Seulas senyum bermekaran menghiasi wajah Giani hanya karena wanita itu mendengar tawa yang sengaja ditahan milik kedua anaknya, ketika Giani akan membuka mata. Rasa nyaman yang Giani dapatkan dan Giani yakini karena tidur yang baru dijalani, makin berkali lipat hanya karena mendengar kebahagiaan anak-anaknya tersebut.
Anak-anak, ya, kalau sudah sama papahnya pasti selalu heboh, pikir Giani seiring hatinya yang menjadi berbunga-bunga. Giani sengaja menoleh ke sumber suara, nyaris menyapa anak-anak sekaligus sosok yang ia yakini Adi selaku sumber penyebab kebahagiaan anak-anaknya, dengan mesra. Hanya saja, mendapati sosok yang ia yakini sebagai Adi justru sesosok berpunggung tinggi tak setegap milik Adi, sosok yang juga mencepol rapi rambut panjangnya, kenyataan tersebut langsung meluruhkan kebahagiaan Giani yang justru digantikan kegamangan tak berkesudahan.
Itu Rarendra .... Batin Giani bergejolak. Bukan lagi Adi, melainkan orang lain. Semuanya telah berubah khususnya keadaan mereka. Tak ada lagi Adi, tak ada lagi suami. Yang tersisa hanyalah kenangan dan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Karena setidaknya, meski hubungan Giani dan Adi hanya ada di masa lalu, tidak dengan anak-anak mereka. Masih ada Adi dalam kehidupan anak mereka, meski kini, hadirnya Adi tak ubahnya harapan semu yang lebih sering membuat Giani menelan kecewa. Harapan semu yang juga memaksa Giani bersandiwara di depan anak-anaknya. Agar Giani tetap bisa menjaga perasaan sekaligus mental anak-anaknya.
Ya ampun, Gi. Jangan nangis. Hati kecil Giani menasehati. Kamu harus lebih kuat. Giani masih sibuk menguatkan dirinya sendiri. Entah sudah berapa lama ia tidur hingga Rarendra mengambil alih tugasnya dalam menjaga Gio dan Gia. Tugas yang biasanya diambil alih oleh Adi, meski sebenarnya Adi juga jarang melakukannya karena pria itu yang memang jarang pulang.
Rarendra tengah menyuapi Gio dan Gia bubur. Iya, bubur, makanan kesukaan Rarendra yang juga menjadi makanan yang paling Sasmita benci, di muka bumi ini. Kenyataan tersebut terjadi karena bubur akan membuat Sasmita teringat pada Rarendra, berikut kisah mereka sebelum akhirnya Sasmita menikah dan hidup bahagia dengan Leon. Giani tahu itu karena Sasmita sahabatnya, telah menceritakan semuanya.
Pada dasarnya, Rarendra merupakan pria yang baik, sabar, sekaligus penyayang. Namun dulu, pria yang telah membantu Giani dan kini tengah menorehkan kebahagiaan pada Gia dan Gio, merupakan pria tak punya pendirian, pria yang tidak bisa tegas yang juga telah berulang kali membuat Sasmita kecewa. Namun, jika melihat Rarendra yang sekarang, sepertinya pria itu benar-benar sudah berubah. Giani melihat usaha Rarendra dalam membangun kehidupan baru menjadi sosok yang lebih baik lagi, selain Giani yang merasa sangat prihatin pada keadaan Rarendra yang terlihat jelas sengaja menghukum diri sendiri. Lihat saja penampilan Rarendra yang sampai membuat Giani sempat tidak bisa mengenalinya. Penampilan Rarendra yang sekarang sangat berbeda dari Rarendra yang dulu, benar-benar tidak terawat.
Setelah menyeka tuntas air matanya, Giani berangsur duduk. “Ren, kamu enggak kerja? Jam berapa ini?” ucapnya yang akhirnya berhasil duduk. “Kalau kamu mau kerja, ya sudah kamu berangkat. Sudah siang juga, kan?” Giani berangsur menepi tanpa bisa benar-benar pergi karena pergelangan tangan kirinya masih terhubung dengan selang infus. Ia dapati dari salah jendela ruang keberadaannya yang dibuka, suasana luar sudah terang, Giani yakin kini sudah sekitar pukul enam pagi.
“Mamah?” seru Gia sangat ceria. Sebuah kenyataan yang sudah sangat Giani rindu, senyum ceria anak-anaknya, alasannya bertahan sekaligus berjuang.
“Mmm ....“ Gio yang baru menerima suapan Rarendra hanya menahan senyum sambil menatap sang mamah ceria.
Giani refleks tersenyum memandang wajah anak-anaknya silih berganti di antara rasa syukur yang tak hentinya ia lantunkan dalam hati.
Dalam diamnya, diam-diam Rarendra menatap lama Giani. Ia tak mendapati semangat hidup berarti dari Giani. Belum banyak perubahan selain kebahagiaan yang murni lahir karena Giani melihat keceriaan Gio dan Gia. Sementara ketika Rarendra melihat bantal yang sempat Giani pakai, di sana terdapat banyak rambut rontok. Rambut Giani rontok parah.
“Hari ini aku izin, Gi. Aku sengaja enggak masuk kerja meski memang ada beberapa pekerjaan yang harus tetap aku kerjakan dan harus aku setorin tepat waktu lewat email.” Rarendra merasa canggung, bingung bagaimana cara merangkul Giani. Ia sungguh tulus membantu Giani, ia ingin memperjuangkan kebahagiaan Giani khususnya anak-anak Giani. Namun, masa lalunya yang pernah gagal dan sampai membuat Sasmita hancur, seolah menjadi jurang kemustahilan. Rarendra merasa malu, takut niat baiknya justru menjadi lelucon bagi mereka yang mengetahui masa lalu Rarendra, tanpa terkecuali bagi Giani.
“Ren, kamu kenapa? Kalau memang kamu enggak bisa, jangan dipaksa. Aku bisa, kok.” Giani menatap khawatir Rarendra yang justru terlihat kebingungan selain Rarendra yang menjadi pucat berkeringat.
“Gi, begini ....” Rarendra menyuapi Gia lebih dulu sebelum ia kembali menatap Giani yang duduk di ranjang rawat sebelah. Jarak mereka tak kurang dari dua meter.
“Aku tahu aku bukan orang baik, aku punya masa lalu buruk dan sampai sekarang pun aku belum bisa jadi orang baik. Aku masih berjuang untuk memperbaiki hidupku.”
“Ren, kenapa kamu ngomong begitu? Ada masalah?”
Rarendra menghela napas dalam, menyikapi Giani lebih serius. “Move on, Gi. Kamu harus bangkit, kamu harus jaga kewarasan kamu. Jangan sampai, niatmu bercerai untuk kebahagiaan anak-anak kamu, justru jadi kebalikannya.”
Giani terdiam sedih, merasa tertampar dengan apa yang Rarendra tegaskan. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan kesedihan berikut tangisnya, khususnya dari kedua anaknya.
“Kamu sudah melukai diri kamu, padahal kamu sadar, enggak ada yang lebih baik dari kamu dalam mengurus anak-anak kamu, bahkan itu Adi. Alasan Adi mengatakan Isty lebih baik karena Adi sadar, selama ini kamu sudah melakukan yang terbaik dan Adi ingin kamu menyerah.” Rarendra masih meyakinkan Giani sambil terus menyuapi Gio dan Gia yang turut menyimak tapi kedua bocah itu terlihat tidak mengerti.
“Sekarang begini, rawat diri kamu. Lihat kamu begini sudah bikin semuanya langsung berasumsi, kamu enggak pernah merawat diri. Sebagai pria yang pernah menjadi suamimu dan juga menjadi penyebabnya, Adi sudah gagal.”
“Selama ini kamu enggak pernah benar-benar bahagia padahal yang terpenting dalam hidup itu kewarasan, Gi. Kewarasan yang bikin kamu bahagia dan bisa bikin kamu membahagiakan orang-orang yang kamu sayang.”
“Sekarang, rawat diri kamu, hiduplah dengan bahagia. Hubungi Sasmita, ceritakan semuanya agar kamu lega. Kamu butuh tempat berbagi. Jangan ada yang ditutup-tutupi, demi kebaikan kamu dan anak-anak kamu.”
“Tunjukan pada Adi, kamu bisa. Kamu bisa jauh lebih bahagia tanpa harus berharap padanya. Tunjukan pada Adi cara yang benar dalam mendidik sekaligus membahagiakan anak-anak. Buat Adi menyesal dengan kebahagiaan sekaligus kesuksesan kamu.”
“Enggak sepantasnya kamu menghukum diri kamu. Kamu enggak salah, yang salah itu Adi. Lihat Sasmita, kamu harus mencontoh dia.”
“Habis ini kamu mandi. Jadwal pemeriksaan anak-anak sekitar pukul sembilan, setelah itu kita jalan-jalan.”
“Hore, jalan-jalan!” sorak Gio diikuti juga oleh Gia.
Rarendra langsung tersenyum ceria mendapati kenyataan tersebut. “Habis makan kalian juga mandi, ya.”
“Iya, Om.” Gia dan Gio kembali kompak menjawab dengan ceria.
Diam-diam Giani melirik Rarendra, pria itu dengan cepat akrab sekaligus dekat dengan anak-anaknya. Mungkin karena selain Rarendra yang memang memiliki jiwa penyayang, kehadiran Rarendra dalam kehidupan Gio dan Gia membuat keduanya merasakan kehadiran sosok seorang ayah.
***
Gio dan Gia sudah menjalani pemeriksaan dengan hasil yang alhamdullilah, aman. Semuanya baik-baik saja meski mungkin kedua bocah itu juga tetap akan merasakan trauma.
“Kemari,” ujar Rarendra yang langsung menangkap tubuh Gio. Tak tega rasanya melihat Gio berlarian tanpa digendong menelusuri lorong rumah sakit, apalagi Gia juga sudah diemban Giani.
Mereka hendak pulang, tapi sebelum itu seperti jadwal, mereka akan jalan-jalan lebih dulu.
“Kalau anak-anakku sehat, pasti mereka seumuran Gio sama Gia karena yang terakhir saja juga seumuran Gia,” ucap Rarendra sambil mengamati Gia dan Gio, silih berganti.
Giani melirik Rarendra, pria itu terlihat sangat bahagia bercengkerama dengan Gio. “Jangan bahas masa lalu kamu, Ren. Takutnya aku beneran bunuh kamu karena kamu yang dulu bikin emosi terus.”
Rarendra mesem. “Justru aku lebih suka kamu bar-bar kayak dulu karena dengan begitu, anak-anak pasti yakin mamahnya baik-baik saja.”
“Memangnya di mata kamu, aku sesangar itu, ya?” balas Giani masih belum bersemangat.
Rarendra mesem dan sengaja mengalihkan pembahasan mereka. “Sabtu-Minggu aku libur. Bawa anak-anak ke rumahku biar aku bisa membantumu menjaga mereka,” ucap Rarendra.
Giani mendengkus lemas. “Aku menghargai kebaikan kamu, Ren. Namun, sisi lain diriku justru marah. Aku jadi enggak enak banget sama Mita. Aku merasa sudah mengkhianati Mita karena aku sudah membiarkan kamu membantuku.”
Mendengar keluh kesah Giani, langkah Rarendra refleks menjadi lebih pelan. Benar, masa lalu Rarendra memang akan membuat jalinan hubungan mereka tak ubahnya pengkhianatan. Rarendra merupakan mantan Sasmita dan sempat membuat Sasmita selaku sahabat Giani sangat hancur. Namun kini, mereka yang dulunya musuh justru memiliki hubungan bahkan dekat. Bukankah kedekatan Giani dan Rarendra kini sama saja dengan pengkhianatan?
“Enggak apa-apa. Kamu enggak salah, kok Sayang.”
“Andai aku lebih hati-hati, pasti baby kita baik-baik saja. Pasti baju-baju lucu yang sudah kita beli bisa dipake sama dia. Sudah empat bulan, dan kemarin kita baru ngadain syukurannya, Di. Enggak kebayang, papah sama mamah kamu pasti kecewa berat sama aku apalagi kemarin mereka kelihatan seneng banget.”
Kebas. Giani gemetaran hebat dan tak kuasa melanjutkan langkahnya. Suara obrolan dari belakang, dan benar-benar sangat Giani hafal pemiliknya. “Ren,” lirih Giani nyaris tak terdengar. Suaranya tertahan di tenggorokan akibat tangis yang telanjur pecah.
“Apa?” balas Rarendra yang memang tidak tahu. Namun, ketika ia menatap Giani dan tak sengaja melihat ke belakang, rasa penasarannya terjawab. Adi sedang bersama wanita lain. Wanita lain yang jauh lebih cantik sekaligus lebih muda dari Giani. Wanita cantik yang begitu merawat diri sedangkan tadi, pembahasan yang begitu intens, ... ah, Rarendra sungguh tidak tega pada Giani.
“Aku enggak kuat, Ren,” ucap Giani masih sangat lirih.
Tak bisa berkata-kata, Rarendra langsung memeluk erat kepala Giani dan menyandarkannya ke daddanya.
“PAPAH!” seru Gio ceria ketika kedua matanya mendapati sosok Adi yang langsung bisa Gio kenali.
Suasana di depan ruang pendaftaran rumah sakit keberadaan mereka mendadak seolah senyap bagi mereka meski hiruk-pikuk kesibukan di sana masih berlangsung terbilang ramai. Di tengah dunianya yang seolah berputar lebih lambat, Adi yang bisa langsung mengenali suara Gio, mendapati sang anak. Adi menatap tak percaya Gio kemudian berganti pada Rarendra yang belum Adi kenali karena keadaan Rarendra saat ini. Rarendra menatap Adi dengan tatapan marah sekaligus kecewa. Dan Adi mengenali sosok yang Rarendra peluk sebagai Giani apalagi tak lama setelah itu, Gia yang ada di embanan Giani juga langsung bersorak girang memanggil Adi.
“Papah!”
Tak ada sautan apalagi balasan hangat dari Adi layaknya biasa. Semuanya sungguh tak lagi sama meski harusnya Adi tidak pernah berubah pada anak-anak karena biar bagaimanapun, anak-anak tidak pernah salah. Tidak ada mantan anak.
Bersambung ....