“Mang, tolong potokopi bolak-balik rangkap dua, ya. Yang satu dijilid, yang satu nggak.”
“Iya, Kang. Tunggu aja ya.”
Menyerahkan sebuah buku pada tukang potokopi, setelah itu aku menunggu di sini. Duduk di samping etalase, buku itu aku minta agar dibuat rangkap dua. Satu untukku, dan satu lagi punya Adrian. Sambil menunggu, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, siapa tau ada penjual es di sekitar sini.
“Jam empat sore ada jadwal?”
Ke mana tujuan hati mencari, ke mana pula mata menambatkan hati. Seorang gadis bermata bulat nan tajam, berambut pendek dengan sebuah bando kuning ditambah lesung pipi yang terbentuk saat ia menyedot pop es dalam plastik, menyita perhatian.
“Nggak. Tapi mau ngerjain tugas di perpus daerah. Kayaknya bakal lama deh pulangnya, sampe sore gitu.” Gadis itu menjawab.
“Ada Prima tuh!”
“Ih, eneg sumpah liatnya.”
Aku menatapnya terkejut. Kukira tak akan ada yang berani berkata demikian di kampus ini. Siapa gadis berbaju merah yang sedang menghabiskan pop es dalam plastik itu?
“Sayang, kok keluar kelas duluan sih? Nggak ajak-ajak.” Orang yang mereka bicarakan mendekat.
“Kita duluan ya, Is!”
“Eh, tunggu!”
Memang benar? Ternyata Prima itu buaya. Lebih baik aku membuang muka dan memperhatikan kelincahan tangan mamang potokopi saat menghitung kertas saja.
“Sekarang mau ke mana, nih, Neng iis nya Aa Prima?” Pertanyaan Prima memang sangat bag0ng. Aku kasihan dengan gadis bernama Iis yang harus berpacaran dengan Si Prima.
“Emmm … ini mau pulang.”
“Dianterin ya sama aa?”
Lah, bukannya dia baru aja ngegombalin Neng Mawar tadi pagi? Ternyata dia udah punya cewe lain? Sumpah si Prima ya, untung dia anak tiri bandot tua itu. Kalau anak kandung, uh … nggak sudi aku adik kakak sama ni anak.
“Nggak usah, Prim! Aku ada janji ama temen-temen. Kamu urus aja urusanmu sendiri.”
“Pffft ….” Tanpa sengaja aku menertawakannya.
“Eh, si miskin ada di sini? Ngetawain aku? Kurang ajar!”
Waduh! Dia nyamperin.
“Mang, potokopinya udah belum?” Aku mencoba mengalihkan perhatian.
“Masih lama, Kang. Tinggal setengahnya ini, belum dijilid lagi.”
Mampus! Orang gila ini udah di samping aja. Gak keren kalau lari ini mah.
“Aku nggak ngetawain kamu.” Kujawab dengan santai.
“Bangs4t maneh! Nyaho urang ge!” (Bangsa4t kamu! Aku juga tau, kok!)
Prima ini memang sombong dan tidak tahu tempat. Aku melirik ke kiri dan kanan, kami sudah menjadi perhatian orang. Bahkan gadis yang tadi dipanggil dengan sebutan Neng Iis juga sedang melihat ke arah kami.
“Gelut, yuk! Mumpung loba jelma nu nempo! Sieun teu? Sieun nya?” (Mau berantem? Biar banyak orang yang lihat! Tankut, nggak? Takut ya?)
Dia menantang pada ruang terbuka seperti ini. Mamang potokopi, fokuslah kerjakan tugasmu, jangan perhatikan kami.
Aku menangkupkan tangan pada orang sekitar yang melewati kami. “Punten.” (Maaf) Sungguh ini memalukan sekali.
“Prim, aku nggak mau ribut sumpah! Masalah kamu apa sih?” Aku coba berkata baik-baik.
Namun dia malah tertawa mencibir seakan mengejek padaku.
“Masalahnya, aku benci liat orang miskin ada di kampus yang sama denganku. Kenapa? Kamu nggak suka? Mau protes?”
Dia benar-benar melihat orang lain dari status sosialnya. Ya Tuhan, kenapa waktu itu Abah Adin pake jual bengkelnya ke orang ini? Udah mah waktu itu aku langsung dipecat sama dia, sekarang tiap ketemu diburu terus. Kayak nggak enak kalo nggak ngerendahin orang.
“Besok aku mau balik ke Cisewu. Kamu pulang, jug Kaditu!” (Kamu pulang saja, sana!) “Bareng sama aku boleh, kukasi tumpangan. Di bagasi tapi.” Dia dan kawan-kawannya tampak tertawa menertawakanku.
Aku menggelengkan kepala melihat kelakuannya yang sangat sombong.
“Gini aja, besok kamu ngelamar kerja lagi di bengkel. Aku terima deh! Asal kamu keluar dari kampus ini. Lagian kamu ngapain ke kampus segala? Ijasah SMA kamu, kan, nggak ditebus? Kamu mahasiswa ilegal, ya?”
Lagi-lagi mereka tertawa. Lebih baik aku diam saja mengacuhkan mereka.
“Kamu tuh, nggak bakal sanggup bayar biaya kuliah di sini tau! Kulaporin ke dekan, baru tau rasa!”
“Kang, ini yang dijilid cuma satu aja? Nggak sekalian dua-duanya?” Tukang potokopi mengalihkan perhatianku.
“Nggak, Mang. Satu aja yang dijilidnya.”
“Keh3d! Maneh ngantepkeun urang?” (Kurang aj4r! Kamu mengabaikan saya?)
Sepertinya Prima memang berniat untuk mencari ribut.
Aku pun mengembuskan napas. Ini di tempat umum, sih. Tapi …. “Kamu mau berkelahi dengan saya?” Entah apa yang kukatakan ini, tapi … aku ingin dia lekas pergi dari sini.
“Emang kamu berani?”
Bukannya dia yang menantangku lebih dulu? Ketika kutawari, kenapa dia bertanya balik?
“Berani atau nggak berani, bakal kuladeni. Tapi jangan di sini. Minggu depan, satu lawan satu, gimana?”
Mungkin terdengar gila, tapi aku harus mencoba. Sebagai orang yang pernah menjadi anak tiri dari Dwipa Mulya, Prima pasti memiliki beberapa kemampuan bertarung. Aku harus bisa belajar bela diri dalam waktu yang cepat. Semoga guru yang Hudson jadwalkan untukku bisa membantu.
“Ok! Bakal aku lawan kamu! Tapi itu nanti! Sekarang … aku maunya keroyokan! Lawan dia”
“Kang, kalau mau gelut, jangan di sini! Ini potokopiannya udah jadi!”
Mamang potokopi menggebrak etalase menggunakan tumpukkan kertas hasil potokopi. Prima dan kawan-kawannya pun terhenti, mereka urung melakukan aksi keroyokan.
“Prima! Kamu kok gitu, sih, ke orang lain? Aku benci sama kamu, kita putus!” Gadis bernama Iis itu dengan beraninya menatap tajam pada Prima. Kenapa aku merasa senang, ya?
Sambil mengabaikan drama putus cinta, aku diam-diam membayar uang potokopi dan mengambil hasil potokopinya. Lebih baik aku pergi saja sebelum si Prima menyadarinya.
“Kamu nggak apa-apa? Ayo pergi dari sini!”
“A Prima, aku cari ke kelas kamu. Kok kamu nggak ada sih?” Neng Mawar datang dan menghampiri Si Prima. Kedatangan Mawar menambah kusut wajah Neng Iis.
“Ehh …?” Aku terkejut. Tiba-tiba saja Neng Iis menggandeng tanganku dan menyeretnya. Si Prima nampak kesal, karena ia diputuskan secara sepihak. Belum lagi ternyata gadisnya ini malah menggandengku lalu pergi meninggalkannya. Namun ia tak bisa mengejar karena ada Neng Mawar yang menghalanginya. Haha, kasian euy Si Prima!
Sudah jauh kami melangkah dari tempat potokopi, namun Neng Iis belum juga melepas tanganku. “Neng …. Neng …. Tunggu! Berhenti dulu dong?”
“Aduh, maaf. Aku terbawa suasana, saking kesalnya aku sama Si Prima. Oh, ya, kamu mahasiswa baru, ya?”
Kami berhenti di sebuah taman dekat dengan gerbang masuk kampus. Neng Iis pun duduk di salah satu bangku panjang yang ada di situ, sementara aku tetap berdiri dan bersandar pada salah satu tiang lampu.
“Iya, Neng. Baru hari ini masuk.”
“Aku kakak tingkat kamu tau! Panggil panggil neng!”
Rasanya aku ingin tertawa, karena sebenarnya aku lebih tua darinya, pasti.
“Emmm … emang usia kamu berapa?” tanyaku.
“Dua puluh.”
“Nah, aku dua satu. Walaupun aku mahasiswa baru, aku lebih tua dari kamu.”
Lesung pipinya terbentuk, namun sepertinya ia menahan senyum karena malu.
“Ini kita nggak kenalan dulu, nih?” Aku sengaja menggodanya, sedikit.
“Kamu tuh, ngajak kenalan tapi yang ditanyainnya malah umur dulu, bukannya nama,” ucapnya sambil mengulum bibirnya menahan senyum.
“Ya udah, aku Prana. Kamu …?”
Sambil memalingkan wajah dia pun menjawab, “Iis.”
Dia memang tidak seseksi Mayang, namun … beginilah definisi Mojang Priangan.
*
Bersambung ….
Mojang Priangan = Gadis Priangan
Kang Prana malu-malu kenalan ama Neng Iis. Btw, ini bukan genre romance ya guys!