"Menjengkelkan!" William meninju dinding kamar mandinya dengan geram, sama sekali tidak mempedulikan curahan air hangat yang membasahi tubuh polosnya.
Beberapa saat yang lalu, setibanya ia di rumah mewahnya, William langsung melepaskan semua pakaiannya dan membasahi tubuhnya di dalam kamar mandi demi mendinginkan rasa panas yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ia belum mendapatkan pelepasannya, Hanna sudah, pikiran ini terus memprovokasi dirinya.
Lalu, sembari membayangkan wajah cantik sang adik, reaksi manis Hanna saat ia menyentuhnya dua jam yang lalu, William mulai menyentuh dirinya sendiri.
"Hanna," desisnya. Tangannya bergerak cepat, kelopak matanya turun perlahan, mengingat lembutnya kulit yang membungkus bukit kembar Hanna yang kencang yang telah ia remas beberapa saat yang lalu, sontak membuat otaknya seakan ingin meledak.
Tubuh William bergetar di bawah shower setelah ia cukup lama melakukan aktivitasnya itu diiringi pikiran kotornya tentang ia yang sedang menyesap puncak bukit Hanna sambil menghunjamkan miliknya ke dalam tubuh adiknya itu. Setelah melakukan semua itu, akhirnya William berhasil mendapatkan kepuasannya.
'Kau benar-benar gila!' teriak hatinya, "Ya." William tertawa getir, "Aku gila, aku sudah tergila-gila padanya!" geramnya. "Sial!" sekali lagi William meninju dinding kamar mandinya, mengabaikan rasa sakit yang terasa di buku-buku tangannya. Sudah tidak ada jalan kembali, ia sudah tidak bisa merubah kenyataan karena terikat janji pada kedua orang tua angkatnya.
Selain itu, Hanna pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari dirinya. William bergegas membersihkan tubuhnya dan pergi meninggalkan kamar mandi dengan mengenakan bathrope untuk menutupi tubuhnya yang polos.
Di dalam kamarnya, William mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil seraya melemparkan tatapannya ke luar jendela kaca, menatap pada kerlip lampu yang tampak meriah di luar sana. "Ayah, aku ingin menikahinya, apakah aku boleh melakukannya?" bisiknya dengan suara pelan.
***
Hanna benar-benar tidak bisa memejamkan matanya malam ini, yang ia lakukan hanya terus bolak-balik di atas ranjangnya dengan resah. Memikirkan tentang ancamannya pada William yang kini justru ia sesali. 'Dua hari terlalu singkat,' pikirnya. Jika William tidak bisa berpikir secara jernih setelah mendengar ancaman itu, kakak angkatnya itu pasti akan bertindak nekat dengan mendorongnya menjauh. William bahkan mungkin akan segera mengaturkan beberapa kencan untuknya.
"Aku terlalu terburu-buru dengan datang ke Klub itu." Hanna menggigit bibirnya, ketakutan mengisi sisi-sisi hatinya. Takut jika William akan memutuskan kehidupannya dengan membuatnya hidup berjauhan dengan pria yang ia cintai itu.
Selama ini Hanna jarang meninggalkan Rosendale House, seumur hidupnya hingga ia mencapai usianya yang sekarang— selalu ia habiskan bersama William. Dulu William sangat hangat, kakak angkatnya itu selalu melindunginya dan menemaninya bermain.
Lalu hari itu tiba, setelah ulang tahunnya yang ke-17 William mulai berubah. Perlahan-lahan mulai menjauhi dirinya, menjaga jarak dan kerap hanya memperhatikannya dari kejauhan. Jika Hanna mendekat, William akan mengatakan berbagai alasan agar Hanna meninggalkannya. Ia merasa sangat terluka saat William melakukannya, mencoba menghapus kenangan-kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama.
"Berhentilah memelukku dari belakang, Hanna."
Hanna ingat William mengucapkan kata-kata itu di perpustakaan Rosendale House, saat itu ia baru berusia 16 tahun. Ia merangkul leher saudara lelakinya itu dengan kedua lengannya dan meletakkan dagunya di salah satu pundak William yang keras.
"Mengapa aku harus berhenti?" sahutnya sembari terkikik geli, Hanna kemudian meniup telinga William demi menggoda saudara lelakinya itu. William langsung berdiri tegak setelah ia melakukannya, membuat rangkulan Hanna seketika terlepas. Wajah tampan William juga tiba-tiba berubah muram, namun Hanna menemukan rona merah muncul di caping telinga saudara lelakinya itu.
William lalu pergi meninggalkan perpustakaan, Hanna mengikutinya dari belakang, berlari kecil mengejar langkah lebar kakak angkatnya itu.
"Doris menyediakan desert coklat hari ini," celetuknya dengan suara riang dari belakang William. William sama sekali tidak menyahut, tetap teguh menutup rapat mulutnya. Padahal Hanna tahu bahwa William sangat suka dengan makanan manis. Saat mereka kecil, mereka sering memperebutkan desert coklat yang dibuat oleh koki Rosendale House. Entah mengapa saat itu semua terasa berbeda.
"Aku akan menghabiskannya kalau kau tidak menginginkannya," imbuh Hanna lagi. Tetapi masih juga tidak ada jawaban dari William. Di anak tangga samping Istana yang menuju ke kolam renang, William menghentikan langkahnya lalu duduk di sana. Kembali membuka buku yang belum selesai ia baca di perpustakaan dan mulai membacanya lagi dengan wajah serius. Hanna ikut menurunkan tubuhnya, duduk berjongkok tak jauh dari William sambil memperhatikan wajah kakak angkatnya itu.
"Kau masih Pangeranku, 'kan? Pangeran berkuda putih yang akan menyelamatkanku dari raksasa jahat dengan pedangnya?"
"Itu hanya dongeng, Hanna. Tidak ada raksasa di Dunia ini," dengus William.
"Bagaimana dengan pria-pria jahat? Apa kau akan melindungiku dari mereka?"
William langsung menutup bukunya, saudara lelakinya itu bahkan menoleh ke arahnya, menatapnya cukup lama dengan netranya yang berwarna hijau terkadang nyaris terlihat biru. Oh, Tuhan. Hanna rasanya akan tenggelam di dalam tatapan itu, tatapan yang lurus ke irisnya yang menembus masuk ke relung hatinya.
"Tidak akan aku biarkan seorang pria pun menyakitimu, Hanna. Tidak, karena kau milikku!"
Hanna ingat reaksinya saat itu, ia mengernyit bingung tetapi sekaligus bahagia. Ia pikir kata-kata William saat itu adalah janji yang biasanya akan diucapkan oleh seorang kakak pada adiknya. Ia mencintai William sejak lama, itu benar. Dan meski nanti mereka hanya bisa hidup sebagai kakak adik— itu cukup bagi Hanna selama ia dan William bisa terus tinggal bersama. Tinggal di bawah atap Istana ini.
Kemudian, setahun yang lalu, William tiba-tiba membawa Cecil ke Rosendale House. Saudara lelakinya itu bahkan mulai mengabaikannya dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan wanita jalang itu.
"Dia Kekasihku, Hanna. Cecil adalah Kekasihku."
Hati Hanna berdenyut nyeri mendengar kata kekasih terlontar dari bibir William yang merah, impian indahnya tentang hidup bersama William selamanya sontak buyar saat itu juga. Rasa sakit lainnya menyusul di belakang, jeritan Cecil sangat memuakkan. Hanna kerap menutup telinganya dan berlari pergi jika ia tanpa sengaja melewati pintu kamar William yang tertutup rapat dan mendengar desahan nikmat Cecil dari dalam kamar itu.
Hanna terus berlari menuju kamarnya agar ia tidak lagi mendengar desahan Cecil, masuk dan membanting pintu lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjangnya. Menangis terisak juga berteriak betapa ia membenci William. Tentu saja itu bohong. Ia, mencintai saudara lelakinya itu. Sangat cinta hingga ia merasa terluka oleh ulah William bersama Cecil.
"Kau melupakan janji-janjimu padaku, Will. Katamu, aku ini milikmu. Lalu mengapa kau membawa Cecil ke Istana ini," lirih Hanna, sambil menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Di tempat lain, di dalam sebuah sedan mewah yang bergerak menuju Kota Nottinghamshire, duduk di kursi bagian penumpang, dengan wajah datar seorang pria terus memperhatikan topeng yang telah ia pungut dari lantai RC Klub beberapa jam yang lalu. Senyum samar menghiasi bibir tipis pria ini, anak rambutnya yang berwarna coklat gelap jatuh ke depan keningnya.
"Duke, apa Anda merasa puas malam ini?" tanya pria lainnya yang sedang menyetir di hadapan pria tadi.
Pria berwajah datar itu mengangkat wajahnya dan menatap punggung kepala pria yang baru saja berbicara padanya.
"Cukup puas, kita sudah mengunjungi beberapa kota untuk mencari calon istri untukku. Putri Bangsawan yang cocok untuk menjadi Duchess dan bersanding denganku. Malam ini, aku sudah menemukannya," jawabnya.
"Anda sudah menemukannya? Apakah wanita itu sangat menarik hingga membuat Anda memutuskan bahwa dia adalah wanita yang tepat untuk Anda?" pria sebelumnya kembali bertanya.
Pria yang duduk di kursi belakang sedan mengangguk tegas, "Dia ... lebih menarik dari semua wanita yang pernah kulihat. Kulitnya mengingatkanku pada lapisan awan yang lembut dan serpihan salju di musim dingin. Lalu bibirnya ...." Pria ini memejamkan matanya, mencoba mengingat bibir Hanna ketika wanita itu menoleh ke arahnya setelah menjatuhkan topengnya. "Bibirnya seperti kelopak mawar, indah. Sangat indah." Pria ini kemudian membuka kembali matanya dan mengangkat topeng yang sedang ia pegang, "Lady Hanna Rosendale, aku harap aku bertemu lagi dengannya secepatnya."