Yura menepuk dahinya gusar saat menuju ruang menejernya. Baru saja tadi di showroom dia mempermalukan dirinya sendiri di dalam sana. Bukannya bersikap professional dan dewasa seperti yang selama ini dia perlihatkan, dia malah kembali lagi menjadi Yura yang ceroboh seperti dirinya saat berumur tujuh belas tahun!
Tapi memangnya apalagi yang bisa dia lakukan selain cepat - cepat pamit dan hengkang dari sana?! Berdiri di depannya, lebih superior, dan irresistable dari yang pernah Yura ingat, Bintang Ramada. Satu - satunya pria yang pernah mengisi hatinya dan juga… rahimnya.
Dia tak mempedulikan lagi panggilan pria itu dan juga Mbak Retno tadi. Diiringi tatapan bertanya dari staff yang lain, dia langsung bergegas meninggalkan showroom mebel tersebut.
“Ini saya terima untuk validasi. Nanti buku rekeningnya biar dikerjakan Trisha, kalau sudah selesai, nanti biar dikasih ke kamu dan kamu bisa antar ke sana lagi.”
Eh?! “S-saya, Bu?” Dia tergagap. Kenapa? Kenapa harus dia???
Menejernya menatapnya heran. “Ya kamu. Kan kamu yang hari ini assist gantiin Stevi. Harus sampai selesai. Nanti bonusnya kan kamu juga yang dapet.”
Baik. Dia memang butuh bagian bonusnya. Butuh sekali. Dia ingin membelikan Nael sepeda. Apa daya keutuhan lain masih amat banyak sehingga belum bisa terlaksana. Tapi kalau harus ke sana lagi dan bertemu…
“Baik, Bu. Saya permisi dulu.”
Lagian dia bisa apa selain menurut? Dia hanya pegawai kecil tanpa kuasa. Tapi sungguh, Kepalanya cenut - cenut memikirkan harus bagaimana kalau mereka akan bertemu lagi?
***
“Maa, peluknya kekencengan. Nael nggak bisa napas.” Protes pria kecilnya.
Sejak pulang tadi, dia memang terus - terusan memeluk putra semata wayangnya itu. Dia takut. Takut sekali. Setelah enam tahun bersembunyi dari semua orang yang mengenalnya, apakah sekarang pelariannya sudah berakhir?
Tidak, tidak boleh ada yang tahu tentang Nael. Dia tidak ingin berpisah dengan Nael nya. Meskipun bagaimana cara dia mendapatkan Nael bukanlah kenangan yang bagus dan bisa diceritakan dengan bangga, tapi dia benar - benar menyayangi putranya ini.
“Maa sayaang banget sama nael.” Katanya menciumi pipi gembul Nael. Tidak seperti anak - anak seusianya kebanyakan yang jengah dengan kasih sayang orang tuanyaa, Nael berbeda. Dia tidak pernah malu di ciumnya di depan teman - temannya. Hanya saja, kadang dia tau diri untuk tidak membebani Nael terlalu banyak.
“Nael juga sayang sama Maa.”
Dia kemudian menanyakan hari Nael bersama teman - temannya hari ini yang di sambut dengan cerita penuh semangat dari putra semata wayangnya.
Melihat Nael tumbuh ceria seperti ini membuatnya bahagia. Saat putranya ini lahir dulu, sendirian, ketakutan, dia tak yakin apa yang harus dilakukannya untuk menghidupi kehidupan mungil tak berdaya yang akan dia lahirkan. Saat itu, dia hanyalah seorang mahasiswa semester dua sebuah universitas terbuka yang juga bekerja sebagai admin mebel.
Dia hanya beruntung karena tidak ada hal buruk terjadi padanya di sini selama dia hamil. Walaupun dia tahu banyak nyinyiran menyakitkan dan omongan tak sedap tentang dia yang masih muda, hamil besar dan sendirian di tempat rantau, dia tak peduli.
Semua kesakitan dan kepayahan dilaluinya seorang diri, tak ada yang tahu, tak ada yang membantu. Dia menjalin relasi, hanya tidak cukup dekat untuk hal - hal yang sifatnya amat pribadi. Dia juga tak ingin temannya, siapapun yang dekat dengannya mendadak memiliki citra buruk hanya karena bergaul dengannya.
“Sudah malam. Nael bobo, yuk. Biar besok nggak kesiangan.”
“Maa juga bobo.”
Dia mengangguk. Mengecup puncak kepala Nael, membenarkan letak selimutnya dan beranjak untuk mematikan lampu kamar.
