1- Sahabat Sejak Kecil

1277 Kata
"Gue gak nyangka di antara lo sama Jun bisa gak ada perasaan saling menyukai sedikit pun." Jena menoleh ke samping kirinya, tepatnya menatap ke arah Fina. Syafina Arnelita, sahabat dekatnya. Lalu berikutnya, Jena kembali menatap ke depan, dan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, sembari terus berjalan di sebelah Fina. Tanpa ada niatan membalas atau untuk mengatakan sesuatu, Jena hanya mendengarkan kalimat Fina itu. "Setahu gue nih, ya. Yang namanya sahabatan sejak kecil, apalagi sejak orok, bertahun-tahun kalian ke mana-mana selalu bareng-bareng, bahkan kentut kalian pun hampir sama baunya ... gimana bisa kalian gak punya rasa ketertarikan sedikitpun?" Kali ini Fina menoleh. Ia yang sejak tadi fokus memandang ke depan sembari berjalan, kini menelisik raut Jena. Hal itu membuat langkah Jena terhenti. "Kenapa memangnya?" tanya Jena pada akhirnya. Gadis itu menatap dingin Fina. Kemudian memutar bola matanya jengah. Fina berdecak seraya menyilangkan tangan di depan dadanya. "Ya aneh, lah, Jen," timpalnya. Fina tidak merasa terintimidasi dengan tatapan dingin Jena. Bahkan selama satu tahun lebih ia mengenal Jena, gadis itu selalu memberinya tatapan dingin itu. Kini gantian Jena yang bersidekap. "Gue sama Jun gak mungkin ada rasa suka satu sama lain," katanya. Lalu Jena menunjuk-nunjuk Fina. "Nih, ya, gue kasih tahu. Mana mungkin gue suka sama cowok caper, suka tebar pesona, badan gemulai, dan tengil kek si Jun itu- Aw!" Lanjutan kalimat Jena terputus saat ia merasakan seseorang menjitak kepalanya dengan keras. Dengan cepat ia usap ubun-ubunnya yang saat ini terasa panas. Berbagai u*****n dan makian sudah ia siapkan untuk orang iseng yang menjitaknya itu. Jena membalikkan badannya dan menatap orang itu yang tengah memelototinya balik. Segala u*****n dan makian itu kini hanya tertelan bersama air ludahnya. "Oh jadi gitu ya, balasan lo ke orang yang selalu menemani dan menjaga lo ini, hah?" Jun berdiri di depan Jena sembari berkacak pinggang, namun tidak jadi saat tali tasnya melorot, yang langsung ia benarkan. Jun memelototi Jena. "Lo bilang apa tadi? Gue gemulai?" tanyanya dengan geram menatap Jena. Fina menggelengkan kepalanya menatap kedua sahabatnya itu. Pun seorang cowok lain di dekatnya. Cowok ber-nametag Rehan itu tadi berjalan bersama Jun. "Oke, sebentar lagi bakal ada perang adu mulut seperti biasanya." Rehan menguap lebar-lebar. Lalu ia menyenggol lengan Fina. "Pe-er lo udah dikerjain?" tanyanya. Fina mengabaikan perkataan Rehan dan malah asik menyaksikan 'perang' yang dimaksud Rehan tadi. "Iya, gemulai. Lo kan satu-satunya cowok di kelas kita yang ikut ekskul dance itu." Jena mengangkat dagunya lalu menantang Jun yang tentunya jauh lebih tinggi darinya. Kemudian gadis itu mengibas rambutnya. "Cowok-cowok yang kek gitu tuh disebut gemulai. Lihat aja pas kalian lagi dance, udah kek gak punya tulang tahu, gak?" lanjutnya lagi. Jun berdecih. "Itu namanya lentur, elastis. Bukan gemulai, dodol," balasnya sambil menempeleng pelan kepala Jena. "Aw!" Jena tidak terima dan hendak membalas Jun, namun ia tetap tidak bisa menyamai tinggi Jun. Rasanya saat ini ia sangat membenci kenyataan bahwa tinggi badannya hanya 155 sentimeter. Jun selalu meledeknya. Jun hanya memeletkan lidahnya. Lalu dengan sekali hentak, ia mengalungkan lengan kekarnya ke leher Jena. Lengan sebelahnya yang terbebas bahkan mendarat ke kepala Jena, menjitakinya dengan tanpa perasaan. "Lo tuh harus diberi pelajaran emang," ucap Jun. Cowok itu kini malah menarik Jena sembari terus berjalan menuju kelas mereka. Jena terus memberontak. "Sakit, Jun! Aw!" serunya. Tangan Jena meraih lengan Jun, namun tetap tidak bisa. Ia benar-benar membenci tinggi badan Jun yang menjulang melebihi teman-teman lelaki di kelasnya. Jadi karena hal itu yang membuat Jun senang sekali mem-bully Jena. "Bodo!" Jun terus menarik Jena meskipun kini ia sudah tidak lagi menjitaki kepala gadis itu. Namun lengan Jun benar-benar memerangkap Jena sehinga ia tidak bisa berkutik. Akhirnya gadis itu hanya pasrah ditarik Jun, dan makin pasrah saat beberapa murid lain memandangi mereka dengan aneh. Semua gara-gara Jun. Omong-omong, kemana Fina dan Rehan? Jena berusaha keras memutar kepalanya untuk menoleh ke belakang. Tangannya melambai-lambai pada dua sahabatnya yang lain yang ternyata hanya menonton dirinya yang menderita. "Tolongin gue, woy!" Jena menjerit sambil terus melambaikan tangannya dan menatap ke belakang. Namun lengan Jun menghalangi geraknya. Rehan hanya mengangkat tangan dan menjulurkan kepalanya menatap Jena di depannya. "Gue gak ikut-ikut, deh," katanya. Lalu ia berjalan mendahului Jena dan Jun saat melihat guru mereka tengah berjalan ke arah kelas mereka. "Eh!" Jena berseru. Lalu ia gantian menatap Fina. "Pin, tolongin gue!" Fina bukannya menolong, malah ia tertawa puas melihat Jena yang menderita dalam kurungan lengan Jun. Gadis itu menutup mulutnya menahan tawanya, kemudian mengeluarkan ponsel di sakunya. "Gue harus abadikan ekspresi muka lo yang kocak ini, Jen." Sudah diduga, Fina tidak bisa diandalkan dalam situasi ini. Jun ikut berpose saat Fina memotret Jena. Lalu cowok itu tertawa dengan puas saat Jena berteriak, "Dasar teman tidak ada akhlak lo semua!" *** Semua mata murid kelas sebelas Ilmu Sosial empat tertuju pada seorang gadis yang tengah berdiri di depan. Gadis itu berdiri dengan penuh percaya diri sembari mengedarkan tatapannya ke penjuru kelas, tak lupa ia sematkan senyuman di bibirnya. "Silakan perkenalkan diri kamu." Guru di samping kanannya mengintruksikan agar gadis itu memperkenalkan dirinya, membuat gadis itu mengangguk mengiyakan. Gadis itu menarik napasnya sebelum mulai memperkenalkan dirinya. "Hai," sapanya. Senyumnya mengembang sembari tangannya yang melambai. Dengan nada ceria ia melanjutkan kalimatnya. "Perkenalkan, nama gue Karina Kartikasari. Kalian bisa panggil gue ... Karina." Ia menjeda. Tatapannya mengedar dan saat itu juga matanya bersiborok dengan manik mata Jena. Hanya sekilas, setelah itu Jena langsung menundukkan kepalanya, menghindari tatapan mata Karina. Karina mengerjap beberapa detik sebelum akhirnya menyudahi perkenalan dirinya. "Semoga kita semua bisa berteman baik, ya." Sedetik sesudahnya, seisi kelas ramai dengan sorak sorai tepuk tangan. Begitulah reaksi yang biasa mereka berikan untuk murid pindahan baru itu. Mereka tersenyum senang menyambut bagian dari kelas mereka yang baru. Terutama seseorang yang paling antusias dengan kehadiran murid baru itu. "Ssttt ... ssttt ..." Jena merasakan lengannya disenggol, dan ia sudah tahu siapa pelakunya. Begitu ia menoleh, wajah Fina hanya berjarak sejengkal saja. "Apaan?" tanya Jena bingung. Fina memajukan kepalanya sengaja ingin membisikkan sesuatu pada Jena. "Jen, nama akhirannya sama kek kita. Ada 'Na'. Gimana?" Harusnya Jena sudah tahu apa yang sedari tadi dipikirkan oleh sahabat karibnya ini. Fina itu terobsesi dengan geng mereka, dan begitu mendengar bahwa si anak baru itu memiliki nama yang berakhiran sama dengan mereka, tentu saja Fina akan tertarik. Apalagi fakta bahwa anak baru itu juga berparas di atas rata-rata. Sudah Jena tebak. Jena hanya mengedik bahunya. Ia memalingkan wajahnya dan kembali menatap ke depan, si anak baru itu rupanya sedang bersiap menuju kursi kosong di belakang mereka. "Terserah lo, Pin," ucap Jena acuh. Ia membuka bukunya yang bersampul biru dan mulai memperhatikan guru mereka. Berikutnya ia mendengar suara pekikan gembira dari Fina yang tertahan, juga suara Bu Afni yang memulai kelas Sosiologi mereka. Jena kembali bersitatap dengan anak baru itu saat ia berjalan melewatinya. Dari jarak dekat Jena dapat melihat wajah Karina yang tersenyum manis ke arahnya. Dan memang benar, bahkan dari jarak sedekat itu, Jena merasa pori-pori wajah Karina pun cantik. Yang dapat diartikan, gadis itu sangat cantik. Jena membalas senyuman itu, dan berikutnya ia kembali fokus menghadap depan, jemarinya mengarahkan bolpoin untuk menuliskan kalimat di layar proyektor. Tidak seperti Fina yang langsung membalik badan dan mengulurkan tangan berkenalan dengan Karina. "Gue Syafina. Tapi temen-temen gue biasanya pada manggil Pina." Sebenarnya Jena senang memulai lingkaran pertemanan baru dengan murid baru itu. Siapa sih yang tidak ingin memiliki banyak teman? Semua orang ingin, termasuk Jena. Apalagi ia akan makin senang jika geng mereka mendapatkan tambahan anggota baru, artinya ia akan mempunyai teman baru lagi. Namun ... mengapa ada yang aneh dari jantungnya saat pertama kali ia melihat Karina? Sebuah perasaan yang sangat kentara ia rasakan begitu matanya bersiborok dengan manik mata Karina. Perasaan tidak suka. Tiba-tiba bolpoin di tangannya berhenti bergerak. Ada yang aneh darinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN