang, sekarang kemana ia harus mencari data-data wanita yang melahirkan berbarengan bebarengan dirinya tujuh belas tahun yang lalu? Kemana dia harus mencarinya? Kemana ia harus mencari Puteri kandungnya? Angela terisak, ia duduk di bangku klinik yang sudah tampak begitu menyeramkan karena sudah tidak lagi terawat itu. Sebodoh amat ada makhluk halus di situ, Angela tidak peduli. Ia terisak sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan ketika kemudian sosok itu tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. "Ma ...," panggil Bram lirih, ia kemudian jongkok di hadapan sang mama yang tengah terisak itu. Angela mengangkat wajahnya, menatap anak nomor duanya itu dengan linangan air mata.Tampak mata Bram juga memerah, menatapnya dengan begitu lembut. Bram meraih tangan Angela dan meremasnya lembut. "Bukan hanya Mama yang syok, hancur, kecewa dengan kenyataan yang harus keluarga kita hadapi, papa, Ko Albert, Chris dan Bram sendiri pun sama, Ma."  "Ayolah, kita ambil sisi positifnya. Itu artinya bukan adik kandung Bram kan yang harus berjuang melawan kanker, kemungkinan dia sekarang sedang dalam keadaan sehat dan kita masih bisa berkumpul lebih lama ketika nanti kita menemukan dia, Ma." Angela menyusut air matanya. Ia menatap nanar Bram yang masih jongkok di hadapannya itu.  "Tapi kita mau cari dia kemana, Bram? Lihat klinik ini! Dimana kita bisa mencari petunjuk, data pasien yang melahirkan bersamaan dengan mama kalau kondisi kliniknya saja sudah seperti ini?" suara Angela terdengar parau. Bagaimana ia tidak pesimis? Satu-satunya kunci supaya dia bisa mencari dan menemukan Puteri kandungnya yang tertukar itu adalah klinik ini! Dan sekarang lihat, klinik ini sudah terbengkalai dan hendak rubuh, bagaimana kemudian Angela bisa mendapatkan titik terang keberadaan anak kandungnya? Apalagi di zaman dulu belum secanggih sekarang, teknologi belum semaju sekarang. Semua rekam medis masih manual pendataan dan penyimpanannya. Jadi kemungkinan besar data-data itu sudah hilang di musnahkan. Jadi bagaimana caranya ia mencari tahu siapa dan di mana keberadaan orang tua kandung Vanessa? Di mana keberadaan putri kandungnya itu? Di mana? Bramasta bangkit dan duduk di sisi Angela, ia kembali meraih dan meremas tangan sang mama dengan lembut, ia mencoba menguatkan wanita yang sudah melahirkannya ke dunia agar bisa tegar menerima kenyataan yang melukai batin mereka sekeluarga barusan. Bahwa ternyata, Vanessa yang selama ini mereka sayangi dan manjakan itu sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga Atmajaya. Gadis yang sekarang sedang berjuang melawan kanker darah stadium empat itu bukan siapa-siapa mereka. Pantas saja, tidak ada satupun dari mereka yang bisa mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Vanessa. Inilah jawabannya. "Ma, koneksi kita sekeluarga banyak, semua dari kalangan medis. Bahkan besan mama-papa pun juga sama, orang medis semuanya. Bukan hal yang sulit untuk kita cari tahu keberadaan adik kandung Bram, Ma. Cari tahu siapa orang tua kandung Vanessa, itu bukan hal yang sulit, ya meskipun nanti kita perlu waktu, namun percaya pada Bram bahwa kita akan menemukan dia dan berkumpul lagi bersamanya." Angela menatap Bram dengan seksama, ia mengangguk pelan dan kembali menyusut air matanya. Bram tersenyum, setidaknya benar bukan? Bukan hal yang sulit