Tapi matanya terus saja nyalang. Sekarang ingatannya malah kembali pada malam laknat itu. Atau seharusnya dia tidak menyebutnya laknat? Karena dari malam itulah dia memiliki Nael sekarang. Tapi karena malam itu pula dia jadi tak punya keluarga, sebatang kara seperti sekarang ini juga.
Pusing! Dia tidak bisa memutuskan.
Flashback
Mungkin dia pingsan. Atau mungkin hanya tertidur?
Dia hanya mengingat tentang sengatan rasa sakit yang seperti membelah jiwanya, dan saat dia mencoba mendorong Mada, pria itu malah semakin menekan tubuhnya ke arah Yura, membuat rasa sakit yang dirasakan Yura semakin tak tertahankan. Dan itu adalah hal terakhir yang dia ingat sebelum kegelapan menguasainya.
Saat membuka matanya kembali, dia tahu, bahwa dirinya tak sama lagi. Bahwa ada sesuatu yang amat berharga yang seharusnya tak diambil Mada kini telah hilang dari dirinya. Air matanya jatuh. Tapi untuk apa? Penyesalan? Semua sudah terjadi. Waktu tak bisa diulang.
Dia beringsut turun dari ranjangnya, takut - takut kalau dia membangunkan pemuda yang sepertinya tertidur dengan amat pulas di sebelahnya. Takut, kalau hal serupa semalam akan terulang lagi.
Dia bangun, memakai baju seadanya sambil menahan isakan dan segera keluar dari kamarnya sendiri untuk bergegas ke kamar mandi. Bahkan rasa ngilu di antara kedua kakinya masih jelas terasa. Semalam bukan mimpi. Kalau ada yang bilang mimpu buruk… Bullsh*t! Mimpi buruk akan berakhir setelah bangun, tapi yang menimpanya masih tetap akan berlangsung sekalipun dia bangun.
Dia mengendap menuju kamar mandi. Dari jam dinding di ruang makan, dia tahu bahwa sekarang pukul setengah empat pagi. Biasanya dia tak pernah terbangun jam segini. Mungkin Tuhan sengaja membangunkannya untuk memberinya kesempatan bertobat atas apa yang dilakukannya semalam.
Dia tahu gaya berpacaran Ramada dan kakaknya. Bermesraan, ciuman, dan mungkin berhubungan badan bukan hal yang asing untuk mereka. Tapi dia bukan kakaknya. Dan walaupun dia mencintai Ramada, dia tak mau menggantikan posisi kakaknya di bawah tubuh pemuda itu. Dia masih amat waras, kepala dan otaknya juga berfungsi dengan baik. Dia punya patokan mana yang benar dan mana yang salah.
Dia mengguyur dan menggosok kuat - kuat badannya di kamar mandi. Merasa kotor karena sentuhan Ramada. Rasanya saat ini dia amat marah pada pemuda tersebut. Pemuda yang dicintainya, tega sekali melakukan hal ini padanya. Dia perempuan baik - baik. Kenapa dia yang harus diperlakukan seperti ini. Dia mencintai Ramada dengan cara yang baik. Tidak diumbar dan hanya membisikkannya lewat doa - doa pada sang pencipta. Kenapa balasannya sepeti ini?
Dia kembali ke kamar dengan mengendap - endap untuk ibadah paginya, setelah selesai, dia kemudian langsung bergegas pergi ke sekolah meskipun jam belum genap menunjukkan angka enam. Dia tidak bisa, tidak mau, kalau harus berinteraksi dengan Ramada jika nanti pemuda itu terbangun. Dia belum siap.
Flashback end
Dia terbangun lagi pada pukul dua dini hari karena kaget. Mimpi lain tentang masa lalu. Tapi kali ini terasa lebih nyata dari kapan pun selama enam tahun terakhir. Rasa sakit yang terasa di antara kedua kakinya, tusukan perih di dadanya, semuanya terasa nyata seperti malam itu.
“Astaghfirullah…” Bisiknya pelan dengan suara gemetaran.
Dia bangun, menuangkan segelas air putih yang selalu dia siapkan di meja kecil di samping tempat tidurnya dengan tangan gemetaran. Dia selalu menyiapkan sebotol air putih dan gelas di sana karena kadang Nael terbangun dan minta minum. Siapa yang menyangka kali ini dialah yang membutuhkannya. Dia meneguk air putuhnya dengan rakus, seolah - olah segelas benda cair itu adalah satu - satunya penolongnya.
Badannya masih gemetaran, takut. Dia takut sekali.
“Ya Tuhan, aku harus bagaimana lagi? Apa aku harus pergi lagi kali ini?” Dia berbisik kalut.
PS:
Maaf, yaa update nya lama ?