“Kenapa dia menginginkan aku membuatkan teh?”
Pertanyaan pelayan terulang dalam benak Darren. Tentu saja Darren tahu alasannya, tetapi memilih untuk diam dan hanya tersenyum pada pelayan itu. Berkat senyum itu pula si pelayan wanita lupa akan pertanyaannya, hingga tak sadar sudah mengantarkan Darren sampai dapur. Namun, tatapan pelayan wanita yang sangat mengagumi Darren terlihat jelas tak mau melepaskan Darren. Darren tak mau kalau-kalau perempuan itu menabrak dinding karena hanya fokus menatapnya.
Maka dari itu, Darren bersuara saat langkah kaki mereka telah berhenti di ambang pintu dapur. “Terima kasih.”
Ucapan Darren segera menyadarkan pelayan wanita itu. Tiba-tiba dia menundukkan kepala, dan wajahnya terasa sedikit panas. Perempuan itu berucap malu-malu, “Tidak perlu berterima kasih. Katakan saja siapa namamu.”
Sejak tadi Darren lupa memperkenalkan diri. Itu karena dia merasa tidak perlu, tetapi sekarang tentu saja harus memperkenalkan diri. “Perkenalkan, aku Darren Wei, pengawal Nona yang baru.”
Perempuan itu tak bisa menutupi keterkejutannya sampai-sampai mulutnya menganga beberapa detik. Seorang pengawal?
“Apa aku bisa masuk ke sana? Mohon bantuanmu,” kata Darren membuat perempuan itu memiliki mata yang lebih bersinar daripada sebelumnya.
“Dengan senang hati, pengawal Darren. Oh, ya, kau bisa memanggilku Lidya Wu. Lidya,” katanya menekankan namanya yang terdengar cantik.
“Baiklah Lidya.”
Jiwa wanita itu seolah bisa dicabut kapan pun mendengar suara Darren mengucapkan namanya. Dan tingkahnya terlihat aneh di mata Darren.
“Apakah semua orang di sini sama anehnya seperti Rose Guan?”
Tiba-tiba Darren teringat Rose berpesan padanya agar jangan lama-lama membuatkan teh. Meskipun sudah sampai di dapur, tetapi Darren sangat ingat tidak tahu cara membuat teh. Bosnya belum mengajari hal itu padanya, karena katanya seorang pengawal tidak perlu membuat teh. Itu tugas seorang pelayan, dan dia bukanlah pelayan. Namun, sayang sekali karena di mata Rose Guan, dia sama saja seperti pelayan.
“Si sialan Rose Guan.”
Darren hanya ingin memaki gadis itu kapan saja dia ingat perlakuan gadis itu padanya. Tiba-tiba langkah Darren terhenti berkat dering ponselnya. Darren segera menghentikan langkahnya, merogoh ponsel dari saku jasnya. Dia melihat nama si penelepon dan membuatnya merasa geram.
“Kenapa kau tak mengangkat teleponmu?” Lidya bertanya, membuatnya mendapatkan kesempatan melihat wajah Darren.
“Aku akan mengangkatnya di luar.” Gegas Darren melangkah berlawanan, menatap ke kanan dan kiri sebelum menjawab telepon tersebut. Dia berhenti di balik dinding tak jauh dari dapur setelah mengetahui tidak ada siapa pun.
“Kenapa lama sekali menjawab teleponku?!” Zack Nie membentak dari seberang telepon.
Wajah Darren memperlihatkan ekspresi datar. Zack Nie bukan lagi tuannya yang harus Darren lindungi. Jadi, apa hak pria itu membentak Darren?
“Tuan Muda Nie, sepertinya kau lupa telah menjadikan aku sebagai taruhan dan sayangnya kau kalah. Apa kau memintaku kembali dari sahabatmu—Rose Guan?” sinis Darren.
“Tidak. Tidak. Aku, malah senang kau bekerja untuk Rose. Aku hanya menelepon karena aku dengar Rose menjebloskanmu ke dalam penjara. Oh, Darren Wei, kau sungguh lancang. Jika itu aku, aku pasti sudah membunuhmu.”
Membunuh Darren Wei? Apa Zack Nie yakin memiliki kemampuan itu? Darren tidak yakin, tapi yang Darren yakini hanya dengan satu tendangan, maka Zack Nie akan terlempar hingga dua meter jauhnya.
“Dengar Darren Wei, kau selalu menyombong. Tapi, kita lihat apa kau masih bisa menggonggong setelah berada dalam kuasa Rose. Hahaha!”
Darren segera mengakhiri panggilan tersebut dengan menekan tombol pada layar ponselnya. Berbicara dengan Zack Nie adalah suatu kebodohan dan harus segera berakhir. Jika tidak Darren akan sama bodohnya dengan pria itu.
Sekarang yang harus Darren lakukan ialah membuatkan teh untuk Rose sebelum gadis itu mendatanginya dengan ekspresi kesal dan ingin memakan Darren, atau yang lebih parah lagi mengirimnya ke kantor polisi seperti semalam.
Pada saat ia akan masuk ke dapur, tiba-tiba seorang kepala pelayan mendatangi Darren. “Pengawal Wei.”
Darren berhenti seketika mendengar seruan itu. Membalikkan badan untuk mendapati seorang yang lebih tua berhenti di hadapannya. “Pengawal Wei bisa ikut saya sebelum membuatkan teh untuk Nona.”
Hati Darren terketuk untuk bertanya. “Boleh aku tahu alasannya?”
Kepala pelayan tersenyum. “Nona berpesan agar Anda membersihkan diri terlebih dahulu sebelum membuat teh. Anda belum mandi sejak tadi malam, bukan?”
Oh! Darren tidak lupa akan hal itu. Hanya saja Rose Guan terus mendesaknya. Dengan begitu Darren menyetujui kepala pelayan dan mengikuti langkah pria itu. Memang seharusnya dia membersihkan diri terlebih dahulu sebelum bekerja. Entah itu sebagai pengawal pribadi atau sebagai pelayan Rose. Untuk sementara Darren harus melaksanakannya.
Kepala pelayan membawa Darren ke sebuah koridor. Dan koridor ini mengarah ke sebuah pintu belakang. Tampaknya mereka akan pergi ke kamar para pengawal. Setelah ini mungkin Darren akan menyapa para pengawal lain dari kediaman Guan. Setidaknya, Darren bisa menjalin relasi dengan mereka.
Kepala pelayan menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah yang tak jauh dari rumah utama. Dan di sana ada beberapa orang berseragam hitam, badan mereka kekar dan tinggi, yang tak lain adalah beberapa pengawal kediaman Guan.
“Ini akan menjadi tempat tinggal Anda,” kata kepala pelayan.
Darren Wei tak terkesima ataupun terkesan. Ekspresinya juga terlihat biasa tak seperti yang kepala pelayan ingin lihat.
“Pengawal pilihan Tuan Besar memang berbeda.” Kira-kira begitu benak kepala pelayan saat menoleh pada Darren Wei.
Kediaman para pengawal juga cukup mewah, meski mereka hanya seorang pengawal. Di sana sudah tersedia ruang fitness, instruktur pribadi dan dokter pribadi untuk mereka. Keperluan mereka juga lengkap, sehingga menjadi pengawal keluarga Guan membuat mereka terlihat elite. Belum lagi jika memiliki jabatan yang lebih tinggi, maka mereka akan terlihat berkuasa di antara pengawal lainnya.
Darren kembali mengikuti langkah kepala pelayan, melewati beberapa pengawal dan pintu-pintu kamar yang tertutup. Mirip seperti asrama laki-laki, tetapi hanya lebih mewah saja.
Langkahnya terhenti kala kepala pelayan berhenti di depan sebuah pintu. “Ini kamar Anda. Cepat bersihkan diri dan kembali ke dapur sebelum Nona memarahi Anda,” pesan kepala pelayan yang segera undur diri dari sana.
“Terima kasih,” ucap Darren sambil membungkukkan badan pada kepala pelayan yang sudah menjauh dari kamarnya. Darren kembali menegakkan punggungnya dan berbalik. Tangannya meraih gagang pintu, tetapi sebelum pintu itu berhasil dibuka, Darren meraih sebuah tangan yang menyentuh bahunya dengan tekanan kuat. Dia memutar lengan orang itu dengan sedikit kekuatan.
“A-a-ah sakit.”
“Baru saja sampai sudah membuat masalah,” kata seseorang sambil menggeleng. “Lepaskan dia. Dia hanya ingin menyapamu,” imbuhnya. Lelaki itu tersenyum pada Darren dan berjalan menghampiri.
Dengan begitu, Darren melepaskan tangan orang itu. Akan tetapi, dia tidak memiliki ekspresi apa pun di wajahnya.
Pria tadi berhenti di hadapannya, para pengawal lain segera menyingkirkan diri membentuk barisan di sisi kiri dan kanan seolah-olah mereka sedang menyambut ketua mereka.
“Selamat Darren Wei, kau berhasil mendapatkan posisi ini meski baru sehari kau menjadi pengawal Nona.” Dia mengulurkan tangan pada Darren, tetapi dengan cepat ditarik kembali.
“Tidak punya sopan santun. Setelah mengambil posisi ketua kami, kau bahkan tidak memberikan salam.” Seseorang berkata dengan nada sarkas.
Ketua? Apakah Darren telah mengambil posisi pria ini?
“Terima kasih. Sepertinya aku tidak perlu memperkenalkan diri karena kalian sudah tahu namaku.”
Darren membalikkan badan, kembali menarik gagang pintu dan masuk ke dalam, tanpa menoleh pada rekan-rekan kerjanya. “Tampaknya akan sulit berteman dengan mereka.”
**
Pakaian rapi membalut tubuh tinggi atletisnya, Darren Wei keluar dari kamar setelah puas memerhatikan dirinya di depan cermin. Ia menarik knop pintu, matanya mendapati beberapa pengawal masih berada di luar kamar mereka.
Dengan kesopanan yang semestinya ia jalin dengan mereka, Darren sedikit menunduk pada mereka. Setelah itu, berjalan lurus ke depan. Ia masih ingat harus membuatkan teh untuk Rose. Jika tidak, mungkin dia akan memutuskan berbincang sebentar dengan mereka dan membuat pertemanan. Caranya tadi terlalu kasar dan mungkin orang-orang itu sudah menganggapnya sombong.
“Angkuh sekali. Ketua apa kita akan diam saja?” pria yang tangannya hampir dipatahkan oleh Darren bertanya pada lelaki yang mereka anggap sebagai ketua.
“Aku bukan lagi ketua kalian. Kita lihat saja sampai mana dia berhasil menyombongkan diri. Hanya kita yang tahan dengan perlakuan Nona Rose. Kau tahu sudah berapa pengawal yang hampir mati kesal karena Nona Rose? Darren Wei akan berakhir sama seperti mereka,” tutur pria itu sambil menyeringai tajam.
“Tapi, aku tidak yakin,” seseorang menimpali, membuatnya mendapatkan tatapan tajam dari pengawal lainnya.
Darren Wei sampai di dapur dan mendapati tatapan para juru masak mengarah padanya. Rasanya sedikit tidak nyaman karena mereka juga memberikan tatapan tak nyaman pada Darren.
“Apa maksudmu kepala pelayan? Mengapa membawa seorang pengawal ke dapur?” Darren yakin orang ini adalah kepala juru masak yang memiliki otoritas atas dapur ini.
Dia hanya dapat menghela napas. Kapan semua perdebatan ini akan berakhir? Bisa-bisa Rose mencarinya dengan marah jika dia terus berlama-lama.
Kepala pelayan berkata, “Nona Rose telah berkata dan kami hanya bisa menuruti. Anda juga harus menuruti keinginan Nona Rose, kepala juru masak. Anda sendiri tahu bagaimana kemarahan Nona Rose jika dibiarkan menunggu.”
Kepala juru masak tampak berpikir dan benar apa yang kepala pelayan katakan. Rose memang orang berbahaya bagi kelangsungan karier mereka di kediaman Guan. Rose bukan hanya putri kesayangan, tetapi juga putri satu-satunya penerus keluarga Guan. Gadis itu memiliki kekuasaan mutlak dan tidak dapat diganggu siapa pun. Perintahnya adalah sama dengan perintah Tuan Besar Guan.
“Pengawal Wei. Cepat buatkan teh untuk Nona Rose.” Kepala pelayan memberikan arahan pada Darren.
Dan beberapa pelayan membantu Darren menyiapkan teh. Sekarang lelaki itu benar-benar harus mampu membuat teh untuk si sialan Rose.
Tampaknya Darren agak kerepotan, tetapi dibantu oleh pelayan yang sering membuatkan teh untuk Rose. Dengan susah payah Darren akhirnya selesai membuat teh hijau yang disukai oleh Rose.
Seorang pelayan membawakan nampan berisi teh tersebut. Kemudian mengikuti Darren ke ruang istirahat Rose. Darren mengetuk pintu beberapa kali, berharap ada sahutan dari dalam sana atau dibukakan pintu. Akan tetapi, Rose Guan tak menyahut juga selama beberapa menit Darren menunggu di sana.
“Nona Rose!” Pekik Darren dan terdengar khawatir. “Saya akan mendobrak pintu ini jika Anda tidak membuka juga.”
“Jangan pengawal Wei. Kita tunggu saja kepala pelayan mengambil kunci cadangan. Jangan membuat Nona marah.” Pelayan itu melarang Darren.
Dengan begitu mereka menunggu sampai kepala pelayan datang membawa kunci cadangan dan membuka pintu tersebut.
Darren terburu-buru masuk dan pada saat itu mendapati Rose Guan tertidur di sofa empuknya dengan sebuah buku di atas perutnya.
Ini yang Darren khawatirkan?
“Rose Guan!” Darren berteriak dalam hatinya. Susah payah membuat teh dan gadis itu ternyata sudah tidur siang.