15- Di Aula

1215 Kata
Jun menguap lebar-lebar di tempatnya duduk sekarang. Cowok itu masih bertahan di dalam ruangan tempat anak-anak Teater berkumpul. Jun memang keras kepala karena terus mengikuti Jena hingga gadis itu rapat bersama anggota Teater sekalipun. Cowok bermata bulat itu melirik jam tangan di lengan kanannya. Ia berada di ruangan itu belum ada lima belas menit namun sudah mengantuk. Apalagi saat mendengarkan Gilang, si Ketua Ekskul Teater itu terus mengatakan kalimat-kalimat tentang rekrutmen yang tidak ia mengerti itu. Jun hanya mendengarnya samar-samar tanpa berani menimbrung apapun. Lagipula ia tidak punya hak apapun. "Jadi gitu aja, ya. Untuk pamflet rekrutmen jangan lupa juga disebar lewat snap i********: atau snap w******p kalian." Gilang mengucapkan kalimat itu dengan senyum terulas. Cowok itu kemudian melirik ke arah Jun yang juga menatapnya. Jun mengangkat lengan kanannya berusaha menunjukkan jam tangannya pada Gilang. Gilang akhirnya mengerti dan mengangguk dalam diam. "Kalau gak ada yang ditanyain lagi, rapat hari ini diakhiri. Sekian." Cowok itu menyudahi rapat anggota Ekskul Teater hari ini. Lalu Gilang mengedarkan tatapannya dan mendapati sebagian anggota Teater telah beranjak. Mereka serempak bangkit berdiri hendak meninggalkan ruangan itu. Termasuk Jena dan Jun. "Yuk, Jen," ucap Jun seraya mendekati Jena. Kemudian cowok itu menatap Gilang yang tengah berjalan ke arah mereka. "Udah, Jun? Mau langsung ke kelas?" tanya Gilang berbasa-basi. Jun mengangguk dan tersenyum. Tanpa membalas apapun lagi, cowok itu melihat Gilang ikut mengangguk. "Kalau gitu gue cabut duluan, ya." Gilang menepuk pundak Jun dengan pelan. Berikutnya cowok itu menyentuh bahu Jena sembari mengatakan, "Nanti lo yang kunci pintunya ya, Jen. Besok jangan lupa dibawa lagi." Jun mendelik matanya melihat Gilang bersikap santai menyentuh bahu Jena seperti itu. Namun cowok itu tak berucap apa- apa dan justru tersenyum saat Gilang kembali berpamitan pada mereka. Gilang sudah berjalan dengan cepat dan menghilang tertelan pintu. "Lo duluan aja, gue mau kunci pintu dulu." Jena berucap sembari membenahi buku dan pulpennya. Jun menggeleng dengan cepat. "Enggak. Gue tungguin." Jena yang tengah beranjak berdiri sembari mendekap bukunya itu pun menghela napas kasar. Ia harusnya tahu kalau Jun selalu menang melawannya. "Ya udah." Jena mencebik bibirnya dan berjalan mendahului Jun yang terkekeh di belakangnya. "Bukannya harusnya lo bersyukur karena punya penjaga yang ganteng nana baik kek gue?" Jun membanggakan dirinya masih berjalan di belakang Jena. Kemudian saat Jena membuka pintu dengan lebar, Jun segera melangkah ke luar dari ruangan itu. Jena kini menutup pintu ruangan itu dan dengan cekatan menguncinya. Ia diam, tanpa berniat menjawab kalimat Jun tadi. "Lo gak ngelihat anak-anak anggota Teater tadi itu? Mereka seneng berada satu ruangan sama gue." Jun masih membanggakan dirinya. Kemudian terkekeh sembari membenarkan poninya yang tadi mencuat. Ia menyandar pada pintu yang tengah dikunci Jena itu. Jena mengedik bahunya. Lalu setelah menyelesaikan mengunci pintu itu, segera ia masukkan kuncinya ke dalam saku roknya. Gadis itu kemudian menatap Jun dengan jengah. "Terserah lo." Selang beberapa detik berikutnya, gadis itu berjalan mendahului Jun yang masih menyandarkan tubuhnya di pintu itu. Jun tersentak dan meneriaki Jena sesudahnya. "Tungguin, Jen!" Jena bukannya menuruti apa yang Jun teriakkan, gadis itu malah makin berjalan dengan cepat hampir berlari. Masih mendekap bukunya itu Jena membalikkan badannya ke arah Jun dan memeletkan lidahnya. "Wle!" Jun mendecak sebal. "Hei!" Cowok itu bergegas menyusul langkah Jena dan mempercepat larinya. Dengan segera cowok itu sudah melesat dan berada di dekat Jena. Dan dengan sekali hap, lengan Jun sudah mendarat di bahu Jena, merangkulnya dengan erat. "Nah, ketangkep!" seru Jun dengan tawanya yang menggema di dalam aula besar itu. Jena yang memberontak tidak bisa melepaskan diri dari Jun yang mengurungnya. "Lepasin, Jun!" sergah Jena. Lalu masih berusaha menyingkirkan lengan Jun dari pundaknya. "Ketek lo bau!" "Bau?!" Jun serentak menoleh ke arah Jena dan memberi Jena pelototan. Kemudian muncul ide di otak jahatnya itu. Cowok itu makin mengurung Jena di dalam lengannya, bahkan membuat Jena hampir mencium aroma dari ketiaknya. "Nih, cium, nih!" Jun tertawa jahat di atas penderitaan Jena. "Ish, Jun!" Jena terus memberontak dan mencoba terlepas dari rangkulan Jun. Terkadang ia membenci dirinya yang sangat mungil dan pendek ini sampai membuat Jun senang sekali mem-bully- nya itu. Menyebalkan. Bahkan di ruangan yang besar itu hanya ada mereka berdua, yang membuat suara mereka menggelegar ke penjuru ruangan. "Anjir! Awas lo, ya!" Setelah berseru itu gadis itu segera menendang tulang kering Jun dengan keras. Tendangan itu membuat Jun melepas rangkulannya di pundak Jena. Ide itu Jena berhasil untuk membuatnya terbebas dan bernapas lega. "Aaa!" Jun berteriak dan memegangi betisnya. "Wle! Rasain!" Jena memeletkan lidahnya di depan Jun yang masih mengaduh itu. Kemudian segera berlari meninggalkan cowok itu hingga berhasil berjarak sepuluh langkah. Jena tertawa bahagia. Namun ia tidak mendengar langkah kaki yang menyusulnya. Jena membalikkan badannya dan menatap Jun yang masih mengaduh. Cowok itu bahkan berjongkok dan memegangi betisnya dengan gaya berlebihan itu. "Jun?" panggil Jena. Gadis itu masih tertawa. "Udah deh gak usah bercanda!" "Aduh, Jen! Beneran sakit banget ini!" Jun masih mengaduh dan ekspresi wajahnya tidak terlihat menipu. Ia terlihat sangat kesakitan. Jena mengerut dahinya. Apa tendangannya sekeras itu sampai membuat Jun kesakitan begitu? Gadis itu berjalan kembali mendekat ke arah Jun. "Sakit beneran?" Jun mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali. Namun tetap diam dengan raut yang sangat kesakitan. Jena mau tak mau mempercepat langkahnya hingga kini telah berdiri persis di depan Jun. Gadis itu segera berjongkok dan menyamai tinggi Jun. "Gak apa-apa? Mana yang sakit?" Jena panik di dekat cowok berbadan tinggi yang sekarang sejajar dengannya itu. Di saat Jena tengah khawatir dan panik menatap Jun, cowok itu kini malah membalik badannya dan tertawa lebar di depan Jena. "Hah! Lo ketipu!" Jun tergelak keras- keras di depan Jena. Cowok itu kini sudah terduduk sempurna di lantai aula besar itu masih tertawa lebar. "Ya ampun ngakak banget!" Jena yang menyadari jika dirinya dikerjai oleh Jun itu dengan segera menggeplak lengan cowok itu. "Ih! Nyebelin!" Jena masih memukuli tubuh Jun sedangkan orang yang mendapat pukulan itu malah terbahak. Hingga akhirnya pukulan Jena meleset dan membuat tubuh gadis itu terdorong ke depan. Tubuh mereka berdua tidak dapat menjaga keseimbangan, dan membuat Jena berakhir dengan jatuh menindih tubuh Jun. Hening melanda. Jun yang menyadari Jena berada di atas tubuhnya itu hanya dapat terpaku dan mematung. Begitu pun dengan Jena. Jena mengibaskan rambutnya yang terurai hingga ke depan wajahnya, yang kemudian dibantu oleh Jun untuk disingkapkan kembali ke telinganya. "Lo ...," ucap Jun terbata. Jena mengerjap berulang kali memandang wajah Jun yang hanya berjarak sejengkal darinya itu. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dan terus menatap Jun. Namun ketika ia mengerjap kembali, wajah Jun tiba-tiba berubah di depannya. Jun kembali berubah seperti yang ia lihat hari itu. Dengan mengenakan batik tradisional dan blangkon yang menutupi rambut cowok itu sepenuhnya. Jena mengerjapkan matanya untuk memastikan penglihatannya lagi, namun Jun tetap tak berubah. Bahkan kini makin jelas di wajahnya. "Kamu mau tetap ada di atas tubuhku seperti ini?" Apa? Bahkan suara Jun terdengar sangat berbeda di telinganya sekarang. "Jena!" "Andjani!" Jena masih tercengang dengan apa yang terjadi saat ini. Dan saat ia masih berusaha mencerna apa yang tengah terjadi itu, jantungnya berdetak sangat kencang, bahkan membuatnya kesakitan. Lagi-lagi seperti ada banyak peluru yang menembus jantungnya. Sangat sakit. "Aaa!" Jena meremas d**a kirinya itu mencoba agar mengurangi sakit yang menderanya. Matanya terpejam rapat. Jena tidak dapat mendengar apapun lagi sekarang, telinganya berdengung kencang, dan jantungnya sangat sakit. Jena benar-benar kesakitan. Ia sudah jatuh sepenuhnya ke dalam dekapan Jun. "Jen! Jena!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN