Jun tengah berada di kamarnya yang dalam kondisi remang itu. Lampu kamarnya dengan sengaja ia matikan, dan hanya menyisakan pendar sinar dari lampu belajarnya. Cowok itu menatap layar ponselnya sedari tadi dengan sangat lekat. Layar ponsel yang menampilkan isi chat miliknya dengan Jena. Bahkan terakhir kali mereka bertukar pesan yaitu saat dua hari lalu, tepat ketika Jena menanyakan tugas yang belum sempat gadis itu kerjakan.
Jun sebenarnya sejak tadi berniat mengirimkan pesan untuk Jena. Namun ia bingung memulai pesan tersebut. Biasanya, ketika mereka bertengkar, Jun lah yang paling sering mengajak berbaikan terlebih dahulu. Biasanya juga ia akan mengirim pesan seperti biasa, bagai tanpa ada masalah seperti sebelumnya. Atau mengirim stiker-stiker lucu agar Jena tertawa. Kemudian mereka akan begitu saja berbaikan.
Ya, biasanya semudah itu.
Namun mengapa sangat sulit ia lakukan saat ini?
Atau karena masalah kali ini sangat serius untuk mereka berdua?
Bahkan memang sebelumnya mereka tak pernah bertengkar hingga kemarin itu. Sampai Jena memberinya tatapan dingin begitu.
Jun ingin masalahnya dan Jena cepat selesai dan dapat kembali seperti biasanya. Hanya itu.
"Ah!"
Cowok itu menjambak rambutnya dengan frustrasi. Akhirnya ia melempar ponselnya ke atas mejanya dengan sedikit tekanan. Ia frustrasi, dan sangat bingung bagaimana menghadapi kemarahan Jena sekarang.
Tok Tok Tok
Jun menoleh ke arah pintu kamarnya, dan saat itu juga ibunya masuk ke dalam kamarnya. Cowok itu segera membenarkan posisi duduknya yang tadi tak karuan itu. Bahkan juga menyisir rambutnya yang tadi kusut itu setelah ia jambak sendiri.
"Bu," sapanya. Cowok itu seketika mengubah raut mukanya dan menampilkan wajah ceria seperti biasanya. Ia tersenyum.
Utami masuk ke dalam kamar putranya itu dengan perlahan. Kemudian mendekati putra bontotnya itu yang tengah duduk itu. "Belum tidur?" tanyanya lembut.
Wanita paruh baya berparas cantik itu membalas senyum Jun. Dielusnya dahi putranya itu. "Besok berangkat pagi, lebih baik kamu tidur sekarang, Nak."
Jun menganggukkan kepalanya sembari masih tersenyum. "Iya, Bu. Sebentar lagi," balasnya.
Cowok itu segera merapikan buku-bukunya di atas meja belajarnya. Kemudian dengan cekatan memasukkan buku-buku tersebut ke dalam tas ranselnya.
Utami hanya tersenyum. Lalu hanya memandangi putranya itu dengan sorot teduhnya.
Jun telah selesai mengemasi dan memasukkan peralatan tulis sekolahnya ke dalam tas sekolahnya. Kemudian cowok itu mendongak memandang ibunya. "Udah," ucapnya dengan senyum lebar. Seperti biasanya cowok itu cengengesan saat menatap ibunya.
Utami ikut terkekeh melihat putranya itu. "Kalau udah, sekarang tidur."
Jun tersenyum dan mengangguk. Namun ia masih terduduk di kursinya itu. Matanya melirik ke arah ponselnya yang masih menampilkan isi chat-nya dengan Jena itu. Cowok itu mencebik bibirnya kemudian menghela napas sesekali.
"Kamu berantem sama Jena?"
Pertanyaan tiba-tiba dari ibunya itu mengejutkan Jun. Cowok itu bahkan lupa kalau sejak tadi ibunya masih berdiri di belakangnya. Ia segera menoleh.
"Heum?" tanyanya dengan tatapan yang pura-pura bingung. Meskipun ia tahu ibunya tak dapat dibohongi begitu saja.
"Jangan pura-pura gak tahu. Ibu tahu kalau kalian berdua lagi berantem." Utami tersenyum teduh. "Iya, 'kan?" tanyanya lagi.
Jun menarik sudut bibirnya. "Ketahuan, ya?" Ia meringis. "Ibu selalu tahu kalau aku dan Jena lagi berantem."
Utami tentu saja mengangguk. "Jelas, dong. Kalian berdua sangat kentara kalau lagi berantem," jelasnya diselingi kekehan. Kemudian ia melangkah menuju ranjang Jun, dan duduk di atas kasur. Utami menghadap Jun yang menatapnya.
Ia menarik napas sebelum kembali bersuara. "Sini cerita ke Ibu. Ada masalah apa kalian berdua?"
Jun membasahi bibirnya yang mendadak kering. Ditatapnya ibunya itu yang masih menunggunya untuk bicara.
"Ada sedikit masalah sebenarnya, Bu. Tapi ..." Jun menjeda kalimatnya. Sesaat ia terpikirkan agar tidak menceritakan masalahnya dengan Jena. Itu ia lakukan agar ibunya tidak terlalu kepikiran.
"Enggak, Bu. Enggak apa-apa, kok. Biasa Jena lagi ngambek aja."
Akhirnya hanya itu yang bisa ia ucapkan. Cowok itu tersenyum lebar.
Utami mengerut dahinya. "Kamu yakin?"
Jun mengangguk. "Iya." Kemudian menyentuh punggung tangan ibunya. "Ibu gak perlu khawatir, nanti kami juga bakal baik lagi seperti semula."
Mendengar putranya itu tidak ingin berterus terang padanya, Utami hanya dapat tersenyum. Mungkin memang bukan urusaannya untuk ikut campur dengan permasalahan para remaja yang sedang pubertas itu. Sudah waktunya mereka menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Ya sudah, kalau gitu Ibu kembali ke kamar dulu."
Utami tersenyum setelah mengelus pelan rambut putranya itu. Selanjutnya, wanita itu melangkah mendekati pintu kamar Jun, namun dengan langkah pelan. Ia menunggu agar putranya itu mau sedikit berbagi tentang masalahnya. Bagaimanapun juga, jika ada pertengkaran, harus diselesaikan baik-baik bukan?
"Bu."
Dan benar saja, tepat saat Utami hendak menyentuh gagang pintu, Jun memanggilnya. Sontak ia segera membalik badannya. "Ya?"
Jun tampak menunduk, matanya seperti sedang mencari sudut untuk dipandang. Ia tampak gugup. Tangan cowok itu bahkan sesekali meremas tas ransel yang sedari tadi didekapnya itu.
"Jun boleh tanya sesuatu?"
Utami dengan antusias mengangguk meski Jun tak menatapnya. "Tentu saja. Boleh."
Kali ini Jun mendongak, kemudian menatap ibunya itu. "Kalau Ibu dihadapkan pada posisi harus memercayai teman Ibu yang mengatakan hal gak masuk akal, apa yang bakal Ibu lakuin?"
Utami tersenyum tipis. Akhirnya Jun mau berbagi sedikit hal yang ia pikirkan sedari tadi.
"Kalau Ibu dihadapkan pada posisi itu, tentu saja Ibu bakal percaya sama teman Ibu."
Jun tampak mendelik. "Serius? Meski yang dia katakan itu hal paling gak masuk akal sekalipun? Ibu tetap bakal percaya sama dia?" tanyanya beruntun.
Utami mengangguk lagi. "Iya, dong." Kemudian ia tersenyum menenangkan. "Tentu saja Ibu bakal percaya dengan apapun yang teman Ibu katakan. Karena ... dia teman Ibu," lanjutnya.
Utami kini melangkah mendekat ke arah putranya itu, lalu menepuk pundak Jun.
"Apalagi kalau dia minta untuk kita percaya dengan dia, itu artinya dia sudah sangat frustrasi karena gak ada lagi yang percaya dengan dia."
Jun masih terdiam. Ia menunggu kelanjutan kalimat dari Ibunya itu.
"Itu gunanya teman. Saling percaya pada apapun yang terjadi. Karena tugas seorang teman bukan hanya menemani, tapi juga untuk memercayai."
Jun tertegun mendengar kalimat yang diucapkan oleh ibunya itu. Hatinya bergetar. Darahnya berdesir.
Benar yang dikatakan oleh ibunya itu. Itu lah tugasnya untuk memercayai semua ucapan Jena. Meskipun hal yang paling tak masuk akal sekalipun.
"Bahkan dari semua orang yang ada di sana, gue berharap lo yang bisa gue percayai, Jun. Tapi lo sama sekali gak percaya sama gue!"
Tiba-tiba ucapan Jena hari itu terputar di ingatannya. Jun kini dihinggapi rasa bersalah.
Tidak seharusnya ia bersikap seperti itu pada Jena. Karena memang seharusnya ... ia memercayai Jena.
Apapun yang gadis itu katakan.
***