“Sampai kapan kita bakal muterin kota Samarinda Jack?” tanya Axel yang terlihat sedikit kesal.
Bagaimana tidak, di bawa muter-muter seharian tapi tidak di ajak makan sama Jackson.
Ya kali anak orang dibiarin kelaperan.
“Sampe Mai ketemu,” tegas Jackson.
“Stop di depan!” ujar Axel.
“Why? lo nggak mau bantuin gue lagi Xel?” ujar Jackson sedikit kecewa.
“Gue juga manusia Jecky ... lo mikir dong, ajak gue jalan keliling kita dari pagi buta sampe mau maghrib gini. Lah makan juga enggak, kurus kering gue jalan sama lo seharian. Udah ah ... gue mau makan dulu, isi amunisi. Elo yang patah hati gue yang jadi tumbal,” gerutu Axel lalu keluar dari mobil Jackson.
Jackson yang baru menyadari jika dirinya lupa memberi makan anak orang, hanya mampu mengulas senyum sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.
Dengan cepat pria itu segera keluar dari mobil menyusul Axel memasuki sebuah rumah makan sederhana.
“Mari masuk Mas, mau pesan apa?” tanya salah seorang kariawati di rumah makan tersebut.
Bukannya menjawab, Jackson hanya tersenyum kikuk.
Jackson mendekati Axel yang sudah duduk menunggu pesanan nya datang.
“Nggak makan lo?” Tanya Axel heran ketika Jackson hanya duduk termenung tanpa memesan sesuatu.
“Gue di sini makan enak, tapi Mai sama calon anak gue nggak tau makan apa enggak?” lirih Jackson.
“Gini ya Bro, elo patah hati, galau dan sejenis nya itu jangan b**o. Kalo lo nggak makan yang ada lo drop, Mai kagak ketemu elonya masuk rumah sakit.”
Telak.
Ucapan pria yang sedang menyilangkan kedua tangannya bersedekap di depan Jackson itu memang ada benarnya.
“Tap,-”
“Nggak ada tapi-tapian lagi, sudah lo makan sekarang!” potong Axel ketika makanan yang dibawakan oleh seorang embak-embak menuju ke mejanya datang.
“Terimakasih mbak,” kata Axel sambil mengedipkan matanya dengan genit.
Melihat tingkah temannya Jackson hanya menggeleng pelan.
“Yakin lo makan sebanyak itu Xel?” tanya Jackson heran.
“Diem lu. ini semua gara-gara elo sih,” gerutu Axel sambil manyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
.
.
Sementara itu Maita dan Omar saat ini sedang dalam perjalanan pulang menutup ke rumahnya.
Maita membuka galeri foto di ponselnya, menatap satu demi satu poto yang diambilkan oleh Omar ketika di area wisata kota tua di daerah Dandenongs tadi.
“Sudah senyum-senyum nya, kamu lihatin apaan sih?” tanya Omar sedikit melirik ke arah ponsel Maita.
“Foto yang kamu ambil tadi bagus semua, makasih ya ... aku seneng deh,” jelas Maita dengan wajah puasnya.
“Iya sama-sama, semua akan kulakukan demi kamu bisa bahagia,” cetus Omar tanpa memikirkan ucapannya.
“Hah ... maksud kamu apa?” tanya Maita bingung.
“Enggak ... aku hanya mau kamu hidup bahagia saja sekarang dan nanti, berjanjilah jangan pernah memutihkan air mata di hadapanku lagi,” ujar Omar.
“Iya aku janji. Aku akan berusaha menjadi lebih kuat demi anakku,” kata Maita sembari mengusap perutnya yang masih rata.
Namun dia meyakini bahwa di sana sudah ada kehidupan dari anaknya.
“Bagus ... aku senang jika kamu seperti itu, tidak sia-sia aku membawamu ke sini,” kata Omar.
Sementara itu Maita masih memikirkan apa tujuan utama Omar membawanya ke Melbourne.
Namun Maita belum berani menanyakan soal itu.
Dia hanya bisa menyimpan semua beban dan rasa ingin tahunya sendiri.
Mungkin dengan berjalannya waktu maka semua kerisauan dan rasa penasaran dirinya akan terjawab.
“Jangan lupa kita harus belanja dulu sebelum pulang,” kata Maita memperingati Omar.
“Kamu benar Carol, terimakasih sudah mengingatkan. Oh iya ... nanti kalo aku sudah mulai bekerja kita pergi periksa kandungan kamu ya?” tanya Omar.
Maita nampak menggigit bibir bawahnya.
“Tapi ... aku takut,” lirih Maita.
“Kenapa musti takut sih, aku–kan ada di samping kamu menemanimu nanti. Yah anggap saja aku ayah dari anak itu,” kata Omar.
Lagi-lagi perkataan Omar malah membuat Maita sedikit kesal.
Entah kenapa dia masih sangat berharap jika Jackson akan kembali kepadanya.
“Terserah kamu lah,” kata Maita pasrah.
“Nah gitu dong, kita harus berperan selayaknya pasangan pada umumnya. Kamu kan tahu kita tinggal di sini bersama. Yah ... meskipun kamu menolak aku tetap akan bilang jika kamu adalah pasanganku,” kata Omar sesuka hatinya.
“Hem ...,” jawab Maita singkat dengan penuh kekesalan.
“Oke sudah sampai, ayo kita belanja. Katanya tadi kamu mau beli persediaan makanan,” kata Omar.
“Iya ... aku turun.”
Mereka berdua berjalan menuju Mall untuk mencari bahan makanan.
Omar segera mengambil keranjang lalu mengikuti langkah Maita pergi.
“Kamu mah makan apa?” tanya Maita.
“Memangnya kamu bisa masak?” tanya Omar sedikit menaikkan sebelah alisnya.
“Entahlah, jika cuma masak air untuk bikin kopi bisa saja sih. Tapi kalo masak makanan terahir aku malah membakar dapur Bunda,” kata Maita dengan polosnya.
Omar hanya mengulas senyum tipis di bibirnya.
“Bisa gawat ini kalau aku biarkan dia masak sendiri,” kata Omar di dalam hatinya.
“Omar?”
“Omar ...?” kata Maita sedikit berteriak. Ternyata Omar masih tertinggal jauh di belakang. Sementara itu barang yang di taruh Maita ke dalam keranjang ternyata berjatuhan di lantai.
Semua itu karena ulah Omar yang entah melamunkan apa.
“Eh ... iya apa?” jawab Omar bingung.
Maita menaikkan dagunya menunjuk barang-barang yang berceceran di lantai.
“Ya Tuhan ... maafkan aku Caroll,” kata Omar segera memunguti satu persatu belanjaan yang ada di lantai.
Maita melanjutkan langkahnya.
Kakinya terhenti di dekat rak yang berisi s**u ibu hamil.
“Pilihlah, karena kamu sangat membutuhkan itu Carol!” kata Omar yang yang membuatnya sedikit tersentak karena tiba-tiba muncul tanpa bersuara.
“Kebiasaan deh, kamu beneran jelmaan Om jin kali ya?” sindir Maita.
“Bisa jadi, yah ... secara aku baik hati dan dermawan. Kamu mau apa saja pasti akan aku kabulkan,” kata Omar dengan begitu entengnya.
“Akan dikabulkan ya?” gumam Maita.
“Tentu saja,” jawab Omar penuh keyakinan.
“Jika aku meminta memutar waktu kembali, pasti kali ini tak akan bisa mengabulkan,” lirik Maita yang masih bisa di dengar oleh Omar.
“Wait, kalo yang satu itu sih sudah di luar kemampuan Keuangan Om Jin dong Carol, ya kali aku beneran keturunan raja Jin. Tapi emang ada ya Jin setampan aku begini,” celetuk Omar sambil melihat bayangan dirinya di depan etalase yang ada kacanya.
“Woah ... padahal aku ganteng gini, kenapa nggak ada yang mau ya,” gumam Omar.
Seolah dia sedang berbicara kepada bayangan dari pantulan cermin di hadapannya.
“Narsis banget sih,” sahut Maita.
“Excuse me,” kata serang yang tidak dikenal.
“Oh ... ya sorry,” jawab Maita.
Ternyata dirinya terlalu lama berdiri di depan rak susù.
Maita segera menyingkir dari tempatnya berdiri.
“Jadi kamu mau rasa apa?” tanya Omar.
Sampai saat ini Maita belum menentukan pilihannya.
“Aku mau yang coklat sama strawberry saja,” jelas Omar.
Omar segera mengambil dua kotak untuk Maita.
“Kita ke buah saja yuk!” ajak Omar.
“Aku mau buah mangga Muda,” kata Maita.
“Kita cari saja dulu, siapa tahu ada kan.”
Sayangnya buah yang sedang Maita inginkan tidak ada di sana.
“Yah ... kosong, kita pulang saja lah. Kua udah mulai capek,” keluh Maita.
“Oke. kita ke kasir,” ajak Omar.
.
.
Setelah sampai di rumah Omar segera menyuruh Maita beristirahat.
Sementara dirinya segera berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan mereka.
“Masak apa hari ini ya?” gumam Omar yang berada di dapur.
Maita yang sudah selesai dengan kegiatannya segera menyusul Omar.
Yah ... siapa tahu tenaganya diperlukan.
“Kamu mau masak apa?” tanya Maita.
“Eh ... kamu sudah selesai?” tanya Omar kemudian.
“Iya ... sini aku bantu potong sayurnya.” Maita segera meraih pisau dan mengambil wortel untuk dia kupas.
“Kita bikin omlete sayur sama macet saja ya. Aku capek banget,” jelas Omar.
“Oke siap,” jawab Maita.
Omar segera menyiapkan semua bahan yang akan digunakan.
Dia segera memakai celemek lalu segera mengikatkan dan bergaya seolah-olah dia adalah chef terkenal.
“Baiklah Ibu Caroll, menu kita,-”
“Aduh ...,” teriak Maita yang segera melempar pisau di tangannya.