Bab 9. Gangguan dan Bantuan

1103 Kata
Tahun ajaran baru di Universitas Langit Buana, Bandung. . . “Eh, nanti ketemuan di kafe depan kampus, ya!” “Iya, sekarang kamu mau ke mana? Ada mata kuliah, ya?” “Iya, nih! Jurusan kamu enak, udah selesai sejak tadi pagi kuliahnya. Jurusanku baru mulai nanti siang.” “Ya udah, sih! Jangan ngeluh. Hari pertama. Semangat! Eh, tuh, ada kakak tingkat yang nyariin kamu.” “Oh, itu. Ya udah … kamu duluan aja, ya.” “Ciyee mau pacaran dulu, ya udah aku tinggal. Daaah!” “Daaah.” Dalam balutan topi yang menutupi, buku yang menghalangi, dan kacamata yang mengaburkan. Aku bersembunyi di sudut kantin kampus sambil mengamati seorang gadis yang sedang berduaan dengan pacarnya itu. Ah, sedang apa aku ini? Padahal tugas yang diberikan oleh guru untuk belajar bahasa asing juga banyak, tapi aku malah memperhatikan hal yang tak berguna. Baiklah, lebih baik mempelajari pembelajaran dari mereka saja sambil menunggu jam kuliah. Aku pun mengeluarkan laptop, membuka dan menyalakannya. Menghubungkan dengan jaringan wifi pribadi yang sudah disediakan oleh Hudson. Dia melarangku untuk menggunakan wifi umum. Entah apa alasannya, namun dia berkata untuk menjaga keamanan. Menyingkirkan es jeruk ke sebelah, karena laptop ini membutuhkan tempat yang cukup luas untuk aku belajar. Seandainya di kantin kampus ini ada nasi padang. Mungkin aku akan makan nasi padang dulu sebelum menguping obrolan Neng Mawar tadi. “Coba kita lihat file-nya dulu,” gumamku lirih sambil mencari-cari bahan pembelajaran yang dikirim melalui emailku. Akhirnya aku menemukannya. Pembelajaran pertama ini mengenai Bahasa Inggris. Sejumlah video sudah disusun dengan runut untukku dan materinya sangat pas dengan kemampuan Bahasa Inggrisku yang sekarang. Guru bernama Lucy itu memang tidak main-main. Dia benar-benar didatangkan dari Inggris dan dia menuntutku untuk mengikuti tes IELTS sepulang kuliah nanti. Gila memang! Sambil memasang earphone ke telinga, aku mendengar video mengenai pembelajaran yang dia sampaikan. Nilai Bahasa Inggrisku tidak terlalu buruk dulu saat aku sekolah, apalagi dengan pembelajaran yang disusun dengan begitu pas untuk aku seorang, aku merasa sangat mudah memahaminya. Tes IELTS yang nanti aku ikuti pun, dia bilang tidak ada tuntuntan skor yang harus kuperoleh, dia hanya ingin mengethaui kemampuanku yang sekarang ada di mana. Lalu dia bisa dengan menentukan kebutuhan belajarku. Memang semua guru yang dipilih oleh Hudson untukku tidak ada yang main-main. Begitu pun guru beladiri, guru untuk belajar senjata api, belajar bisnis dan yang lainnya. Satu video ini berdurasi tidak lama, hanya sekitar 5-7 menit. Aku dapat dengan cepat memahaminya, karena penjelasannya yang sederhana. Sayangnya, aku belum diberi latihan untuk mengukur kemampuanku setelah menonton video ini. Gubrak. Seseorang menutup paksa laptop yang sedang kubuka. Siapa lagi jika bukan Prima? Kukira dia akan asyik mengobrol dengan Neng Mawar tanpa mengenali aku. Ternyata dia sadar juga akan keberadaanku. Si4lan memang! “Ngapain kamu di sini?” tanyanya dengan angkuh. Dia juga mengangkat kakinya dan mendaratkan di kursiku. Lebih baik tak usah diladeni. Aku lebih memilih membereskan laptopku dan memasukkannya ke dalam tas. “Heh, kalau ditanya itu jawab, tol0l!” Gubrak Di depan banyak orang dia mendorongku. Apa dia tidak malu melakukan pem-bully-an pada orang lain di muka publik seperti ini? “Hey, kau tidak apa-apa?” Aku pun berdiri setelah mendapatkan uluran tangan dari seseorang. Siapa dia? Dari pakaiannya, sepertinya dia lebih kaya raya dibanding Prima. “Ngapain kamu ikut campur? Anak baru! Belagu!” “Hey, hey! Aku bukan ikut campur. Ini bukan masalah anak baru atau bukan, tapi apa yang kau lakukan itu adalah bullying! Aku bisa mengadukan perbuatanmu pada pihak yang berwajib!” “Siapa? Pihak yang berwajib. Aku ini anak Dwipa Mulya! Tidak akan ada siapa pun yang berani menyentuhku di negara ini.” Ini sudah tidak benar, Prima akan meracau lebih gil4 jika tidak diakhiri. “Udah, Bro. Thanks udah bantuin aku, jangan diladeni.” Aku memaksa orang yang sedang berusaha melawan Prima dan membelaku untuk pergi. Dia nampak kesal melihat perilaku Prima. Baru kali ini aku melihat ada orang yang berani meskipun sudah mendengar nama Tuan Dwipa, siapa sebenarnya dia? “Lain kali, kalau dia bikin onar. Lawan aja!” Dia menyarankan padaku hal yang tak mungkin kulakukan. “Aku nggak mau ngelawan dia.” “Kenapa?” “Bukan level.” “Whoooa! Aku suka gaya kamu. Haha, kenalin aku Adrian.” Aku pun menyambut uluran tangannya. “Prana.” “Oke …. Kamu benar, dia memang nggak usah diladeni. Prima memang suka besar kepala sejak di SMA dulu.” “Kamu satu SMA dengan dia?” “Iya, dia kakak kelasku. Anak pindahan sih dia tuh. Tapi sombongnya selangit.” Pantas saja jika dia berani melawan Prima, ternyata dia sudah tau dengan Prima sejak lama. “Oh, ya. Kamu jurusan apa?” tanyaku padanya. “Manajemen bisnis, kamu?” “Sama dong.” Aku sengaja mengambil jurusan yang sama dengan Neng Mawar, entah apa tujuanku seperti ini. Tapi … aku memang menginginkannya. Tak kusangka bisa bertemu dengan teman baru di jurusan yang sama. “Oh, ya, kamu tau siapa itu Dwipa Mulya? Ayah Prima yang dia sebut tadi. Kok Prima bisa sepede itu, jika hukum negara ini tak akan menyentuhnya karena dia anak Dwipa Mulya.” Aku mencoba menanyakan hal ini pada Adrian, siapa tahu ada informasi lain tentang kehidupan pernikahan si bandot tua itu. “Emmm itu, ya? Gimana jelaskannya. Intinya, Dwipa Mulya itu … pengusaha kelas atas. Tapi … tidak semua bisnisnya bersih. Tapi dia pandai melakukan pencucian uang agar tak mudah tertangkap. Ah … begitulah. Orang mengenalnya sebagai pengusaha kelas atas, tingkat internasional, perusahaannya sudah melanglang buana ke mana-manaa. Tapi kau tau … Prima itu hanya mengaku-ngaku.” “Oh, ya?” Aku pura-pura terkejut, karena sebenarnya aku sudah tahu jika Prima hanya mengaku-ngaku. Hudson sudah mengatakan, jika Prima hanya anak tiri yang kini sudah tidak diakui. “Berita ini sudah lama tersebar dari bibir ke bibir di sekolahku dulu. Dia hanya anak tiri Dwipa Mulya. Tapi sekarang, ibunya sudah bercerai dengan Dwipa Mulya, namun dia menuntut pengakuan sebagai anak dari Tuan Dwipa, jelas saja Tuan Dwipa menolaknya. Karena Prima bukan anaknya.” Aku mengangguk, ini informasi baru. Hudson tidak mengatakan jika Tuan Dwipa sudah bercerai dari istri ketiganya. “Tapi … Prima terlihat seperti anak orang kaya. Apa ibunya yang kaya raya?” tanyaku lebih jauh. Setidaknya aku harus bisa menggali informasi lebih jauh untuk mencari tahu tentang Prima. “Kalau tidak salah, ibunya mendapat gono-gini hampir satu trilyun rupiah.” “Wow. Tuan Dwipa pasti sangat kaya.” “Kau benar, dia sangat kaya raya. Ke kelas yuk!” “Oke.” * Bersambung …. Uuuuwu A Ian udah keluar di sini nih! Komentarnya dong …! Jangan sepi kek kuburan, heuheuheu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN