"Kamu sudah gila!" Faiq bereaksi setelah mendengarkan istrinya berbicara.
"Tidak Mas, kamu harus dengar dulu."
"Aku sudah mendengarkan, dan semua yang kamu ucapkan mengarah pada satu hal." Pria itu bangkit lalu menjauh.
"Mas, aku mohon dengarkan aku dulu!"
"Tidak, Hana. Aku tidak akan mengikuti kemauanmu yang satu itu. Tidak mungkin." Faiq menggelengkan kepala.
"Mas ...."
"Mintalah apapun kepadaku. Rumah, kendaraan, perhiasan, apapun. Akan aku berikan semuanya. Tapi jangan pernah memintaku untuk melakukan hal yang mustahil semacam itu. Dimana pikiranmu?" Pria itu setengah berteriak.
"Kamu sudah hilang akal?" Faiq mengusap wajahnya dengan keras.
Farhana mulai terisak.
"Atau ... dia mempengaruhimu? Dia yang memberi ide semacam ini?" Pria itu kembali mendekat.
Farhana mendongak lalu menggelengkan kepala.
"Obat apa yang dia berikan kepadamu hingga pikiranmu menjadi seperti ini?" Faiq menarik laci nakas lalu mengambil beberapa obat yang biasa diminum oleh perempuan itu.
"Dia membuat pikiranmu ngawur." Lalu dia kembali menutup laci dengan keras.
"Aku akan menyuruhnya pergi sekarang juga. Aku akan memecatnya karena aku masih bisa mengurusmu sendirian. Kita tidak perlu perwat untukmu." Faiq hampir saja memutar tubuh, namun Farhana segera meraih tangannya untuk menahan langkahnya.
"Tidak Mas, jangan. Aini tidak ada hubungannya dengan ini."
"Tidak ada hubungannya? Lalu apa maksudmu menyuruh aku menikah dengannya? Apanya yang kau maksud?" Faiq akhirnya berteriak.
"Mas!" Farhana hampir menangis. "Dia bahkan tidak tahu. Aku belum membicarakan hal ini dengannya.
"Akalku tidak sampai pada ide semacam itu. Kamu ingin aku melakukan hal yang mustahil?"
"Demi kita Mas. Demi aku."
Faiq terus menggelengkan kepala.
"Mas, aku mohon ...." perempuan itu mengiba.
"Tidak. Aku bilang aku bisa saja memberikan apapun, dan aku akan melakukan banyak hal untukmu. Tapi tidak yang satu itu."
"Mas, tidak kah kamu ingin memiliki anak? Dengan menikahi Aini kita akan punya anak. Dan keturunanmu tidak akan terputus hanya disini saja."
"Hana ...."
"Dengar!"
"Tidak. Bagiku, rumah tangga bukan hanya sekedar untuk memiliki anak dan meneruskan keturunan. Sudah aku katakan berulang kali, punya anak atau tidak kita akan selalu bersama. Dan aku akan tetap mendampingimu sampai kita menua bersama."
"Tapi kita tidak akan punya anak selamanya."
"Itu tidak penting untuk saat ini. Kesehatanmu yang lebih penting, yang sedang aku usahakan. Agar kita terus bersama-sama sampai nanti." Pria itu kembali duduk di tepi ranjang.
"Tapi kamu masih punya harapan, keturunanmu akan terus tersambung. Kamu masih punya kesempatan, sedangkan aku?"
"Hana, aku mohon. Jangan diteruskan lagi. Aku tidak peduli soal itu."
"Mas ...."
"Tidak!" Faiq kembali menggelengkan kepala. "Tidak akan aku lakukan. Maaf, aku tidak bisa." Pria itu bangkit lalu menghambur keluar dari kamarnya.
***
"Mbak!!" Mbok Mina setengah berlari menghampiri Aini yang baru saja tiba setelah mengambil obat dari rumah sakit untuk di suntikan kepada Farhana. Hari itu telah tiba pada jadwal kemoterapi untuk perempuan tersebut.
"Ada apa?"
"Ibu ... sama bapak ...." Perempuan paruh baya itu tampak sedikit panik.
"Ibu kenapa?" Aini mengalami hal yang sama.
"Itu ibu ... sama bapak."
"Iya kenapa? Mbok jangan bikin saya panik juga! Ada apa?"
"Ibu sama bapak sepertinya bertengkar. Tadi kedengaran bapak teriak-teriak, Mbak."
"Masa?"
"Iya Mbak. Saya takut terjadi sesuatu sama Ibu."
Aini hampir berlari memasuki rumah.
"Memangnya Bapak suka begitu?"
"Nggak pernah, baru kali ini saya dengar begitu," jawab mbok Mina.
Langkah mereka terhenti tepat dua meter dari pintu kamar Farhana, saat Faiq terlihat keluar dengan tergesa. Pria itu bahkan sempat membanting pintu dengan keras kemudian menatap wajah Aini dengan sorot mata yang tajam.
"Ma-maaf pak?"
Faiq menghampirinya dengan langkah lebar, kemudian menarik lengan perempuan itu dan mencengkeramnya dengan kuat.
"Pak?" Aini berusaha melepaskan diri. Namun nyalinya menciut saat melihat wajah pria itu yang tampak sangat marah.
"Apa yang kau kataka kepada Hana?" Faiq dengan suaranya yang menggeram.
"Maksud Bapak?"
"Jangan pura-pura tidak tahu, kau pasti sudah mengatakan banyak hal kepadanya!" ucap pria itu lagi, dengan cengkeramannya yang semakin kuat di lengan Aini.
"Tapi Pak?" Perempuan itu meringis kesakitan merasakan cengkeraman tangan Faiq yang semakin kuat.
"Katakan!" geram Faiq lagi dengan sorot mata yang dingin namun menusuk.
Aini menggelengkan kepala, dia bahkan tak tahu apa yang tengah terjadi dengan majikannya di dalam sana.
Namun Faiq menghempaskan cengkeramannya dengan keras, lalu dia meraih tas khusus pembawa obat dari tangan sang perawat kemudian melemparnya ke lantai hingga isinya berhamburan.
"Pak!" pekik Aini saat pria itu menginjak benda tersebut, kemudian segera pergi.
"Mbak!! Ibu." Mbok Mina mengingatkan seraya menerobos pintu kamar majikannya.
***
Farhana tengah terisak ketika dua perempuan itu masuk
"Bu?" Aini langsung mendekat untuk melihat keadaannya.
"Ibu baik-baik saja?" Dia segera bertanya.
Namun Fahana tak menjawab, tangisannya malah terus berlangsung setiap kali perwatnya itu bertanya.
"Bu?" ucap Aini lagi seraya menyentuh tangan kurusnya yang menutupi sebagian wajahnya.
"Dia marah Aini," ucap Farhana dalam tangisnya setelah beberapa saat.
"Ada apa?"
"Dia ... narah," ulang Farhana, dan dia menurunkan tangan dari wajahnya.
"Kenapa? Apa ada masalah? Ibu bisa cerita kepada saya. Apa yang bapak lakukan kepada ibu?"
"Aku hanya ingin kami punya anak, dan dia bisa meneruskan keturunannya. Dia masih mampu sementara aku ...."
Aini mengerutkan dahi.
"Aku hanya ingin kami punya anak," ulang Farhana lagi setengah berbisik.
"Ibu akan punya anak, tapi nanti. Sekarang Ibu harus sembuh dulu. Nanti bisa kita pikirkan caranya."
"Oh ya? Bagaimana?"
"Nanti ... mungkin Ibu bisa mengadopsi anak, atau bayi dari panti asuhan, atau saudara, atau yang lainnya."
"Yang lainnya itu apa?" Farhana menatap perawatnya lekat-lekat.
"Entahlah, yang lainnya. Seperti yang saya katakan tadi. Ibu bisa mengadopsi ...."
"Aku mau anak dari suamiku," ujar Farhana kemudian.
"Maksudnya?"
"Aku ... tidak mau mengadopsi, aku mau anak dari suamiku."
Aini terdiam mencerna kata-katanya.
"Aku mau seseorang melahirkan anak untukku, dari suamiku. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi alu ingin itu ketutunan suamiku, dan bukan anak orang lain." Farhana memperjelas kata-katanya.
"Ba-baik kalau Ibu mau seperti itu, kita akan cari caranya. Ma-maksud saya ... mencari orangnya. Ya, mencari orang yang bersedia melakukannya, tapi sebelum itu ibu harus sembuh dulu. Oke? Kita harus menyembuhkan ibu dulu. Kalau tidak, kita ...."
"Aku mau kamu." Dan kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Aini membeku.
"Aku mau kamu." Farhana mengulang ucapannya.
"Ma-maaf Bu?"
"Aku mau kamu yang mengandung untukku."
"Ma-maaf??"
"Lakukanlah untukku."
"Mmm ... Ibu mulai berhalusinasi? Kita terlambat menyuntikan obat makanya Ibu jadi begini, kan?" Aini mulai meracau.
"Ta-tapi obatnya hancur tadi di injak bapak, mmm ... Saya harus menelfon dokter Firman untuk meminta obatnya lagi. Tunggu. " Perempuan itu hampir bangkit namun Farhana mencengkeram pergelangan tangannya.
"Aku mau kamu yang melakukannya untukku," ucapnya lagi, membuat sang perawat membeku.