untuk mereka melakukan pencarian, hanya perlu bersabar saja. Dan Bram sendiri sudah bertekad akan berusaha menemukan di mana keberadaan adik kandungnya itu. "Kita pulang yuk, Ma. Ini sudah sore. Dan tempat ini tidak terlalu bagus di kunjungi saat sore hari." bisik Bram lirih. Kembali Angela hanya mengangguk, ia kemudian bangkit dan melangkah keluar dari koridor klinik itu. Bram membimbing mamanya masuk ke dalam mobilnya. Mereka bawa mobil sendiri-sendiri karena awalnya mereka tidak janjian akan kemari. Angela yang spontan pergi setelah sadar dari pingsannya karena mengetahui bahwa hasil tes DNA itu negatif, alias tidak ada kecocokan DNA antara dia dan Bastian dengan Vanessa. Bram langsung mengejar sang mama ia tahu betul pasti mamanya kemari, karena di tempat inilah semua kejadian ini bermula. Kejadian yang membuat mereka harus berpisah dengan anggota keluarga mereka karena kelalaian petugas yang membuat adik perempuan mereka tertukar di klinik ini. Mereka sudah pergi meninggalkan halaman klinik terbengkalai itu, di saat yang sama angin tiba-tiba menghempaskan pintu salah satu ruangan di dalam klinik, ruangan dengan banyak map-map berceceran dan berserakan di lantai. Salah satu map itu tertulis sebuah identitas. 'Ny. Anita Ernawati. 10-01-1981, RM - 397651.' ***  Bastian memijit pelipisnya dengan mata memerah, jadi benar Vanessa bukan anak kandungnya? Bukan juga anak kandung isterinya. Lantas dimana anak mereka? Di mana? d**a Bastian terasa sangat sesak luar biasa, ia sampai tidak mampu berkata-kata apapun lagi. Sementara Alber dan Chris terpekur di tempat mereka duduk. Mata mereka sama memerahnya, pikiran mereka juga kacau, sibuk menerka-nerka dimana keberadaan adik kandungnya itu. Di saat yang sama, iPhone Albert berdering, dari Bram. Chris dan Bastian kompak menatap Albert dengan seksama, membuat Albert meraih dan mengangkat panggilan itu sekaligus me-load speaker obrolan mereka. "Hallo, gimana? Mama ketemu?" tanya Albert dengan suara parau.  "Ketemu, Ko. Jangan khawatir. Aku sama mama perjalanan pulang." jawab suara dari seberang yang membuat semua yang ada di sana lega luar biasa. "Ketemu dimana?" "Klinik mama dulu melahirkan. Klinik itu sudah terbengkalai, Ko. Kondisinya memprihatinkan." Bastian dan menghela nafas panjang, ia tahu betul kenapa klinik itu berhenti beroperasi. Itu karena sang pemilik kehabisan dana operasional untuk klinik pelayanan kesehatan yang dulu menjadi andalan masyarakat karena tidak terlalu mahal biaya untuk berobat di sana bagi kalangan menengah kebawah. Bastian sempat ditawari untuk membeli klinik itu lima tahun yang lalu dan meneruskan operasionalnya. Namun dulu Bastian menolak karena ia sudah punya rumah sakitnya sendiri. Yang lebih besar dan lengkap tentunya. Kalau tahu akan terjadi hal seperti ini rasanya Bastian menyesal sudah menolak tawaran itu. Sekarang kemana ia akan mencari pengunjuk untuk menemukan puteri kandungnya? "Akses disana apakah terkunci, Bram?" tanya Bastian lirih. "Pintu depan klinik tentu, cuma beberapa jendela rusak sih tadi Bram lihat. Bram nggak sempat lihat-lihat ke bagian atau sudut lain, Pa. Sudah cukup sore dan tidak ada penerangan di sana." Bastian mengangguk, artinya satu-satunya kunci yang bisa ia minta tolong adalah Dokter Wisesa, pemilik klinik itu yang semenjak pensiun dan kliniknya tutup lima tahun yang lalu, ia sendiri tidak tahu bagaimana kabarnya. Semoga saja ia masih bisa bertemu dengan dokter senior itu, karena petunjuk untuk mencari keberadaan puterinya ada pada beliau. ***  [Bakalan banyak pasien dong kalau dokternya secantik kamu,] Elsa tersenyum membaca balasan pesan dari Ramon itu, wajahnya bersemu merah. Entah mengapa rasanya bahagia sekali meskipun hanya pesan singkat yang ia terima. [Tapi aku kan gagal jadi dokter, Ko. Nggak ada biaya dan nggak punya ijazah SMA.] Send! Elsa tersenyum getir, nyatanya seperti itu bukan? Kembali matanya berkaca-kaca. Sedih, kecewa, marah dan menyesal semua menyeruak jadi satu. Namun tiada guna ia menyesali semua ini, toh menangis atau mengamuk pun tidak serta merta kemudian membuat Elsa bisa kembali memutar waktu guna mengambil keputusan paling penting dalam hidupnya dulu bukan? Ting! Terdengar ada satu pesan masuk lagi, dari orang yang sama, Ramon Tanata. [Mau ku beri tahu bagiaman caranya supaya kamu tetap bisa dipanggil Bu Dokter?] Elsa mengerutkan keningnya, memang masih ada jalan untuk dia masuk ke fakultas kedokteran? Bagaimana caranya? Dia harus pakai suap? Tapi kan orang tua Elsa bukan orang mampu, itulah yang sejak awal mamanya katakan bukan? Bahwa mereka tidak mampu membiayai Elsa sekolah kedokteran? [Memang bagaimana, Ko?] Send! Elsa benar-benar dibuat penasaran, bagaimana caranya? Masih kah ada celah untuk dia lolos dan mewujudkan mimpinya? Bukankah undang-undang yang dibuat oleh Konsil Kedokteran Indonesia itu sudah begitu jelas mengatakan bahwa hanya anak SMA IPA yang diizinkan mendaftar dan masuk ke fakultas kedokteran? Ting! Kembali pesan itu masuk, membuat hati Elsa berbunga-bunga, kira-kira apa jawabannya? Ia harus melakukan apa supaya bisa masuk ke fakultas impiannya itu? [Cari suami dokter, nikah sama dokter, otomatis nanti tetangga kanan-kiri kan panggil kamu Bu Dokter!] Elsa melonggo sesaat, hingga kemudain tawanya pecah. Dasar menyebalkan! Ia pikir serius ada caranya, eh rupanya Elsa cuma kena prank? Dasar dokter satu ini memang sangat menggemaskan sekali! [Ah, kupikir benar-benar ada caranya, rupanya malah dikasih jalan ninja!] Send! Elsa masih berusaha menghentikan tawanya ketika pesan itu kembali masuk ke dalam ponselnya. [Besok kalau selesai ujian ketemu mau? Koko yang traktir deh nanti, kamu mau makan di mana?] Elsa tersenyum, dia mengajaknya ketemuan? Apakah ini artinya perasaan anehnya pada laki-laki itu terbalas? Perasaan gembira dan bahagia walau hanya mengingat namanya, wajahnya yang meskipun baru ia lihat dari foto dan jangan lupa perasaan excited ketika mendapat balasan pesan dari sosok itu. Apakah benar ia memberi feed back dengan perasaan yang sama seperti yang dia miliki? [Nggak ngerepotin nih? Koko emang nggak praktek?] Send! Elsa mencoba menekan semua perasaan anehnya, senyum diwajahnya tidak mau pergi dan jujur ia benar-benar sangat bahagia! Jatuh cinta itu apakah semudah dan semanis ini sih? Padahal Elsa belum pernah bertemu langsung dengannya, kenapa ia bisa langsung jatuh hati seperti ini? Ia sudah mengecek semua akun Ramon. Real account kok, buka fake account. Foto dan tag foto dari teman-teman sosok itu juga banyak, itu artinya dia tidak sedang menipu dengan membuat jati diri palsu kan? Elsa memejamkan matanya, kenapa rasanya ia begitu bahagia?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN