[HAGIA]
Koperku sudah masuk ke dalam bagasi, Zemheri Demir juga sudah siap di balik kemudi. Sopir tua itu ternyata bisa berguna dalam banyak hal. Tadi pagi, dia mendapatkan sebuah rumah sewa untukku, sekilas kulihat video penampakan interiornya, aku langsung suka. Saatnya meninggalkan Mücevherler yang cukup mengecewakan akibat intuisi jet leg yang salah sasaran waktu itu.
Suatu kejadian selalu berubah menjadi sebuah pelajaran berharga untukku.
Hilman tetap tinggal di Mücevherler. Sewaktu waktu, si peneleponku bisa saja datang. Dia juga kuberi pekerjaan penting, menyapu bersih Tarlabaşı. Ini taktik yang harus kugunakan. Cukup beresiko, mengingat tender Tarlabaşı masih belum pasti berada di tanganku. Tapi, itulah pekerjaan pengusaha. Mengambil sedikit resiko untuk mendapatkan hasil investasi terbaik di masa depan nanti. Sudah terbayang dalam benakku, seluruh Tarlabaşı akan menjadi kawasan wisata yang dikuasai Mulia Corp. Bekal yang cukup untuk anak cucuku juga keturunan Natasha kelak.
Cucu? Boro-boro! Anak saja aku belum punya hingga saat ini. Bersyukur Cheillomitha tidak ingin punya anak di masa pernikahan kami yang seumur jagung. Kalau kami punya anak, jadi tambah repot urusannya. Tapi suatu saat nanti, aku akan memikirkan untuk punya anak. Keturunan sangat penting, pewaris Mulia Corp yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan perusahaan yang susah payah didirikan papaku, dan kubesarkan sekuat jiwa ragaku.
"Tuan Hagia ...!"
"Apa kau sudah siap?" Salma, si gadis kecil, ngotot ingin ikut ke rumah yang kusewa. Dia bilang ingin terus belajar bahasa Indonesia dan bertanya tentang Indonesia padaku. Kubiarkan gadis manja itu mengikutiku, toh dia tidak terlalu merepotkan. Pun demikian, bisa kulihat tatapan garang kakaknya tak pernah lepas merantai gerak bebas gadis kecil itu.
Aku ingin tertawa melihat kelakuan dua kakak beradik itu, seperti Tom and Jerry. Berbeda sekali dengan aku dan Natasha, kami termasuk jarang bertengkar sejak kecil. Aku sangat menyayangi adikku dan cenderung selalu mengalah pada keinginannya. Sedangkan Sophia dan Salma, apa karena keduanya perempuan jadi saling semangat bersaing?
Bersaing dalam hal apa? Perbedaan usia mereka kan, cukup mencolok.
"Kau tidak boleh merepotkan Tuan Hagia terus menerus, Salma. Jangan main terlalu lama di sana, Nene yakin, Tuan Hagia punya banyak pekerjaan untuk diurus."
Salma mengecup pipi neneknya, lalu menggelayuti lenganku untuk bermanja. "Aku tidak pernah mengganggumu, benarkan Tuan Hagia?" tanyanya, mendongakkan wajah agar bisa menatapku, dan kujawab dengan anggukan kepala.
"Nenek jangan khawatir. Kalau nanti Salma sudah bosan, akan saya suruh sopir saya mengantar Salma pulang."
"Jangan tunggu sampai dia bosan, Tuan Hagia! Kalau kau sibuk, usir saja dia segera!"
Aku tidak tau, Nenek Yasmine berkata basa-basi atau serius, dia mengucapkannya sambil tertawa. Aku bukan orang yang bisa terlibat dalam pembicaraan yang tidak aku mengerti arah dan tujuannya. Jadi segera kuputuskan untuk menutup pembicaraan kami.
"Baik, akan saya lakukan seperti saran Nenek."
Di dalam mobil, kubuka iPadku dan memeriksa data yang telah dikirim Randy semalam. Akhirnya, sahabatku itu memutuskan mengirim tiga orang bodyguard dan dua orang shadow. Jika tidak ada halangan, mereka akan tiba di bandara Istanbul dalam satu jam ke depan. Aku sudah memberikan alamat rumahku pada Randy dan mereka bisa langsung menghadap jika sudah tiba nanti.
Kulirik Salma yang duduk di sebelah Demir di kursi depan. Gadis kecil itu sibuk berceloteh dalam bahasa Turki.
"Kalau kau ingin berbahasa Indonesia dengan lancar, sudah seharusnya kau mulai menggunakannya, Gadis kecil!" tegurku, bisa kulihat matanya membulat saat tubuhnya berputar menghadapku.
"Tapi kau sedang sibuk bekerja, Tuan Hagia. Tidak mungkin aku berbicara dalam bahasa Indonesia dengan Tuan Demir. Dia akan kebingungan!" jawabnya sambil terkekeh, sesekali melirik Demir di balik kemudi.
Aku ikut tertawa menanggapinya. "Kau anak nakal rupanya, ya? Demir jauh lebih tua dari usiamu, dia pantas jadi ayahmu, kau tau itu. Jangan mengganggunya atau aku akan menghukummu nanti."
Gadis itu tidak merajuk sama sekali. Dia tertawa senang dengan teguranku barusan.
"Tidak akan, Tuan. Selama ini aku cukup mandiri. Aku tidak akan mengganggu pekerjaan kalian."
"Kau jadi membawa baju renangmu?"
Salma mengangguk. "Benarkan di sana ada kolam renangnya?"
Aku menyeringai, "Seluruh rumah yang kumiliki, di Indonesia atau negara lain, harus ada kolam renangnya. Rajin berenang membuatku menjadi pengusaha sukses, Salma."
Mata Salma membelalak, tidak mempercayai rahasia sukses yang baru saja kusampaikan padanya.
"Kau tidak percaya padaku?"
"I want to, Tuan Hagia. But it's too hard to believe of what you said just now."
"Speak Indonesian, please."
Salma terbahak, hingga matanya hanya segaris saja. Dibanding Sophia, mata Salma lebih kecil, meski tidak sesipit Nenek Yasmine. Darah Asia lebih kental terlihat di wajahnya, tapi untungnya hidungnya sangat mancung dan rambutnya coklat alami. Kalau Reno, si bule sìnting sahabatku melihat kedua kakak beradik ini, pasti langsung mengikat mereka dengan kontrak pekerjaan sebagai model di agency-nya. Sophia yang sangat bule dan Salma jelmaan kecantikan dua benua.
Sebuah email baru saja masuk, menarik konsentrasiku kembali pada pekerjaan. Hilman melaporkan hasil kerjanya, berupa surat akuisisi tiga buah properti di sisi kiri Mücevherler. Kuberikan apresiasi berupa balasan "Well received. Continue to next property."
Semakin hari, aku semakin bangga dengan cara kerja asistenku itu. Kalau aku punya adik lain selain Natasha, pasti kujodohkan dengan Hilman. Dia sudah seperti separuh sayapku.
[SOPHIA]
"Kenapa kau cemberut terus menerus, Sophia?"
Kukira, Nene Yasmine hanya peduli dengan Salma atau Tuan Hagia yang selalu diagung-agungkan itu. Ternyata, protes diamku membuahkan hasil juga.
"Menurut Nene karena apa?"
Aku tau, ucapanku sungguh kurang ajar. Tapi aku tidak tahan lagi. Nene Yasmine terlalu memanjakan Salma. Adikku itu tidak lagi memandangku sebagai kakaknya, sebagai kepala keluarga ini. Dia bertindak semaunya sendiri saja dan mengabaikan aturan yang kuberikan padanya.
Itu semua karena Nene Yasmine!
Tapi, bagaimana aku bisa benar-benar marah pada orang tua yang mengurus kami sejak Baba dan Anne tidak ada? Tuhan pasti langsung mengirimku ke neraka kalau aku melakukannya.
"Kau cemburu ya, Sayangku?" Nene Yasmine terkekeh. Dia mendekatiku, memeluk dan mengguncang tubuhku dalam dekapannya.
"Aku kesal Nene memanjakan Salma dan menjadikannya anak kurang ajar," tukasku.
"Aku hanya mencintai Salma, dengan cara yang sama seperti cinta untukmu, juga Serhan. Salma memiliki ingatan yang sedikit tentang orang tuanya. Aku ingin, dia memiliki ingatan yang banyak tentangku, jika saatnya aku mati nanti."
Itu kalimat andalan Nene Yasmine. Selalu saja menggunakan senjatanya itu dan membuatku tidak berkutik. Sungguh tidak bisa kubayangkan hidup tanpa Nene Yasmine. Kami bertiga akan benar-benar sebatang kara. Keluarga Yildirim tidak peduli lagi dengan apapun yang kami lakukan. Mereka bahkan sudah menganggap kami tidak ada lagi di dunia ini, kecuali, yah, saat mereka membutuhkan sejumlah uang yang harus kami sediakan.
Mereka kira Mücevherler pabrik uang yang memiliki keuntungan berlimpah dan aku menguasai uang yang sangat banyak. Tidak pernah membuatku habis berpikir. Padahal Büyük Ali memiliki sejumlah toko makanan camilan, menjual lokum—manisan dari buah-buahan (Turkish Delight), baklava—roti pastry isi kacang dan madu, dan börek—roti pastry isi daging dan keju, yang tersebar di jalan Istiklal juga di pasar oleh-oleh lainnya. Toko-toko itu cukup laris dan diminati banyak wisatawan. Adik-adik Baba semua terlibat di sana, hanya Baba saja yang bekerja mandiri terlepas dari usaha milik keluarganya.
"Ne ...?"
"Ya, Sayang?"
"Apakah Nene ingin pulang ke Indonesia?"
Kulihat Nene Yasmine mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Bisa kurasakan kerinduan sekaligus keraguan tercetak di raut wajahnya.
"Ya, Sophia, Nene sangat rindu dan ingin pulang. Nene ingin mati dan dikubur di kampung halaman. Tapi Nene juga tidak mau meninggalkan kalian sendirian di sini."
Aku memeluk Nene Yasmine erat sekali. Haruskah kuterima tawaran Tuan Hagia tadi pagi? Tapi, bagaimana dengan Serhan? Dia belum juga pulang, pun meneleponku atau sekadar membalas pesan yang kutinggalkan.
Haruskan aku menyerah atas impian Baba dan mulai hidup menjalani mimpiku sendiri? Menjadi sapi perahan keluarga Yildirim sangat jauh bertentangan dari cita-cita muliaku sebagai pianis klasik.
*****