Bab 11. Everything's Gonna Be Okay

1155 Kata
Ketika mimpimu yang begitu indah Tak pernah terwujud, ya sudahlah Saat kau berlari mengejar anganmu Dan tak pernah sampai, ya sudahlah …. * [Katanya sore ini mau ngerjain tugas di perpustakaan daerah? Kok masih sempat bales pesan?] ~ Prana [Nggak boleh, ya. Ya udah.] ~ Iis Dasar perempuan! Aku, kan, cuma takut waktunya terganggu. “Waktu istirahat sudah selesai, Tuan Muda. Sekarang waktunya Anda beralih pada pelajaran selanjutnya.” Wanita berseragam itu mengambil kembali handuk yang sudah kugunakan. Padahal, aku baru saja selesai solat, minum, dan hanya sempat membalas satu pesan. “Ok, Ren! Thank you, ya!” Dia pun mundur meninggalkanku, lalu tak selang beberapa detik, Lucy, sang guru Bahasa Inggris, datang menghampiriku. Apartemen dengan kolam renang pribadi, belum lagi pemandangan yang sangat eksklusif langsung mengarah pada sebuah pegunungan. Aku senang bila belajar di sini, berpikir keras ditemani pemandangan menjelang sunset Gunung Putri memang yang terbaik. [Tuh, kan? Kamu nggak bales.] ~ Iis * Apapun yang terjadi, ku ‘kan s’lalu ada untukmu Janganlah kau bersedih Cause Everything’s gonna be okay * Mana mungkin aku membalas. Bule di depanku ini bahkan sudah melirik pada layar ponselku duluan. Jadi ya … aku pura-pura mengabaikannya. Setelah mendapatkan pelajaran bela diri pencak silat dari salah seorang suhu yang terkenal di Bandung, kemudian sekarang harus menghabiskan waktu dengan bule cantik yang menantangku berbahasa Inggris. Hudson memang tidak main-main dalam menyusun jadwal untukku. Belum lagi Rena, wanita itu yang selalu menyiapkan keperluanku setiap aku membutuhkan sesuatu. Bahkan aku jarang sekali melihat keberadaannya di dalam apartemenku. Aku tidak tau kapan dia masuk, aku juga tidak tau kapan dia pulang. Tapi setiap pergantian pelajaran, setiap aku ingin makan, setiap aku ingin mengerjakan tugas kuliah, dia tiba-tiba muncul menyondorkan ini itu yang aku butuhkan walalupun aku tidak meminta. Apa begini yang disebut memiliki asisten pribadi? Mungkin benar, jika aku memiliki darah keturunan Dwipa Mulya, entah mengapa, walaupun rasanya serba aneh, aku merasa cepat melakukan adaptasi. Rasanya, mendapat kemewahan seperti ini seakan biasa saja bagiku. Entah karena terlalu lama hidup dalam kesengsaraan atau karena memang aku mewarisi jiwa konglomerat Dwipa Mulya? Yang jelas, baru satu hari aku di sini, aku merasa jika ini semua sudah menjadi biasa saja dan tidak membuat aku terlena. Guru bule ini mengatakan jika soal yang sedang kuselesaikan ini setara dengan IELTS, memang benar, ini sangat sulit. Aku tak akan tau berapa skor yang akan kuperoleh jika begini, jika boleh menebak, pastilah sangat kecil. 6.7 Setelah perjuangan selama hampir tiga jam, aku mengerjakan soal. Mulai dari soal yang harus didengarkan dengan mendengar sebuah audio, sampai yang aku harus berbicara dengan si bule ini. Skor yang aku peroleh hanya 6.7. Dijejali dengan banyak materi hingga hampir pukul delapan petang. Ah, selama lima jam terakhir, aku benar-benar merasa menjadi bule. Dia hanya memberiku waktu lima belas menit untuk sholat maghrib tadi. Aku benar-benar bersyukur karena menjadi muslim, setidaknya setiap jeda waktu sholat aku bisa berhenti berhenti belajar. “Prepare for another test! Next week! Good bye!” Dia pergi tanpa salam, hanya meninggalkan pesan jika aku akan diberi tes selanjutnya. Oke, baiklah! “Ini makan malam Anda, Tuan Muda.” “Ok, terimakasih, Ren! Simpan saja.” Tanpa melihat ke arah Rena aku fokus membalas pesan. [Maaf, Neng. Banyak urusan tadi, bahkan kayaknya sampai sekarang masih belum selesai. Kita sambung besok, ya.] ~ Prana “Waktu istirahat Anda, hanya lima belas menit, Tuan. Silakan habiskan makanan Anda.” Terkejut aku melihat Rena masih ada di samping ternyata. Ah ada-ada saja dia ini. Oke baiklah, meskipun tanpa waktu istirahat aku pun tak apa. Cause Everything’s gonna be okay * Satu dari sekian kemungkinan Kau jatuh (jatuh) dan tanpa ada harapan Saat itu raga kupersembahkan Bersama jiwa, cita, cinta dan harapan * Malam sudah semakin larut. Ini pelajaran paling inti yang harus aku pelajari untuk menjadi pewaris sah dari seorang Dwipa Mulya. Yaitu pelajaran ekonomi dan bisnis. Guru yang disediakan oleh Hudson, tidak mengajarkan bisnis seperti yang aku peroleh di perkuliahan, dia lebih mengajariku dengan materi yang sesuai dengan praktek lapangan. Aku lebih dimintai untuk mengamti kasus-kasus yang terjadi dalam dunia bisnis, belajar memprediksi pergerakan kurva saham, sampai bermain tebakan keuntungan yang dipertimbangkan dalam berbagai aspek kehidupan. Dia ini adalah CEO dari seorang pengusaha ternama, jadi pengajarku bukanlah hanya seorang sarjana ekonomi yang menjadi dosen. Bukan. Tapi dia memang benar-benar CEO. Seorang pria yang memutuskan untuk keluar dari keluarganya sendiri, lalu membantu istrinya mengembangkan perusahaan milik keluarga sang istri yang hampir colapse. Hingga kini sudah lebih dari dua puluh tahun sepak terjangnya dalam dunia ini, dia telah  berhasil menjadi pengusaha yang sukses di Asia Tenggara. Meski daftar kekayaannya adalah yang tertinggi di Indonesia, namun sebenarnya Dwipa Mulya masih jauh lebih kaya dari dirinya, karena kebanyakan kekayaan Dwipa Mulya ini tidak terdaftar. Maka dari itu, tidak akan ada yang berani mempekerjakan konglomerat selain dari orang yang memiliki kekayaan puluhan kali lipat dari konglomerat itu sendiri. Meski sebenarnya, sang konglomerat yang menjadi guruku ini adalah … uwak ku sendiri. Iya, CEO itu adalah kakak dari Dwipa Mulya. Namanya, Bagas Pradipta Mulya. (Uwak = sebutan untuk om yang merupakan kakak dari ayah kita dalam bahasa Sunda) “Ok, Prana! Apa kau tidak lelah?” Dia bertanya setelah kita berbincang tentang banyak hal dalam dunia bisnis. Hanya satu jam aku berbicara dengannya, namun aku merasa seperti sudah merasakan bagaimana jatuh bangunnya menjadi seorang pengusaha. “Lelah kenapa, Uwak?” Aku memanggilnya uwak, dia yang menginginkannya. “Lelah belajar seperti ini. Aku pun akan lelah nanti ini, pasti.” Dia berkata demikian dan langsung terkekeh. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi candaannya. “Aku mau kamu langsung terjun dalam dunia bisnis. Ada banyak perusahaan milik Dwipa Mulya yang menganggur. Lebih baik, kamu minta satu dan coba jadi pemimpin di sana. Kau akan tahu bagaimana rasanya menjadi seorang pengusaha secara langsung dan lebhi dari sekedar mendengar ceritaku.” “Apa …?” Permintaan uwak yang satu ini sungguh konyol. Aku bahkan sama sekali belum memiliki sedikit pun pengalaman atau pengetahuan dasar, malah diminta untuk menangani salah satu usaha milik Dwipa Mulya. “Kayaknya aku nggak bisa kalau secara langsung begitu, Uwak. Itu terlalu sulit,” tolakku mentah-mentah. Dia nampak tak menggubris dan masih berkutat dengan ponselnya. “Sudah kuhubungi asisten Dwipa Mulya. Toko oleh-oleh yang ada di dekat apartemen ini menjadi urusanmu mulai malam ini.” “Apa, Uwak?” “Aku tidak bercanda.” Ting Sebuah email masuk ke dalam surelku. Dari: suryalesmanaoffice@antasaripreneur.com Subjek: [Laporan Keuangan] Ini tidak mungkin. Aku pun memijat pelipis. Bagaimana mungkin, hanya dari satu kalimat darinya aku langsung menjadi pemilik sebuah perusahaan? Jalur privilege memang beda. * Kita sambung satu per satu sebab akibat Tapi tenanglah, mata hati kita ‘kan lihat Menuntun ke arah mata angin bahagia Kau dan aku tahu jalan selalu ada. * “Jangan khawatir, jalan selalu ada.” * Bersambung …. - Colapse: Pingsan. Dalam cerita ini, perusahaan yang colapse artinya bangkrut. - Privilege: Hak istimewa yang didapat oleh seseorang karena ia terlahir dari kalangan keluarga elit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN