William terpaku, jantungnya berdebar keras oleh pernyataan Hanna yang sama sekali tidak ia duga. Terlalu keras, bahkan ia bisa mendengarnya dengan telinganya sendiri.
"Jangan bercanda, Hanna!" suaranya tiba-tiba berubah menjadi serak dan seksi akibat gairahnya yang terbakar dan seakan ingin menghanguskan otaknya. Ketika ia menyadarinya, William langsung membuang muka. b******k, bahkan benda sialan yang berada di balik celananya juga ikut bereaksi. Sebesar itulah pengaruh Hanna pada dirinya. Adik kecil yang selama ini hanya bisa ia cintai dalam diam.
"Aku tidak bercanda, dan kau tahu itu!" teriak Hanna. Ia mengamati William dengan wajah menantang.
"Argh ...!" William mengerang pelan. "Keluar!" kini ia balik berteriak pada Hanna seiring ia melemparkan tatapan tajam ke arah adiknya itu. "Keluarlah, Hanna!"
'Sebelum aku menyeretmu ke ranjangku dan membuatmu berteriak memanggil namaku,' sambungnya dalam hati.
Hati Hanna sontak berdenyut nyeri, dan dengan dagu terangkat menunjukkan keangkuhan— ia memutar tubuhnya lalu pergi meninggalkan kamar saudara angkatnya. Meninggalkan William yang langsung menghela napas lega.
Di depan pintu kamar William yang telah ia tutup kembali saat ia keluar tadi, Hanna menyandarkan punggungnya yang lemas. Air mata lagi-lagi menetes di sudut matanya, dengan kasar Hanna menyapunya menggunakan jemarinya yang ramping. Lalu mengangkat wajahnya dan menatap Doris yang sedang memperhatikannya dengan raut khawatir.
"Aku baik-baik saja, Doris," ujarnya pelan sambil menegakkan tubuhnya. Hanna melirik pintu kamar William sekilas, kemudian mengajak Doris menuju ruang makan. Ia sama sekali tidak memiliki selera makan saat ini, tapi jika ia ingin menghadapi William, ia harus sehat. Dan makanan manis bisa membantunya untuk berpikir jernih.
"Singkirkan semua makanan yang ada di atas meja, siapkan sepotong tar coklat serta segelas s**u saja untukku, sekarang!" titahnya pada Doris yang sedang berjalan di sampingnya.
Doris mengangguk patuh, "Baik, Nona," balasnya pada Hanna.
***
Waktu telah menunjukkan hampir pukul dua dini hari, namun William masih belum juga bisa memejamkan matanya. Ia ... hanya terus bolak-balik di atas ranjang besarnya. Tatkala jam besar di ruang tamu berdentang dua kali, William pun mengangkat tubuhnya dan turun dari atas ranjangnya.
Ia kerap melakukan hal ini sebelumnya, menyelinap keluar kamar dan melihat Hanna di kamar adiknya itu. Hanna tidak pernah mengunci pintu kamarnya di saat adiknya itu akan tidur, seolah Hanna sengaja melakukannya agar William bisa masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Sifat Hanna itu juga yang membuat ayah dan ibu angkatnya tidak pernah menerima pelayan pria untuk bekerja di Rosendale House.
Kini, William telah berada di kamar ini, berdiri di pinggir ranjang Hanna sambil memperhatikan adiknya itu yang telah tertidur pulas. Seperti malam-malam lainnya, Hanna selalu mengenakan gaun tidur tali satu berbahan sutra. Tanpa menggunakan bra. Selimut yang adiknya itu pergunakan bahkan hanya menutupi kaki Hanna hingga ke pinggang saja. Membuat kedua bukit kembar Hanna yang tampak kencang, membayang di atas lapisan dress tipis yang Hanna kenakan di tubuhnya.
William membungkuk di atas tubuh Hanna, jemari rampingnya yang dingin terasa hangat ketika ia mengusap bibir Hanna dengan ujung jemarinya itu. Ia ingin lebih, dan William pun menurunkan wajahnya. Menempelkan bibirnya ke bibir Hanna. Hanna selalu tidur seperti beruang yang sedang berhibernasi, dan ini bukan kali pertama William mencium Hanna di saat adiknya itu sedang tidur. Ini juga bukan kali pertama ia menangkup salah satu d**a Hanna dengan telapak tangannya.
Ukuran d**a itu pas di dalam genggamannya, ujungnya yang kecil menggesek telapak tangannya dan membuat seluruh aliran darahnya berdesir hebat. Tangan William gemetar saat ia meremas perlahan salah satu bukit Hanna. Ia gemetar oleh hasrat yang tidak bisa ia salurkan.
'Kau tahu dia mencintaimu, tapi kau menolaknya. Dan sekarang kau melakukan hal ini padanya?'
Suara desisan terlepas dari bibir William, miliknya berkedut. Ia mengerang merasakan hal itu. Tanpa ia duga, Hanna tiba-tiba bergerak. Dengan cepat William mengangkat tangannya. Kini adiknya yang cantik itu tidur dengan posisi miring ke arahnya. Kedua bukit indah Hanna menyatu, membuat William meneguk ludah dengan sulit.
"Aku mencintaimu, Hanna. Sangat mencintaimu," bisiknya lirih, sembari memperhatikan anak rambut yang jatuh ke depan wajah Hanna. Ia mengangkat tangannya untuk menyingkirkan rambut itu dan menyelipkannya ke belakang telinga Hanna. Setelahnya, William mengalihkan pandangannya ke arah betis sang adik. Selimut yang Hanna pergunakan tersibak, memperlihatkan betis putih bersih hingga ke paha. William ingin menyentuhnya, ia ingin menyibak gaun tidur Hanna dan menjejalkan miliknya ke dalam benda yang berada di balik gaun itu. 'Pasti rasanya akan sangat luar biasa,' pikirnya. Namun ia tidak melakukannya sama sekali.
Selama beberapa saat William hanya termangu, menatap betis Hanna kemudian beralih ke miliknya yang tampak ingin mendobrak celananya. Benda itu menyembul, keras, dan menegang. William bisa merasakan kalau benda sialan itu bahkan berkedut. 'b******k!' sekali lagi ia meneguk ludah yang seakan mengering di dalam mulutnya. Bibirnya terasa hampa, begitu juga dirinya. Dan William tahu bahwa hanya Hanna yang bisa memuaskan rasa dahaganya itu.
Jika saja ia lebih berani, jika saja ia tidak pernah berjanji pada ayah dan ibu angkatnya bahwa ia akan terus menjaga Hanna dan menganggap wanita cantik ini sebagai adiknya, mungkin ia telah meniduri Hanna berkali-kali. Suara Hanna sangat enak didengar, bak hembusan angin di musim dingin, bak kicauan burung yang sedang menyambut musim semi. Apalagi jika suara itu berteriak mendesiskan namanya di saat William menggerakkan tubuhnya memasuki tubuh adik kecilnya ini.
William ingin mendengarnya, ia sudah sering mendengar Hanna memanggil namanya, tapi ia lebih ingin mendengar adiknya yang cantik ini berteriak padanya. Memintanya untuk terus bergerak, terus menyapu puncak berwarna pink muda yang Hanna miliki dengan lidahnya. Saat itu terjadi, William tahu bahwa ia mungkin tidak akan bisa menguasai dirinya dan tidak akan bisa berhenti. Tidak, sekujur tubuhnya menginginkan Hanna. Begitupun hatinya.
'Keluarlah, William. Keluar! Kau akan menyakitinya jika terus berada di sini.'
Mendengar celetukan hatinya itu, dan demi menjaga kewarasan otaknya, William langsung bergegas merapikan selimut Hanna. Ia menarik selimut itu ke atas, membungkus tubuh Hanna sampai ke d**a agar ia tidak perlu lagi melihat pemandangan yang bisa membuat otaknya seketika menggila. Setelahnya, William perlahan pergi meninggalkan kamar Hanna sesaat setelah ia mengecup pucuk kepala adiknya itu dan mengucapkan selamat malam.
Ketika Hanna mendengar pintu kamarnya telah tertutup kembali, perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia hampir terlelap tadi saat aroma parfum William menyapa indera penciumannya. Hanna sengaja tidak membuka matanya, ia ingin tahu apa yang William inginkan darinya.
Ia nyaris saja tergoda saat bibir dingin William menyapu bibirnya, ia nyaris mendesis saat William meremas salah satu bukit kembarnya. Ia bahkan nyaris melompat ke pelukan saudara angkatnya itu ketika William berkata bahwa pria itu mencintai dirinya. Tapi Hanna bergeming, dan ia menyesal tidak melakukan apapun saat William berada sangat dekat sekali dengannya. Saat keangkuhan William runtuh dan tubuh pria itu mengakui kalau sebenarnya William juga menginginkan dirinya.
"Kau b******n, Will. Akan kubalas kau suatu hari nanti," gumam Hanna gemas.