Hari senin setelah long weekend itu layaknya medan perang antara hidup dan mati bagi pegawai bank seperti dirinya. Sejak buka jam delapan tepat pagi tadi, dia sama sekali belum istirahat. Denting bel diikuti suara statis terus terdengar menggema di aula Bak tempatnya bekerja. Jam istirahat sudah berlalu, tapi dia masih belum bisa beranjak meninggalkan postnya. Masih nanggung dan agak membuat sesak napas melihat antrian yang masih saja panjang, padahal dari pagi, sudah nggak terhitung nasabah yang sudah dia dan teman - teman CS serta teller layani.
Sebagai CS salah satu bank BUMN, ini adalah tahun ke tiganya bergabung di perusahan ini, dan tentu saja pemandangan ini sama sekali sudah nggak asing lagi. Ada saja masalah teknis yang mengharuskan nasabah datang dan mengantri ke CS setiap harinya. Dan jumlahnya akan membludak sepuluh kali lipat setiap kali habis long weekend. Seperti sudah jadi keharusan teknis untuk main ke bank membawa sederet keluhan setelah long weekend.
“Yura nggak istirahat?” Jeffry, temannya sesama CS berbisik mengetuk pembatas meja mereka yang hanya sebatas leher.
Dia mendongak, melihat semua post CS yang tadi masih bolong - bolong kini sudah terisi penuh lagi. Formasinya sudah kembali komplet. Tanda bahwa teman - temannya yang tadi bergantian mengambil break sudah kembali ke post masing - masing.
“Abis ini deh. Aku mau dhuhur dulu.” Jawabnya pelan. Merasa nggak enak kalau sampai percakapan mereka terdengar oleh para nasabah.
Memang hal yang wajar untuk istirahat. Tapi kadang dia nggak enak sendiri kalau mendengar ada yang ngedumel di belakang bilang bahwa pelayanan CS di bank mereka itu lelet, dan mereka harus mengantri amat lama untuk menyelesaikan permasalahan mereka.
“Silakan Ibu, coba dimasukkan pinnya yang baru.” Katanya ramah pada nasabah perempuan yang duduk di kursi di depannya. Dia mengeluhkan lupa pin nya dan mencoba memasukkan pin nya hingga tiga kali sehingga ATM nya terblokir.
"Ini terserah saya, Mbak?" Tanyanya.
Yura tersenyum mengiyakan. "Betul sekali, Ibu. Enam digit ya." Dia menunggu sampai Ibu itu selesai memasukkan pin atm nya. Sekali lagi silakan.” Katanya sambil mengemasi buku tabungan, kartu identitas dan kartu atm nasabahnya, memberikannya kembali dengan senyum ramah. “Ini sudah selesai ya Ibu, boleh di coba di atm di luar. Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Makasih ya Mbak… Yura.”
Setelah nasabah tersebut berlalu, dia membalik papan nama yang menunjukkan namanya menjadi ‘next counter please’ dan beranjak dari kursinya untuk menuju pantry dan musholla. Makan siang? Dia kurang suka makan sendiri. Paling nanti dia akan membuat teh atau kopi atau minuman sereal untuk mengisi perutnya setelah menunaikan ibadahnya.
Di Musholla kecil di basement kantornya itu masih ada beberapa rekan kerjanya sesama front liner, di bagian teller, baru saja selesai melakukan ibadahnya.
“Kak Yura. Baru ambil break?” Sapa salah satu dari mereka. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Mau makan bareng sekalian?” Mereka menawari.
“Kalian duluan aja, deh. Antrian ku masih ngeri banget. Aku makan di pantry aja.” Alasannya.
“Oke deh. Kami duluan, Kak. Dadaah.”
Dia membalas lambaian bocah - bocah itu. Bukan mau sok tua, tapi mereka memang masih bocah, Rata - rata dari mereka adalah lulusan tahun lalu. Sedangkan dia… aduh, jangan bahas umur. Dia insecure.
***
Seperti yang sudah - sudah dan seperti prediksinya dan juga teman - temannya sejawatnya, mereka lanjut terus sampai jam kerja mereka hari itu berakhir dan operasional bank tutup. Kalau ada yang mengira pekerjaannya selesai sampai di situ saja… maaf, kalian salah. Dia masih harus menyelesaikan input data dan laporan harian yang nggak sempat mereka sentuh sama sekali tadi.
"Finally!" Desahnya lega setelah semua data bagiannya terinput. Setelahnya dia langsung mengemasi barang - barangnya dan beranjak dari meja kerjanya. "Semuanya, duluan ya…" katanya melbai berpamitan.
"Sampe besok!"
"Sampe besok, Kak!"
Dia berjalan ke parkiran khusus karyawan, menghampiri motor matic yang selama ini menjadi teman seperjalanannya. Dia sudah memakai helm dan menyalakan mesin saat ponselnya berbunyi.
Nama Nael tertera di sana.
Senyum lebar langsung mengembang di bibirnya.
"Ya, Sayang?"
"Maa, masih lembur, ya? Nael udah sendirian di sini. Kasian Kak Arum mau pulang nggak bisa."
"Ini Maa udah mau jalan kok. Kamu kemas - kemas ya, nanti Maa dateng kita langsung pulang."
"Siap, Bos. Maa jalannya ati - ati ya. Sampai ketemu."
Dia masih tersenyum lebar saat panggilannya terputus. Nael yang amat dewasa dan bisa diandalkan. Dia terlalu beruntung punya Nael. Perlahan senyumnya berubah kecut. Yah, bagian itu dia amat beruntung, tapi bagian lainnya, dia buntung luar biasa.
Di kota kecil ini nggak mengenal kemacetan. Lampu merah juga hanya ada beberapa di pusat kota, sehingga tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai di tempat yang ditujunya.
"Mbak Yura udah dateng." Sapa seorang gadis muda dengan wajah keibuan di depan.
"Maaf Mbak Arum, biasa abis long weekend. Nael udah siap?"
"Udah kok, mari masuk dulu."
"Nggak usah repot - repot, Mbak. Kami langsung aja, biar Mbak Arum juga nggak kemaleman kalau pulang."
"Maaa!"
"Hai Sayang!" Dia berjongkok menyamakan tinggi dengan bocah yang beberapa waktu lalu genap berumur lima tahun itu. "Udah siap pulang?"
Kepala dengan rambut lurus pendek itu mengangguk dengan wajah yang antusias. Wajah yang amat mirip dengan seseorang yang tidak ingin diingatnya dari masa lalu. Tapi dia bisa apa? Sepertinya, dia memang harus mengeraskan hati karena semakin hari, darah dagingnya ini tumbuh semakin mirip dengannya.
"Kami permisi, Mbak Arum. Maaf ya, hari ini juga merepotkan."
***
Mereka sampai di kontrakan kecilnya sekitar lima belas menit kemudian. Jarak tempuh di sini memang terbilang singkat - singkat karena kotanya tidak terlalu luas, dan jalanan cenderung sepi setelah matahari terbenam. Dia baru saja akan masuk mengikuti Nael yang sudah lebih dulu, saat namanya dipanggil.
"Yura!"
Itu Mak Iah, tetangga kontrakannya, dia hidup bersama putra bungsunya, Kak Ali, di sana. Sebenarnya Yura kurang sreg dengan beliau, tapi demi sopan santun, Mak Iah jauh lebih tua dan walaupun menyebalkan, kadang beliau bersedia membantunya, dia tetap berada di sana menjawab panggilannya.
"Mak Iah, ada yang bisa Yura bantu?"
"Tadi ada Pak RT keliling anterin ini." Dia memberikan selembar kertas dengan logo desa dan stempelnya di sana. "Rondanya mau diaktifkan lagi. Tapi kamu gimana ya, Yura? Kamu kan nggak ada suami, Nael juga kan masih kecil, nggak mungkin bisa gantiin. Tadi Mak lupa nanya sih, kalo yang kaya kamu harus gimana."
Yura meringis. Giginya bergeretak mendengar perkataan Mak Iah, tapi dia tidak bisa membalas apa - apa.
"Nggak papa, Mak. Makasih ya."
"Iya, sama - sama. Kamu sih, kalo aja nggak nolak lamaran Ali dulu."