Jena berjalan cepat di tengah koridor yang akan membawanya menuju kelasnya. Gadis itu melangkah cepat tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang melihatnya itu. Jena mengabaikan tatapan siswa lainnya yang melihat aneh dirinya karena kini diikuti oleh seseorang di belakangnya yang terus memanggil-manggil namanya sedari tadi.
"Jena, tunggu!"
Jena mengabaikan panggilan itu. Gadis itu malah makin mempercepat langkah kakinya. Bahkan ketika orang itu mengejarnya, namun tetap saja Jena tak terkejar. Jena tetap berjalan dengan cepat.
Hingga akhirnya ...
Hap.
Orang yang sejak tadi mengejar Jena itu berhasil meraih Jena. Ia langsung menarik tangan Jena dengan sedikit paksaan, karena Jena pun meronta.
"Jen, tungguin gue!"
Orang itu, Jun, menarik Jena agar menoleh padanya. Kemudian Jun mengatur deru napasnya yang sejak tadi tak beraturan itu akibat berlari, kemudian melanjutkan ucapannya.
"Lo itu kenapa, sih?!" Jun meninggikan nada bicaranya.
Hal itu membuat banyak mata menatap mereka, menaruh perhatian di sekelilingnya. Jun kini mengedarkan tatapannya dan merasa risih ditatap oleh banyak mata para siswa yang berada di sekitar koridor itu. Karena tidak ingin membuat dirinya dan Jena menjadi pusat perhatian, Jun segera menarik tangan Jena kembali dan membawanya ke tempat yang lebih aman untuk bicara berdua. Cowok itu membawa Jena menuju tikungan kecil yang menjadi pembatas antara koridor kelas sebelas dan dua belas.
Meskipun Jena sedikit meronta namun tetap saja gadis itu mengikuti langkah Jun.
"Ih, Jun, lepasin gue!" seru gadis itu.
Jena menyentak tangan Jun begitu mereka sampai di tikungan itu.
"Apaan sih lo narik-narik gue?!" Jena berujar dingin sembari mengusap pergelangan tangannya yang sedikit memerah akibat cengkraman tangan Jun yang kencang tadi.
Jun merasa iba dan dengan cepat hendak menyentuh pergelangan tangan gadis itu, namun tentu saja segera ditepis oleh Jena. Cowok itu terkejut mendapati sikap kasar Jena padanya. Bahkan tanpa sebab yang ia ketahui.
"Lo kenapa, sih?!" Jun pada akhirnya membentak Jena. Namun sedetik kemudian cowok itu menyadari kesalahannya. Bahkan semarah apapun sebelumnya, ia tidak pernah membentak Jena.
Jena memberi tatapan kesalnya. Gadis itu mengulum bibirnya sebelum berkata. "Gue lagi sebel sama lo."
Jun mengernyit dahinya bingung. "Sebel? Kenapa?" tanyanya. "Salah gue apa?"
Gadis di depan Jun itu hanya mengalihkan tatapannya. Kemudian menatap Jun kembali dengan senyum tipis. "Cowok memang selalu gak sadar sama kesalahannya, ya."
Mendengar jawaban Jena dengan nada dingin seperti itu bukannya membuat Jun ikut kesal, malah kini cowok itu tertawa. "Lo kek lagi pe-em-es." Ia berkacak pinggang. "Udah, lo sebutin aja kesalahan gue apa sampai bikin lo jadi kayak gini."
Jena mendengus. "Lo bukannya belain gue di hadapan semua orang tadi, tapi lo malah ikut ngetawain gue," jelas Jena. "Gue 'kan jadi sebel jadinya."
Jun terkekeh kecil. Ia kini merasa Jena tidak semenyebalkan tadi.
"Jadi lo mau gue belain?" tanya cowok itu. Ia terkekeh sebelum melanjutkan lagi. "Maksud lo ... gue harus belain lo karena diledek udah halu gitu?"
Jena yang tadi mengangguk, kini mengerjap. "Lo bilang gue halu, Jun?" Ia memandang cowok itu tidak percaya. "Gue gak halu, ya! Gue emang beneran ngelihat sosok itu di tubuh orang yang gue kenal," sergah Jena menatap Jun dengan nyalang.
Jun yang masih berkacak pinggang kini menatap ke sekitarnya. "Gini, Jen ... tahun 2021 gini mana ada hal semacam itu? Ngelihat orang dari masa lalu dalam diri orang dari masa sekarang, apa itu masuk akal?" ujarnya.
Jena mengerjap. "Lo ... pikir gue gila?!" tanyanya dengan nada tercengang.
Suasana di tikungan itu sepi karena waktu istirahat telah berakhir beberapa menit lalu. Jun masih berdiri menatap Jena lekat-lekat.
Mata cowok itu mengerjap. Ia menyadari bahwa kalimat yang diucap olehnya tadi itu telah disalah artikan Jena. "Gue gak bilang lo gila, Jen."
Jena berdecak. "Terus apa?"
"Ya abis, lo aneh tiba- tiba jadi bahas kek gini," ucap Jun lagi. Namun sedetik berikutnya cowok itu mulai mengontrol emosinya lagi. Ia mulai memperbaiki nada suaranya. Tidak ingin membuat Jena salah paham lagi.
"Oke, sekarang lo kasih tahu ke gue, siapa orang itu ... orang yang sosok masa lalunya lo lihat di zaman sekarang?" Jun akhirnya menanyakan kalimat itu setelah ia kebingungan mencari pertanyaan lain.
Cowok itu bingung, dan sangat bingung menghadapi Jena yang mendadak menjadi seperti cenayang itu. Tidak mungkin 'kan kita melihat wajah orang di masa lalu yang serupa dengan orang di masa sekarang?
Bagaimana bisa?
Bahkan sejauh apapun Jun memikirkannya, hal itu tetaplah tak masuk akal.
Jena menatap Jun dengan nanar. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa sosok yang ia lihat itu adalah Jun. Bahkan di saat cowok itu tidak memercayainya.
Akhirnya Jena hanya berdecak, dan mengalihkan tatapannya. Gadis itu menatap kelas sebelahnya yang sedang mulai menyiapkan pelajaran berikutnya.
"Udah deh, lupain aja. Lagian lo gak bakal percaya sama gue."
Jun menganga menatap Jena hanya mengalihkan tatapannya, dan bahkan hendak melangkah meninggalkannya. Ia menarik lengan Jena dengan cepat.
"Tuh, 'kan. Sekarang gimana caranya gue mau percaya sama lo, kalau lo kayak gini?" tanyanya dengan nada meninggi.
Sejak tadi Jun sudah berusaha untuk menahan emosinya namun tak kunjung berhasil.
Jena makin berdecak dan menepis tangan cowok itu. "Lo bahkan gak percaya sama gue, Jun. Lo bilang gue halu. Jadi buat apa gue kasih tahu semuanya sama lo?"
Ia melanjutkan kalimatnya. "Bahkan dari semua orang yang ada di sana, gue berharap lo yang bisa gue percayai, Jun. Tapi lo sama sekali gak percaya sama gue!" Jena menatap Jun dengan kesal.
Jun ikut berdecak, kini tatapannya melunak. "Gak gitu maksud gue, Jen. Gue-"
"Bahkan di rumah, Mama gak percaya sama gue, sekarang gue cuma punya lo, malah lo gak percaya gue." Jena makin menatap Jun dengan kesal. Ia berdecih pelan sebelum melanjutkan lagi.
"Gue kecewa sama lo."
Setelah mengucap kalimat itu, gadis itu segera melangkah dengan cepat dan meninggalkan Jun sendirian. Ia berjalan cepat menuju kelasnya tanpa menoleh ke belakang lagi.
"Jen, bukan gitu maksud gue." Tangan Jun bahkan terlambat menahan langkah Jena itu.
"Jen! Jena!" serunya memanggil nama gadis itu. Jun segera melangkah menyusul gadis itu menuju kelas mereka.
Begitu sampai di dalam kelas, Jun meminta maaf pada gurunya yang tengah menjelaskan di depan kelas itu. Cowok itu segera melangkah menuju kursinya dan melirik ke arah kursi Jena.
Jena tampak tengah membuka bukunya dengan gerakan yang mengisyaratkan gadis itu sangat kesal. Bahkan ia tampak mengacuhkan Fina yang berada di sebelahnya.
Jun berdecak, ikut kesal melihat sikap Jena yang seperti ini. Bahkan Jena baru pertama kali bertingkah seperti sekarang ini. Aneh.
Baru saja ia hendak mengalihkan tatapannya dari Jena, ia melihat Fina memundurkan kepalanya agar dapat menatapnya.
Fina mengucapkan sesuatu pada Jun sembari membuat isyarat tanduk di kepalanya saat menunjuk-nunjuk Jena. Kalimat yang terucap tanpa suara dari Fina itu masih dapat Jun baca dengan jelas.
"Lo apain Jena sampai jadi marah begitu?"
***