“I love you ....”
Apa yang baru saja Arkana bisikkan tak ubahnya angin segar. Lita mendadak seperti berada di hamparan salju, wanita cantik berambut bergelombang warna hitam itu menjadi sibuk merinding. Tubuhnya seolah membeku, benar-benar dingin. Seorang Arkana yang jika tidak menjadi iblis, otomatis menjadi siluman atau malah bayi, kini mendadak romantis? Lita masih sulit untuk percaya.
Dalam hatinya, Lita sampai menjerit saking anehnya dengan apa yang mendadak ia rasa efek dari kata cinta yang ia terima dari Arkana. Tak ubahnya orang yang sedang jatuh cinta atau malah kasmaran, kurang lebih seperti itu yang Lita rasakan sekarang. Sekalipun di waktu yang sama, Lita yang kegirangan juga merasa sangat tegang. Seperti yang beberapa saat lalu ia katakan kepada sang suami, ia sungguh belum terbiasa dengan hubungan mereka. Karena meski biasanya mereka juga kerap bersama, kenyataan status mereka yang berubah, otomatis juga membuat rasa sekaligus apa yang mereka lakukan ikut berubah.
I love you? Batin Arkana yang tiba-tiba tersipu. Ia merasa sangat lucu pada dirinya yang akhirnya bisa membagikan kata-kata cinta tak ubahnya pujangga, meski tentu saja, itu benar-benar bukan dirinya. Mendengarnya saja, ia merasa geli. Namun karena Lita, sepertinya kenyataan yang baginya menggelikan itu tidak berlaku lagi. Lihatlah, tiba-tiba saja wanitanya melarikan diri. Lita melangkah kaku menuju tempat tidur dan terlihat sangat tegang. Tubuh semampai Lita yang kini memakai piama kimino warna putih gading, menjadi mirip penguin.
Sekaku itu? Memangnya apa salahku? Batin Arkana merasa aneh. Tak hanya pada Lita, tapi juga pada dirinya sendiri. Di malam kedua mereka, dengan kenyataan Lita yang masih datang bulan padahal harusnya mereka sedang hangat-hangatnya merajut sekaligus memadu cinta, Arkana tetap ingin berusaha mendapatkan milik sekaligus haknya.
Bergegas Arkana menyusul Lita yang sudah bersiap untuk tidur. Istrinya itu sudah meringkuk di bawah selimut dan tengah Lita tarik untuk menutupi tubuh. Seolah ada medan magnet yang Lita siapkan khusus untuknya, Arkana sungguh tidak bisa jauh-jauh dari Lita. Bergegas ia memepet Lita dan sungguh meringkuk di sebelahnya. Lita sampai terpaksa geser sambil terheran-heran menatapnya karena di sana benar-benar sempit, sementara di tengah-tengah tempat tidur mereka sudah ada Mahesa.
“Kamu di sebelah sana,” bisik Lita mengomel sambil menunjuk sebelah Mahesa yang masih kosong dan memang sengaja ia arahkan untuk Arkana. “Ini aku enggak mau tidur sempit-sempitan kayak gini, nanti yang ada selain enggak bisa tidur, bangun tidur pun otomatis remek!”
“Ya jangan bangun kalau gitu?”
“Ya ampun Kana, kamu berharap aku langsung mati, begitu?!”
Arkana mendengkus, merasa frustrasi kenapa sang istri masih saja tidak mau ia dekati. “Malam kedua lho, ini. Masa iya, aku harus tidur apalagi ngelonin istri tetangga?”
Panik, Lita merasakannya hanya karena ucapan terakhir Arkana. “Ngapain bawa-bawa istri tetangga dan sampai mau ngelonin mereka?” lirihnya sambil mendelik menatap Arkana. Satu hal yang tidak akan pernah Lita lakukan bagaimanapun perasaannya kepada Arkana saat ini, juga bagaimanapun hubungan mereka. Ia tak akan mengusir Arkana untuk tidur di tempat lain terlebih sampai tidur di luar kamar karena itu bisa menjadi kesempatan Arkana untuk menjalin hubungan dengan wanita lain. Kini mereka sudah menikah, dan Lita bukan tipikal wanita yang akan membiarkan suaminya mencari terlebih mendapatkan kesenangan dari wanita lain.
Ketika Arkana nyaris menjawab, di sebelah mereka, Mahesa yang masih terpejam, mendadak senyum-senyum sendiri sambil mengulurkan tangan kanannya. “Tuh, Nabila datang lagi, tuh!” ia sengaja menakut-nakuti Lita yang selain sangat galak, tapi sangat penakut ke hal-hal yang berbau horor.
Lita langsung kebingungan dan refleks mendekap Arkana menggunakan kedua tangan sekalipun tatapannya langsung memastikan pada keberadaan Mahesa. Benar, di beberapa kesempatan baik sedang tidur maupun tidak, Mahesa memang seperti sedang berinteraksi dengan sosok yang tidak dapat Lita lihat. Yang mana jika itu tengah terjadi, Mahesa menjadi terlihat sangat bahagia layaknya kini. Sementara sejauh ini, kenyataan tersebut hanya Lita ceritakan kepada Arkana. Lita takut dianggap mengada-ngada, dan anehnya, Mahesa hanya akan begitu ketika hanya sedang bersama Lita, atau ketika mereka sedang bersama Arkana.
“Nabila ... Nabila, sini. Ini Lita, cubit dia sampai bolong,” lirih Arkana sengaja menakut-nakuti Lita.
Kesal, Lita buru-buru menatap Arkana kemudian mencubit asal perut suaminya itu. Meski sempat meringis ketakutan, Arkana tetap menahan tawa. Begitulah Arkana, selalu saja menjailinya. Seolah akan ada yang kurang jika suaminya itu tidak membuat hidup Lita jungkir balik.
“Jadi, kamu benaran mau aku tidur di sebelah sana? Nanti kalau Nabila tiba-tiba gantiin aku di sini, atau malah demit lain yang sengaja goda-goda kamu, ... bagaimana?” ucap Arkana yang masih berbisik-bisik. Kini, wajah Lita sudah sampai pucat. Istrinya itu terlihat jelas tidak bisa memilih, selain Lita yang memang masih terlalu malu untuk terbiasa bergantung kepadanya.
“Gini, aku tahu kamu bingung bahkan malu buat jawab. Kalau begitu, aku di sini saja. Sudah kamu geser dikit ke sana. Ini punggung aku bisa jatuh separuh ke lantai,” lirih Arkana.
Tanpa menjawab, Lita yang telanjur takut pun memilih menurut. Ia berangsur geser, tanpa bisa mengakhiri tatapannya pada Mahesa yang masih mengigau sambil mengulur-ngulurkan tangan kanannya.
“Kana, itu tangannya jangan boleh diulurin gitu. Firasatku enggak enak. Cepat ih takut dibawa. Biar bagaimanapun, Mahesa kan anak kita,” lirih Lita. Meski ia mengkhawatirkan Mahesa, ia tetap tidak berani menghentikan apa yang ia sampaikan kepada Arkana, sendiri.
Arkana yang awalnya sudah nyaris meringkuk menyusul Lita tanpa bisa jauh-jauh dari istrinya itu, berangsur meraih tangan Mahesa, kemudian menyimpannya di balik selimut yang juga sampai Arkana benarkan posisinya. Namun, ketika ia kembali ke posisinya, ia yang melewati Lita sengaja kembali menakut-nakuti sang istri.
Kedua tangan Lita langsung menekap wajah Arkana, tapi Arkana tetap asyik menahan tawanya sambil meringkuk kemudian mendekap tubuh Lita.
“Kana, sebentar saja, kamu jangan jail. Bisa, kan?” Lita benar-benar memohon sambil menatap Arkana yang masih ia tutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Baru saja, suaminya itu menggeleng lemah.
“Khusus ke kamu, aku enggak bisa,” lirih Arkana masih membiarkan wajahnya disita oleh Lita.
Lita mendengkus frustrasi. “Kalau begini caranya, tiap hari aku bisa vertigo karena tensi darahku pasti naik terus,” rutuknya sambil membelakangi Arkana, selain ia yang tak lagi menggunakan kedua tangannya untuk menyita wajah Arkana.
Keluh kesah Lita barusan, membuat Arkana menahan senyumnya. “Lihat wajah bayi jadi bikin kita setenang ini. Nanti kita bisa bikin bayi lebih sering biar dapatnya juga lebih pasti,” lirih Arkana bersemangat, ia merebahkan kepalanya di lekukan leher Lita. Sesekali, sekalipun tatapannya fokus pada wajah Mahesa yang masih asyik senyum, ia juga sibuk mengendus, mencium, atau malah menghisap bagian sana hingga Lita akan sibuk menghindar.
Kan, kalau malam apalagi hanya berdua dan itu di kamar, si Arkana kumat lagi, batin Lita yang kemudian berkata, “Kana, jangan menyerangku sebelum aku siap. Ingat, aku masih datang bulan,” lirih Lita.
“Masalahnya kalau kamu lagi datang bulan, auranya jadi beda. Rasanya jadi lebih menggoda dan ini cobaan banget buat aku. Beban hidupku berasa bertambah puluhan juta!” kali ini justru Arkana yang berkeluh kesah.
Lita menghela napas dalam. Ia membiarkan sebelah tangannya untuk mengelus-elus kepala Arkana tanpa membuatnya menatap bahkan sekadar melirik Arkana. Tatapannya fokus menatap wajah Mahesa, dan perlahan sayu dan nyaris terpejam.
“Yang di bawah, Ta, bukan yang itu!” lirih Arkana berbisik-bisik.
Belaian penuh sayang yang tengah Lita lakukan, langsung berubah menjadi hantaman kesal. Namun, Arkana malah tertawa.
“Aku serius,” lirih Arkana masih saja tertawa.
Lita yang jengkel karena Arkana begitu hobi meledek sekaligus menggodanya, memilih untuk bersedekap. Namun, baru juga menarik napas dalam sekaligus pelan, kepala Arkana sudah ada di bawah dagunya, sedangkan sebelah tangan Arkana menarik belahan kimono milik Lita dan Arkana sibuk melongok dari sana.
“Kana, kamu lagi ngapain?” saking gemas sekaligus geregetannya pada ulah Arkana, Lita nyaris berteriak.
“Lagi mengabsen. Masih dua apa kurang, atau malah jadi lebih!” balas Arkana lirih tapi kali ini benar-benar serius.
Lita mendengkus pasrah karena andaipun ia marah-marah bahkan sampai mengamuk Arkana yang terlampau m***m, justru ia yang salah. Karenanya, tak ada pilihan lain selain membiarkan Arkana melakukan apa yang ingin suaminya itu lakukan. Ia memilih untuk kembali fokus menatap Mahesa meski kesibukan Arkana mengabsen di balik piamanya, teramat sangat mengganggunya. Terlebih ketika akhirnya Arkana sampai menghisap kedua gunungan kembar di sana, Lita yang telanjur kesal refleks menjewer telinga kanan Arkana yang detik itu juga menjadi sibuk meringis kesakitan.
Arkana seheboh ini, ... bisa jadi, nanti akan ada saatnya aku merindukan masa-masa seperti ini, pikir Lita yang membiarkan Arkana kembali mendekapnya. Baru saja, suaminya itu merebahkan sebelah wajahnya di sebelah wajahnya. Arkana mendekapnya penuh sayang dan Lita bisa merasakannya. Mereka kembali menjadikan wajah Mahesa sebagai fokus pandangan mereka.
Satu hal yang selalu Lita dapatkan di setiap ia memperhatikan wajah Mahesa layaknya sekarang, ketenangan. Wajah tak berdosa Mahesa, juga kenyataan bocah itu yang hanya memiliki sekaligus mengandalkannya. Semua itu sungguh membuat Lita merasa sangat bersyukur. Lita merasa sangat beruntung. Karena seberat-beratnya kehidupan yang ia jalani, ia masih jauh lebih beruntung dari Mahesa. Ia masih memiliki orang tua lengkap, juga saudara yang bisa menjadi tempatnya berbagi walau kadang juga menjadi alasan beban kehidupannya menjadi bertambah. Selain itu, kini Lita juga sudah memiliki suami. Ia sudah menikah ditambah kehadiran Mahesa yang membuat semuanya terasa sempurna. Namun, benarkah kehidupannya sesempurna yang ia pikirkan? Benarkah hubungannya dan Arkana hanya akan menjadikan Lilyn sebagai satu-satunya kerikil?
“Kana ...?” lirih Lita yang kemudian balik badan, membuat wajahnya berada persis di bawah wajah Arkana yang seketika menunduk, menatapnya penuh keseriusan.
“Ada apa?” lirih Arkana karena kenyataan Lita yang menjadi serius, langsung membuatnya khawatir.
“Sekarang kita sudah menikah,” lirih Lita yang membiarkan kedua tangannya direngkuh oleh Arkana. Arkana menggenggam hangat kedua tangannya dan sesekali menciuminya, sekalipun fokus tatapan Arkana masih tertuju pada kedua mata Lita.
“Sejauh ini, kamu enggak ada urusan apalagi hubungan dengan wanita lain selain aku, kan? Aku enggak mau yah, ada kasus mirip Anya pas aku sama Justin,” lanjut Lita. Sang suami langsung mengernyit, membuat alis tebalnya nyaris bertautan tak ubahnya jembatan.
“Kana ih, aku serius. Aku beneran ingin hidup normal. Menikah, urus keluarga sambil tetap kerja. Keinginanku sesederhana itu.”
“Memangnya selama ini kamu pernah lihat aku jalan apa punya hubungan sama wanita lain? Ke Lilyn sama Velly saja, aku jaga jarak banget karena mereka susah banget diusir?”
Lita berangsur menunduk.
“Apa lagi?” tanya Arkana.
“Kok aku jadi takut, ya?” Lita menatap Arkana penuh kekhawatiran. Layaknya apa yang baru saja ia katakan, ia sungguh merasa takut karena sejauh ini, tidak ada jalan yang benar-benar lurus apalagi lancar tanpa adanya gangguan. Begitupun yang biasanya terjadi dalam kehidupan. Ia sudah mengalaminya, sementara kerikil pernikahan biasanya jauh lebih berat meski kadang terlihat sepele.
“Ih, apaan sih kok jadi mikir melow gini. Jangan mikir yang aneh-aneh, dong, nanti yang ada kamu jadi parno sendiri,” sergah Arkana. “Mending sekarang, kita mikir bikin anak saja. Eh, kamu hobi banget nyubit aku. Asli tubuhku apalagi perut, sampai gosong bekas cubitan kamu.“
“Kamu ngomongnya gitu terus.”
“Tandanya aku normal, daripada aku diem, cuek, nanti kamu kiranya aku gay atau malah, kamu mikir aku enggak cinta ke kamu.”
Lita menghela napas dalam seiring tatapannya yang menjadi turun.
“Jujur, pas aku minta setelah kita beres ijab kabul, pas itu kamu belum datang bulan, kan?” lirih Arkana.
Selain langsung memelotot syok sekaligus merasa tak habis pikir pada cara pikir sang suami yang benar-benar kucing garong, ingatan Lita juga langsung berkelana, menariknya pada kejadian yang Arkana maksud.
“Ta, keluarga kita ingin kita punya anak,” ucap Arkana saat itu sambil melirik sebal Lita. Arkana bersedekap sampai menendang salah satu kaki kursi rias tempat Lita tengah mempercantik diri.
“Pesan online saja. Sekalian pilih yang kasih cashback syukur-syukur dapat gratis ongkir juga,” balas Lita tak kalah sebal sambil menepuk-nepuk wajahnya yang baru saja ia beri pelembab. Ia bahkan tak berniat menatap wajah Arkana yang meski sangat tampan, tetapi selalu membuatnya kesal.
“Masa iya, aku harus memerkosa istriku sendiri agar aku memiliki anak?” kesal Arkana sambil berkecak pinggang.
“Berani kamu macam-macam apalagi sampai menyentuhku, MATI kamu!” balas Lita sambil menatap menantang Arkana. Namun, Arkana malah membopongnya secara paksa, membuat Lita panik luar biasa.
“Kita lihat apa yang akan terjadi setelah ini!” tegas Arkana yang langsung melempar tubuh Lita ke tempat tidur yang ada di kamar tempat mereka menjalani rias.
“ARKANA ...!” Lita tak hanya berteriak, tetapi juga sampai menendang perut Arkana sekuat tenaga. Tubuh kekar Arkana sampai mental dan berakhir di lantai.
Kini, di pagi yang sangat cerah, Lita menyaksikan sendiri, tubuh indah sang suami benar-benar dihiasi bekas hitam menyerupai lebam, tapi itu merupakan bekas cubitan yang ia lakukan. Arkana tengah berenang bersama Mahesa, dan Lita yang masih datang bulan hanya mengawasi sambil berjemur di tepi, meski sesekali, Arkana juga akan menghampiri bermanja kepadanya layaknya bayi.
“Kemari, sini ke Papah.” Arkana yang masih berdiri membelakangi Lita dan awalnya berpegangan pada kedua lutut Lita, berangsur mengulurkan kedua tangannya kepada Mahesa. Di hadapannya, Mahesa yang memakai pelampung khusus, segera berenang mendekatinya.
Arkana mencintaiku dengan sempurna, dan andai dia tiba-tiba menemukan cinta lain dari wanita lain dan itu bukan aku, rasanya pasti akan lebih sakit dari ketika Justin membuangku, batin Lita yang lagi-lagi merasa takut karena baginya, kebahagiaannya dan Arkana terlalu sempurna.
“Kalian sudah lapar belum? Habis ini kita sarapan, ya? Kalian mau sarapan apa, biar Mamah langsung pesan,” ucap Lita. Ia tak mau berlarut-larut dengan ketakutannya. Ia mencoba menikmati kebersamaan mereka sebagai keluarga bahagia. Meski tentu saja, ia merasa harus waspada pada Arkana yang bisa saja mendadak menyerangnya. Layaknya sekarang, suaminya itu mendadak menariknya hingga ia yang awalnya hanya menemani dan membiarkan kakinya terendam air kolam, nyaris tenggelam.
“Kana, aku lagi mens!”
“Ya kenapa?”
“Lagi deras-derasnya!”
“Aku enggak keberatan, biasa saja! Sudah ayo kita renang bareng dulu biar afdal. Sarapannya nanti saja!” Arkana sengaja mengajak Mahesa untuk menciprati Lita menggunakan air kolam secara brutal.