6. Tujuan utama

1586 Kata
Kepala pelayan meminta Darren Wei agar menunggu sampai Rose Guan bangun. Sebagai pengawal utama yang artinya, paling dekat dengan Rose Guan, tugas Darren adalah selalu melindungi Rose. Namun, dia agak heran, bahkan di dalam rumah sekalipun mereka memintanya menemani Rose. Bagaimana jika gadis itu terbangun—mendapatinya di sana dan menuduhnya yang tidak-tidak? Darren segera bangkit, matanya mencari-cari tempat duduk agar lebih jauh dari Rose. Dia tidak ingin gadis itu salah paham saat bangun nanti karena hanya akan menimbulkan kekacauan yang tidak perlu. Dia melangkah ke sebuah jendela yang tak tertutup. Kemudian duduk pada bingkai jendela, memandang ke arah luar. Saat ini berada di lantai dua, Darren di suguhkan pemandangan di samping kediaman itu. Kediaman luas, bahkan lebih luas dari kediaman Nie. Perlahan-lahan Darren menghirup segarnya oksigen di tempat itu. Pasalnya sebelum menjadi pengawal bagi keluarga Nie, Darren hanya bekerja panas-panasan, dan kadang sampai melukai dirinya. Masih banyak lagi pekerjaan Darren yang bisa dikatakan mengancam nyawanya. Darren memejamkan mata phoenix-nya yang berwarna cokelat terang. Angin membelai rambutnya dari luar dan menghalangi sampai pada Rose Guan. Ketika membuka mata, Darren tanpa sadar menoleh pada Rose. Gadis manja ini hanya tahu cara menghabiskan uang. Hanya tahu mencari masalah. Darren tersenyum menyeringai kala memerhatikan gadis itu, lali berkata dalam hati. “Tak lama lagi semua ini akan berakhir.” Detik kemudian ponsel Darren berdering, menyebabkan nada keras terdengar lantaran ia lupa mengatur nada senyap pada ponselnya. Pada saat itu pula buku dalam pelukan Rose Guan terjatuh. Dan gadis itu mengusap matanya. Darren Wei turun dari bingkai jendela. Mematikan panggilan tanpa melihat si pemanggil. Gawat! Dia sudah membangunkan Rose. Membangunkan beruang putih itu. Ya, karena kulitnya sangat putih, mulus dan tanpa cela. Namun, sayang sekali Rose Guan terlalu galak, sehingga Darren menjulukinya sebagai beruang putih. “Darren Wei,” ucap Rose dengan nada serak sambil menegakkan punggungnya. “Apa yang kau lakukan di sini?” bentaknya seketika itu. Darren sedikit membungkuk. Bagaimanapun juga gadis ini adalah atasannya. “Kepala pelayan meminta saya menunggu Nona sampai terjaga. Oh, ya, saya juga sudah membuatkan teh.” Rose mendelik tajam pada Darren, lalu mengalihkan pandangannya pada teko di atas meja. Kemungkinan teh itu sudah dingin sekarang. “Kau memintaku minum teh yang sudah dingin ini? Darren Wei, apa kau tidak bisa bekerja lebih baik lagi?” Darren menarik napas panjang, berharap agar tak marah pada Rose. Berharap agar kesabarannya bertambah beberapa persen hari ini. Dia tersenyum paksa pada Rose. “Saya akan meminta pelayan—” Tangan Rose terangkat memperlihatkan telapak tangannya di depan wajah, sehingga Darren berhenti berucap. “Tidak usah bicara formal padaku. Aku sakit kepala mendengarnya.” Gadis ini sungguh berhasil mempermainkan kesabaran Darren. Darren sangat tahu apa posisinya dan bagaimana harus berucap. Akan tetapi, jika itu yang Rose inginkan, maka dia menurut saja. “Baik, Nona.” Darren berjalan mendekat, lalu berhenti di depan meja sofa. Mencondongkan tubuhnya ke depan, sedangkan tangan rampingnya mengambil nampan berisi teko teh dan satu cangkir tersebut. “Lain kali jangan temani aku ketika tidur siang,” ucap Rose ketika Darren sudah berada di belakang pintu dan siap membuka pintu tersebut. Dia menengok ke belakang. “Aku mengerti.” Tangan kanannya meraih knop pintu, sedangkan tangan kirinya menopang nampan dengan seimbang. Darren pergi ke dapur guna menghangatkan teh. Hanya berharap agar Rose tidak kembali tidur dan menyia-nyiakan usahanya ini. Darren sudah bersusah payah. “Jadi, dia merebut posisi utama hanya untuk menjadi pelayan?” seseorang terdengar menyemburkan tawa setelah berkata demikian. Sangat jelas terdengar di telinga Darren Wei, tetapi hanya dianggap angin lalu oleh Darren. Mendengar suaranya saja Darren sudah tahu orang yang berucap barusan, yang tak lain adalah rekan satu timnya. “Dia pura-pura tidak mendengar. Apa perlu aku layangkan tinju? Haha!” Masih tak terpengaruh oleh ucapan pria itu, Darren melanjutkan langkahnya menuju dapur. Ia ingat harus bekerja di sini, bukannya bergosip seperti wanita. Suara mereka tak lagi terdengar saat Darren melenggang dengan cepat. Sesampainya di dapur dia kembali mendapatkan tatapan tak senang dari para juru masak yang notabene dapur adalah kekuasaan mereka. “Maafkan aku harus kembali ke sini. Tapi, Nona memintaku membuatkan teh baru.” “Pengawal Darren, biar saya yang membantu Anda.” Itu suara Lidya yang cepat-cepat menghampiri Darren dengan penuh semangat. Lidya merampas nampan di tangan Darren, lalu meminta Darren mengikutinya. “Sepertinya Anda sudah terbiasa menghadapi Nona. Sebenarnya, Nona orangnya baik, tapi hanya kurang kasih sayang saja—” “Lidya.” Seseorang memotong ucapan Lidya. Membuatnya tersentak bukan kepalang. Bahkan, Darren ikut menolehkan tatapan pada wanita yang baru saja berucap. Wanita itu mengenakan seragam hitam; rapi. Rambutnya disanggul ke atas. Roknya hanya sampai di bawah lutut dan kakinya berjalan anggun mengenakan sepatu pantofel hitam dengan hak. Langkahnya berhenti di depan Darren dan Lidya. Sementara Lidya menunduk dalam-dalam, Darren menatap lekat pada wanita berwibawa itu. “Lidya Wu, jangan berkata yang tidak-tidak kepada orang baru.” “B-baik pengasuh Liu.” Lidya berucap terbata-bata. Pengasuh Liu beralih menatap Darren. “Silakan kerjakan tugas dari Nona. Jangan terlalu banyak mengobrol ketika bekerja. Hal itu akan membuang waktu.” Selain kepala pelayan, masih ada pengasuh Liu yang, bahkan memiliki wibawa tinggi. Darren berpikir siapa wanita ini sebenarnya. “Pengawal Wei, masih ingin berdiri berapa lama lagi?” Pengasuh Liu bertanya dengan nada sarkasme. Darren sedikit menunduk ketika mendapatkan kesadarannya. “Saya kerjakan,” katanya dengan sopan. Pengasuh Liu segera melenggang pergi. Lidya bisa menarik napas lega, menoleh pada Darren yang terlihat tenang. “Kau tahu siapa wanita itu?” Darren menggeleng. “Dia adalah pengasuh Nona sekaligus orang kepercayaan. Posisinya di rumah ini sangat tinggi. Kau harus berhati-hati padanya, jangan sampai mendapatkan kritikan atau ..., bahkan Nona akan membencimu.” Darren mengangguk. Sekarang mengetahui bahwa ada posisi sepenting itu di dalam rumah ini. Melihat wanita itu, Darren teringat akan bibinya. Perasaan sedih yang menggumpal dalam darahnya, menyulut emosi Darren. ** Rose Guan menatap Darren dengan curiga dari balik cangkir tehnya. Sementara Darren hanya berdiri dengan tenang. Dia tidak mengharapkan pujian apa pun dari Rose Guan. “Sore ini aku ada janji dengan Esme. Berpakaianlah yang rapi dan jangan mempermalukan aku,” katanya dengan nada memerintah. Esme? Nama ini terdengar tidak asing di telinga Darren. Hatinya tergelitik untuk bertanya. “Apakah yang kau maksud, Nona Esme dari keluarga Song?” Rose Guan mendelik tajam. Meletakkan cangkir tehnya lalu berdiri. Pertanyaan Darren barusan sedikit terdengar aneh baginya karena ada nada antusias di dalamnya. Rose mengitari Darren sambil menatapnya lekat-lekat. “Ada apa?” tanya Darren. Agak risi dengan tingkah Rose, tetapi tak mampu untuk mengatakannya secara langsung. “Ah, tidak heran kau bertanya. Nona Muda Song memang cantik dan bertalenta. Tapi, jangan terlalu berharap Darren Wei. Dia bukan levelmu.” Rose dengan iba menepuk pundak Darren seolah-olah sedang memberitahu agar Darren tahu diri sedikit. Mereka tidak berada di level yang sama untuk bisa bersama. Darren memutar bola mata tanpa sepengetahuan Rose. Tidak apa-apa jika gadis ini menganggap berlebihan begitu. Di balik semua itu Darren merasa senang. Keuntungan ternyata lebih besar bekerja dengan Rose Guan daripada dengan Zack Nie. Darren tidak mendapatkan apa pun selain gaji bulanan dan sedikit bonus. Akan tetapi, tujuan utamanya bukan itu. Sekarang Rose Guan tampaknya bisa mengantar Darren pada tujuan utamanya. “Kau mengerti, tidak? Kasihan sekali,” ejek Rose sambil tersenyum memperlihatkan betapa manisnya bibir mungil itu. Darren mengabaikan ejekan tersebut, melirik pada arloji yang mengikat pergelangan tangan kanannya. “Sudah pukul setengah empat sore. Sepertinya kau perlu berdandan. Aku dengar Tuan Muda Song adalah pria jenius yang tampan juga masih lajang.” Seketika itu muka Rose memerah. Dia mendengus pada Darren dan menghentikan kakinya seperti anak kecil. Kemudian pergi dari ruang istirahat tanpa berkata-kata. Tampaknya Darren berhasil membuat Rose kesal. Setelah benar-benar tidak ada siapa pun lagi di ruangan itu, Darren mengambil ponselnya. Dia ingat tadi seseorang menghubunginya dan belum sempat mengambil ponsel. Melihat panggilan tak terjawab itu dari Seth Liu, Darren segera menekan nomor pria itu. “Laoda,” ucap Darren. “Kau menghubungiku tadi?” “Iya. Apa kau betah di sana?” “Hm, begitulah,” Darren menjawab singkat pertanyaan bosnya. “Tapi, kita harus berterima kasih pada Zack Nie karena telah mengirimku kemari. Kita semakin dekat dengan keluarga Song.” ** Darren Wei membukakan pintu mobil sambil sedikit membungkuk. Dia tampak diawasi oleh rekan-rekan kerjanya. Merupakan hari pertamanya bekerja dan mengantar Rose ke luar kediaman. Bukan hanya dia saja, tetapi seseorang lainnya juga ikut bersama. Rose tampak cantik mengenakan gaun ungu dihiasi beberapa berlian Swarovski pada kerahnya. “Mengapa dandanannya seperti pergi ke pesta?” pikir Darren. “Darren Wei, apa kau sangat suka melamun? Kau mau membuatku kesal setiap saat? Tutup pintunya,” bentak Rose, sehingga Darren menjadi bahan tertawaan banyak pengawal. Namun, tentunya mereka tertawa diam-diam. Dia segera menutup pintu dan masuk ke kursi depan. Pengawal lainnya atau bisa disebut rekan kerjanya yang mengemudikan mobil. “Sudah tahu salah, tidak minta maaf pula,” sindir Rose. “Kau begitu ingin mendengar permintaan maaf dari seorang pengawal?” Tatapan tajam mengarah pada Darren. “Memangnya kenapa?” Darren, malah mengulas senyum. “Kau terdengar haus akan mendengar permintaan maaf,” katanya tanpa rasa takut, sedangkan rekannya sudah mengeluarkan keringat dingin. Sesekali pria itu melirik pada Darren Wei sambil menelan saliva. “Mengapa Darren Wei sangat berani melawan Nona? Apa dia pikir bisa menghadapi kemarahan Nona Rose?” Lelaki itu sudah bergidik ngeri, tetapi Darren Wei tampak sedang menantang Rose Guan. “Kalungmu terlihat bagus dan kau terlihat manis. Mungkin Tuan Muda Song akan menyukainya.” “Darren Wei!” teriak Rose Guan, hampir membuat rekan kerja Darren menginjak rem.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN