Semalaman setelah kepulangan Ramada dari kontrakannya, Yura tak bisa tidur. Dia merasa gelisah. Ramada memang tak berkata apapun setelah ngobrol dengan Naell dan mengungkap kebohongan Yura tentang umur bocah tersebut tadi. Sesuai apa yang dikatakannya pada Yura sebelumnya, Ramada langsung pamit pulang setelah bertemu dengan Nael.
Meskipun begitu, Yura nggak bisa mengabaikan begitu saja tatapan mata Ramada yang ditujukan padanya sebelum pria itu menghilang di balik pintu rumahnya. Tatapan menegur dan penuh tanya yang kini menghantui Yura.
Dia bangkit dari ranjang saat mendengar adzan subuh berkumandang dari masjid di dekat kompleks rumah kontrakannya. Ditemani oleh suara muadzin yang terdengar bersemangat mengajak umat untuk tetap bersemangat menunaikan ibadah di pagi yang dingin ini, Yura memutuskan untuk mandi. Mungkin keramas bisa sedikit menyegarkan dan menghilangkan kepala penatnya, begitu pikirnya.
Selepas mandi, merasa dingin tapi sedikit segar, Yura segera melaksanakan rutinitas paginya. Setelah selesai, dia menuju dapur untuk menanak nasi. Kemudian setelah ya, dia mengangkat ember berisi pakaian basahnya dan Nael, yang tadi sekalian dicucinya saat mandi, untuk dijemur keluar.
"Walah Mbak Yura. Lama sendirian, sekalinya diapelin semalam, paginya langsung keramas aja."
Yura kaget mendengar sebuah suara menyapa dengan nada agak sumbang dari belakangnya.
Rupanya salah satu tetangga dekat situ, mungkin habis pulang dari beli sesuatu di toko kelontong di ujung gang, karena dia menenteng plastik kresek biru di satu tangan, dan tangan lainnya bersandar, menahan tubuhnya di pagar rumahnya.
"Bu Ris." Sapanya kikuk sambil memegangi handuk yang melilit kepalanya dengan linglung.
"Ndak lupa pengaman, tho, Nael baru aja lima tahun loh. Emang udah pantes sih punya adek. Tapi kalo ngurus sendirian sambil kerja, percaya deh, sama saya, repot!"
Yura bengong di sana. Mulutnya terbuka dan tertutup tapi tak ada suara yang keluar. Tiba - tiba suara lain menimpali dari sebelah kanan.
"Bu Ris kok tumben mampir ngobrol sama Yura."
Mak iah!
"Ini loh, Mak. Ngingetin Mbak Yura buat pake pengaman. Setelah sendirian bertahun - tahun, semalem ada yang datang, eh paginya langsung mandi besar!"
"Nggak mandi be…"
"Oalah, iya tho." Penjelasanya terpotong oleh nada suara dan lirikan mata Mak Iah yang tak bersahabat. "Pantesan dulu nggak mau ya, Bu, pas ditawarin sama anakku. Maunya sama yang pake mobil bagus."
"Astaghfirullah…."
***
"Maa? Maa kenapa?".
Yura buru - buru menyeka wajahnya yang basah dan mengulas senyum saat suara Niel yang masih mengantuk terdengar keluar dari kamar
"Halo, jagoan, Maa. Selamat pagi." Yura menghampiri Niel lalu berjongkok di depan putranya itu, menyamakan tinggi. "Mandi dulu ya. Hari ini kita sarapan soto aja yuk, di tempat Mbak Iyo?"
Mendengar ibunya mengajaknya sarapan di warung soto kesukaannya, wajah Narl langsung berseri. Hanya butuh senyuman dua belas jari Nael untuk mengembalikan mood Yura yang hancur berantakan hari ini dibuat oleh ibu - ibu kompleksnya.
Sudah nggak bisa tidur semalaman, sekarang masih dibiarkan nggak tenang dengan berbagai gosip miring. Memang hidup sebagai wanita lajang itu susah. Ada beberapa teman kantornya yang pernikahannya tak berjalan mulus dan harus kandas di tengah jalan, ada juga beberapa temannya yang sudah cukup matang tapi belum juga bertemu jodoh. Saat mereka berkeluh kesah, Yura dapat memahami posisi mereka. Dia bukan janda, tapi bukan lajang juga. Tapi apa yang dirasakannya, kurang lebih sama.
"Ya udah, Nael mandi ya. Nanti makan siangnya kita beli lauk di tempat…."
"Mbak Tumi!"
"Iyaa iyaa, nangi kita beli lauknya di tempat Mbak Tumi."
"Nael boleh milih sendiri? Dua?" Tanyanya dengan wajah penuh harap sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya menunjukkan angka dua.
"Lauknya Nael boleh pilih, tapi sayurnya Maa yang pilih."
Nael langsung cemberut. Tapi nggak membantah. Dia tahu bahwa itu adalah tawaran paling bagus yang diberikan oleh Ibunya. Jadi dia langsung berbalik menuju kamar mandi kecil di sudut rumah.
Setelah pintu kamar mandi tertutup, senyum di wajahnya perlahan surut. Digantikan oleh mendung yang tadi. Sembari menyendokkan nasi ke dua wadah bekal berbeda yang akan dibawa masing - masih oleh Yura dan Nael, ingatannya kembali lagi pada kejadian tadi pagi.
Mak Iah dan Bu Ris yang membicarakan tentangnya seolah dia nggak ada di sana. Tentang spekulasi Yura yang mereka pikir adalah simpanan om - om kaya. Sementara di sana, dia hanya berdiri kaku tak bisa membela diri. Dia langsung masuk begitu pekerjannya selesai.
Mungkin setelah ini akan ada spekulasi tentang siapa sebenarnya Ayah Nael. Dulu waktu awal dia pindah ke sini sekitar tiga setengah tahun lalu, topik ini sudah pernah terangkat. Orang - orang yang kelewat penasaran dengan urusan orang lain sering sekali lewat di depan rumah sambil bertanya di mana Papa Nael. Yura tak pernah menjawab. Lagipula, mau dijawab bagaimana? Papa Nael sudah menikah dengan Tante Nael?!
Karena tak pernah terjawab itu, spekulasi tentang status Yura dan Nael pun selalu menjadi perbincangan hangat di kompleks. Untungnya, Nael tidak bermain dengan anak - anak kompleks. Sampai tahun kemarin, dia bekerja double job, jado Nael selalu dia titipkan pada tempat penitipan anak. Baru beberapa bulan ini setelah dia naik jabatan dan gajinya jadi agak lumayan, dia berhenti dari pekerjaan sampingannya. Hanya kadang saja kalau rame dia ikut membantu merangkai bunga di florist yang terletak di tengah kota.
Saat di rumah, Niel pun jarang main keluar. Dia lebih suka bermanja dengan Yura. Untungnya.
"Maa? Baju Niel belum siap?"
Yura tersentak, lalu buru - buru memasukkan kotak bekal yang sudah berisi nasi tersebut ke masing - masing tas, dan bergegas ke dalam kamar.
"Pakai ini ya." Tawarnya.
Nael sudah semakin besar. Sudah bisa memilih ingin tampil seperti apa, ingin pakai baju apa, jadi dia selalu bertanya pada putranya itu sebelum menyiapkan bajunya. Biasanya sebelum mandi. Tadi nggak sempat.
Untungnya, Nael langsung setuju. Bersamaan dengan Nael bersiap, dia pun ganti baju. Dia nggak dandan tipis saja. Hanya bedak, alis dan lipcream. Mungkin di antara semua pegawai bank, hanya dia yang dandanannya paling…. Simple. Untungnya atasannya tak pernah komplain.
Sebentar kemudian, kedua ibu dan anak itu pun siap. Yura meraih kunci motor di atas meja dan memakaikan helm Nael.
"Nanti kalo diluar ada yang nyapa, senyum aja ya. Kalau ada yang nanya…"
"Senyum aja, nggak usah dijawab nggak usah didengerin."
Nael melanjutkan perkataannya ibunya yang tidak selesai, membuat Yura gemas hingga mencubit pipi gembil Nael.
"Pinter anaknya Maa."
Sebenarnya, itu buka. Ajaran yang bagus. Tapi, dialah yang paling bertanggungjawab atas Nael. Kesehatan mental, dan batin. Jadi, dia meminta Narl untuk tidak mendengar apapun yang orang - orang di sini katakan tentang mereka. Demi menjaga kesopanan, dia meminta Nael untuk hanya membalas dengan senyuman saja.
Mungkin sudah saatnya dia pindah. Lagipula, Ramada juga sekarang tau tempat ini. Tapi untuk pindah kontrakan, dia belum ada biaya. Biaya tahunan rumah ini begitu terjangkau, dia bisa sekalian nabung. Hanya saja, lingkungannya bikin istighfar terus.
Yura menoleh ke bawah saat Nael menarik ujung roknya, meminta atensi.
"Ya, Sayang?"
"Om yang tadi malem itu, siapanya Maa?"