Jena membuka jendela kamarnya dan langsung menghirup udara pagi yang menyegarkan. Ia memejamkan matanya sejenak saat menghirup udara pagi, selanjutnya gadis itu membuka matanya lebar-lebar dan menatap sinar matahari yang menyeruak itu.
Jena menarik sudut bibirnya, dan tarikan itu kian melebar hingga menerbitkan senyum nan cerah dari wajah cantiknya. Gadis itu mengingat hal apa yang terjadi kemarin padanya. Tentang Bayu yang mulai membuka hati untuknya, dan juga ... tentang Jun. Jena tidak tahu hal yang lebih membahagiakan di antara keduanya, yang jelas, pagi ini ia merasa senang bukan main. Hari minggu paginya kian sempurna.
"Jen ..."
Jena membalik badannya, menatap Mamanya yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu kamarnya. Bahkan Jena lupa kapan ia membuka pintu kamarnya sendiri itu.
Jena sudah mulai berbaikan dengan mamanya itu. Sekarang ia tak terlalu memusingkan apakah Mamanya itu mau mempercayainya atau tidak. Yang jelas, sekarang semuanya sudah cukup. Dengan adanya Jun yang mempercayainya, itu lebih dari cukup.
Lagipula ... tak baik juga lama-lama bermarah-marahan dengan Mamanya sendiri, bukan?
"Ya, Ma?" tanya gadis itu. Ia merapikan rambut panjangnya yang berantakan itu. "Ada apa?"
Marlina tersenyum. "Ada seseorang yang mau ketemu kamu," ucapnya. Ia tersenyum misterius.
Jena mengernyit. "Siapa?"
Ada tamu yang datang sepagi ini?
Em, sebenarnya tidak pagi juga sih, jam sudah menunjuk pukul delapan pagi dan Jena memang terlambat bangun tadi. Namun tak biasanya seseorang berkunjung ke rumah orang lain sepagi ini, 'kan?
Marlina terkekeh melihat ekspresi anak gadisnya itu. "Kamu mandi dulu aja, sana. Bau!" serunya berlebihan, ia bahkan sampai menutup hidungnya, benar-benar tampak seperti menahan bau tubuh Jena.
Jena mencebik bibirnya. "Ih, Mama!" protesnya. Enak saja Mamanya itu menyebut dirinya bau.
Ya, meskipun mungkin memang benar bau. Hihi.
"Siapa sih? Paling juga Jun, 'kan?" terka Jena sembari menunjuk-nunjuk arah luar pintu kamarnya.
Jun memang sering main ke rumah Jena, entah hanya sebatas main biasa atau membantunya mengerjakan pe-er. Namun Jena juga tak yakin bahwa Jun akan main ke rumahnya sepagi ini. Ia sangat mengenal seorang Arjuna Satya Permana itu. Sangat mengenal. Garis bawahi itu.
Tetapi ... siapa lagi kalau bukan cowok itu yang mau repot-repot di hari Minggu untuk main ke rumahnya?
"Kalau Jun mah Jena gak perlu mandi dulu, Ma." Gadis itu melangkah mendekati Mamanya. Kemudian dengan cepat membuat Mamanya itu tersingkir dari ambang pintu kamarnya.
Jena dengan mudahnya ke luar dari kamarnya, kemudian berlari menuju ruang tamu. Ia berniat menemui siapa sosok yang sepagi ini datang ke rumahnya. Dan tentu saja Marlina tak sempat untuk menarik anak gadisnya itu masuk ke dalam kamar untuk setidaknya membenarkan wajahnya yang masih berantakan itu.
"Jena!" seru Marlina. Ia akhirnya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sekali keras kepala, tetaplah keras kepala. Ia bahkan heran bagaimana bisa buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Ketika Marlina sudah memiliki watak keras kepala sejak dulu, Jena bahkan jauh lebih keras kepala darinya.
Jena tak menghiraukan seruan Mamanya itu. Ia segera mempercepat langkah kakinya menuju ruang tamu rumahnya. Bergegas hendak melihat siapa gerangan orang itu. Kaki Jena menuntunnya menuju ruang tamu dengan cepat. Hingga akhirnya ia sampai pada tembok yang hanya berjarak satu meter dari ruang tamu.
Sebelum Jena benar-benar sampai di ruang tamu itu, gadis itu dengan cepat mengintip dari balik tembok itu. Matanya dengan cepat membulat. Gadis itu melebarkan matanya, jauh lebih lebar. Ia mengerjap berulang kali, lalu mengucak kelopak matanya, siapa tahu kalau saat ini ia tengah berhalusinasi. Sayangnya orang itu tak hilang. Artinya ... orang itu memang benar-benar nyata, dan ia tak sedang bermimpi atau berhalusinasi saat ini.
Bibir Jena membulat, kemudian perlahan mulai menyebut nama orang yang dikenalnya itu. Sangat kenal malah.
"Bayu?"
Benar. Orang itu adalah Bayu.
Suatu keajaiban, tunggu, keanehan bahkan ketika Sang Ketua OSIS sekolahnya itu saat ini ada di rumahnya, tengah duduk sambil memainkan ponsel di ruang tamunya.
Si Ketua OSIS yang hari ini mengenakan kaos berkerah berwarna biru navy itu, dengan celana jeans denimnya. Ditambah jam tangan yang melingkari tangan kanannya, menambah kesan maskulin.
Bayu yang sudah ganteng itu, kini makin bertambah ganteng dengan pakaian casual itu.
"Gue ... gak mimpi?" tanyanya lirih.
Jena sontak menepuk dan mencubit pipinya dengan keras, kemudian reflek menjerit kesakitan. Jeritan itu sangat keras.
Bahkan sampai membuat Bayu yang sedari tadi menunduk untuk memainkan ponsel, kini mendongak dan mendapati Jena yang tengah mengintipnya itu. Mata Bayu melebar seketika.
Jena mendelik lebar. Ia tertangkap basah sekarang.
Tunggu!
Apa yang harus ia lakukan dengan wajahnya yang penuh minyak dan rambut yang berantakan sekarang di hadapan orang yang ia sukai itu?!
Harusnya ia mendengarkan perkataan Mamanya tadi. Ia menyesal sekarang.
"Mampus gue!" batin Jena meraung.
***
Jena telah mandi, mengenakan pakaian rapi, mengucir rambut panjangnya, lalu menyemprotkan parfum pada seluruh tubuhnya. Tak terlewatkan barang sejengkal pun parfum itu. Itu semua ia lakukan demi Bayu.
Sekali lagi Jena berdehem di depan Bayu yang masih terdiam memandanginya. Baru selang beberapa detik berikutnya, gadis itu mulai berani membuka bibirnya.
"Ada apa lo ke sini ... sepagi ini?" tanya Jena langsung, tanpa basa-basi sedikitpun. Ia tersenyum, namun masih menyembunyikan raut malunya karena ulahnya beberapa menit lalu.
Mendengar pertanyaan dari Jena, entah mengapa membuat Bayu tiba-tiba geli. Ia gemas sendiri dengan tingkah Jena. Cowok itu terkekeh bahkan menyerupai tawa lebar.
"Lo ..." Ia menjeda kalimatnya sejenak untuk menarik napas. "... lo sekarang udah pede bicara sama gue setelah mandi dan berpakaian rapi seperti ini?" tanyanya dengan kekehan lebar.
Pipi Jena seketika merona. Ia ketahuan berpenampilan berbeda. Bayu sudah melihat bareface miliknya, bahkan yang sangat memalukan. Jena menyesali tindakannya yang ceroboh itu.
"Gue ... gue emang tadi mau mandi, kok," alibinya. Ia menatap sekelilingnya, mencari sudut untuk ditatap. Sangat jelas ia tengah berbohong sekarang.
Bayu terkekeh. "Lagian lo gak perlu mandi dulu terus dandan rapi kek gitu, kalik," ucap cowok itu. "Gue juga ke sini gak akan lama-lama, kok," sambungnya.
Jena mengernyit. Tampaknya ia sudah terlanjur ge-er tadi.
"Terus?"
Bayu kini memasang raut yang biasa ia tampilkan di depan umum, datar. Cowok itu kini mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Dua buah kertas kecil ia keluarkan dari sana, lalu segera ia serahkan pada Jena.
"Gue mau kasih ini."
Jena mengernyit. Ia membaca satu per satu kalimat yang tertera dalam dua buah kertas kecil itu, yang ternyata adalah dua buah tiket.
"Tiket pementasan drama SMA Bunga Karya? Ini pementasan dari ekskul Teater sekolah sebelah?" tanyanya tak yakin. Ia mengernyit dahi lebar.
SMA Bunga Karya terkenal dengan Ekskul Teaternya yang selalu ludes tiketnya setiap ada pementasan itu. Bahkan ketika ada perlombaan antar Ekskul Teater, sekolah itu selalu menyabet juara pertama. Ekskul Teater milik Jena hanya dapat berlega hati saat menempati juara ketiga atau kedua.
"Iya." Bayu mengangguk.
Ia menunjuk dua tiket yang tengah digenggam Jena itu. "Kita perlu nonton pementasan drama dari Ekskul Teater sekolah sebelah yang sudah menyabet juara pertama itu, 'kan?"
Jena terdiam.
Bayu melanjutkan. "Hitung-hitung observasi, dan lo bisa ambil ide konsep mereka buat acara kita nanti." Cowok itu kini menarik sudut bibirnya.
"Acaranya besok?" Jena menatap Bayu dan dua tiket itu bergantian.
Bayu mengangguk lagi. "Iya. Besok sepulang sekolah, kita bisa ke sana bareng."
Jena tersenyum lebar. Melihat Bayu yang jauh-jauh ke rumahnya hanya demi memberinya tiket itu, membuat hatinya menghangat.
"Lo jauh-jauh ke sini, sepagi ini, cuma demi kasih ini ke gue?" tanyanya diiringi oleh wajahnya yang merona.
Bayu tiba-tiba terbatuk. Matanya mengerjap berulang kali. Namun dengan cepat ia menetralkan dirinya.
"Jangan ge-er!" sergahnya. "Gue tadi kebetulan lewat daerah sini. Terus gue juga lihat toko roti lo, jadi gue mampir," sambungnya dengan nada gelagapan.
Jena tersenyum. Ia tak peduli Bayu berbohong atau jujur sekarang, namun yang jelas, saat ini ia sangat senang.
"Oke, besok kita ketemu lagi," serunya antusias.
Rasanya Jena tak mau menunggu sampai besok. Ia ingin cepat-cepat berganti hari agar bisa segera datang ke pementasan drama itu. Dengan Bayu. Iya, hanya berdua saja dengan Bayu.
"Oke." Bayu menyahut dengan cepat. Cowok itu segera beranjak dari duduknya. Lalu bangkit untuk pamit dari sana.
"Gue pulang dulu."
Berikutnya, cowok itu sudah melangkah ke luar dan melangkah menuju pekarangan rumah Jena. Langkah Bayu yang makin menjauh itu diiringi oleh lambaian tangan Jena dan senyum lebar yang tak lepas dari wajahnya itu.
***
Nawang melebarkan matanya memandang sosok pemuda yang melewati pekarangan rumah, mengenakan baju khas anak muda zaman sekarang itu, dari jendela kamarnya. Ia teringat seseorang ketika memandang sosok itu.
Dengan cepat seluruh ingatan masa lalunya hinggap di otaknya, terputar sangat jelas, bagai susunan film. Ia menjerit. Menangis tak karuan. Membuat suasana rumah yang tadinya tenang, menjadi bising.
Jena dan Marlina kelabakan menuju kamar wanita usia renta itu. Ditambah lagi harus menenangkan Nawang yang makin histeris menjerit tak karuan.
***