Bab 2 Rencana Kumbara

1225 Kata
Pagi menyapa Kampung Ringin Sewu yang masih terlelap diguyur gerimis sejak semalam. Penduduk kampung itu memilih untuk berdiam diri di rumah, sambil menikmati kopi dan singkong goreng. Jalanan kampung sepi, bahkan pasar juga tutup. Di pinggir sebuah jalan kampung, yang ditumbuhi pohon beringin besar, sosok Raden Mas Taruno tergeletak di tepi jalan dengan tubuh  nyaris tidak utuh. Kedua lengannya buntung, mencucurkan darah tiada henti. Luka robekan lebar menganga di bagian d**a! Seorang penggembala kambing yang pertama kali menemukan sontak membawa kabar mengerikan itu ke segenap penjuru kampung. Dalam waktu sekejap, Kampung Ringin Anom heboh! Walau diguyur gerimis, mereka berbondong-bondong melihat jasad kepala kampung mereka. Rasa takut menyeruak. Para ibu segera melindungi anak-anak mereka. Merek menarik anak-anaknya yang sedang main hujan di luar, seraya menutup pintu. Istri Raden Mas Taruno histeris melihat jasad suaminya, sedangkan Raden Mas Kumbara hanya tercekat melihat keadaan bapaknya yang tewas di depan mata dalam keadaan mengenaskan. Dalam hati bocah kecil itu hanya bisa bersumpah akan menuntut balas atas kematian si bapak. Sayangnya ia masih terlalu muda untuk memahami arti pembunuhan itu. Darah mudanya masih menggelegak, tidak terima dengan semua apa yang terjadi. Setelah pemakaman Raden Mas Taruno, suasana kampung menjadi senyap. Nyaris tak ada yang berani menampakkan diri. Gelisah menyusup ke setiap pintu rumah penduduk. Demikian pula di kediaman Nyi Rumbini. Palang pintu dipasang di tengah pintu, untuk mencegah Panji Panuluh si putra semata wayang yang kadang menyelinap saat wanita itu lengah. Padahal sudah puluhan kali Nyi Rumbini mengingatkan akan bahaya di luar sana. Duk ... duk ... duk! Terdengar pintu diketuk dengan agak kasar. Nyi Rumbini sontak gemetar. Siapa yang bertandang di tengah gerimis seperti ini? Ia melekatkan telinga di pintu, sambil bertanya,” Siapa?” “Aku Kumbara, Nyi!” Terdengar suara setengah berbisik anak laki-laki di luar. Nyi Rumbini berpikir dalam. Ada urusan apa anak ketua kampung yang baru saja meninggal itu datang ke rumah? Ia memang sahabat Panji Panuluh, tetapi kedatangannya saat ini sungguh sesuatu yang tak diharapkan. Ia ingin mengusir anak itu, namun urung jua dilakukan. Ia membuka pintu, kemudian segera mempersilakan masuk. “Cepat masuk, Raden! Jangan sampai ada yang melihatmu!” kata Nyi Rumbini cepat. Raden Mas Kumbara segera masuk, segera disambut hangat oleh Panji Panuluh. Di atas amben yang berada di bilik belakang, Kumbara sedang menyusun siasat saat Nyi Rumbini tak ada di situ. Mereka harus menunggu Nyi Rumbini sibuk di bilik depan, agar segala pembicaraan tak terdengar. “Ayo kita cari makhluk jahat itu! Aku akan menuntut balas kematian rama-ku!” bisik Kumbara. “Wah, kita hanya anak-anak Kumbara. Kita pasti tak sanggup melawan makhluk itu. Apa kau tidak lihat berapa banyak pendekar tewas di tangannya? Makhluk itu tak hanya buas, tapi kudengar dari obrolan warga kampung, dia itu sakti. Dia sebenarnya adalah jelmaan dari seorang pendekar golongan putih yang disusupi ilmu hitam. Kesaktiannya sungguh tak terbayangkan!” ucap Panji Panuluh. “Ha? Siapa pendekar golongan putih itu? Mengapa aku belum pernah dengar namanya?” tanya Kumbara penasaran. “Tetua kampung bilang, dahulu ada pendekar golongan putih sakti mandraguna yang suka menyendiri di lereng Gunung Sindoro. Ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi di dunia persilatan. Bahkan ia tidak pernah muncul dalam Pagelaran Adu Tanding yang diselenggarakan setiap purnama kelima belas. Konon, karena dia selalu menyembunyikan diri, maka dunia persilatan menjulukinya dengan Pendekar Tanpa Nama. Bertahun-tahun ia menghilang mendalami berbagai ilmu, sampai pada akhirnya ia terjebak dalam ilmu hitam. Sayangnya, ia tidak bisa lolos dari jeratan ilmu itu. Kini ilmu itu mengubahnya menjadi seekor siluman serigala. Ia akan menjadi makhluk menyeramkan itu ketika malam menjelang,” tutur Panji Panuluh. “Wah! Dari mana kamu dengar dongeng seperti itu?” tanya Kumbara semakin penasaran. “Ini bukan dongeng! Ini cerita nyata yang dibicarakan para tetua kampung. Aku menguping pembicaraan mereka saat pertemuan adat yang dilakukan secara rahasia beberapa malam kemarin. Bahkan pertemuan itu dipimpin sendiri oleh rama-mu!” “Tapi rama tidak pernah cerita apa pun kepadaku!” “Itulah mengapa rama-mu hendak menyergap siluman itu, tetapi sayangnya ia gagal,” bisik Panji Panuluh lirih. “Aku akan menuntut balas atas kematian rama! Aku bersumpah! Bantu aku, Panji! Bantu aku!” pinta Kumbara sambil menggoyang-goyangkan tubuh Panji. “Jangan gegabah, Kumbara! Ilmu yang kita miliki belum ada apa-apanya. Bagaimana kita bisa membalas dendam? Guru ilmu pedang kita, Paman Aryoseno juga telah menemui ajal di tangan siluman itu. Kita harus berguru pada orang yang sakti dahulu!” ujar Panji Panuluh. “Kalau begitu mari kita intai siluman itu. Dia punya sebuah tempat tinggal di dalam hutan utara desa. Mari kita cari tahu seberapa kuat makhluk itu. Aku sudah nggak sabar lagi! Kalau kamu tidak bersedia. Biar aku saja yang berangkat sendiri!” Tekad Kumbara sudah bulat dan tak bisa dibelokkan lagi. Sebenarnya Panji Panuluh merasa khawatir dengan sahabatnya. Ia tidak bisa meninggalkan Kumbara sendirian menerobos hutan angker itu. Setelah dipikir sejenak, ia berbisik kepada Kumbara. “Siang ini kita ke hutan! Tunggu hujan reda terlebih dahulu. Siapkan segala perbekalan. Aku tunggu di dekat batu besar di perbatasan utara. Aku harus menunggu biyung-ku istirahat dalam bilik baru aku berangkat. Bagaimana?” Kumbara mengangguk senang. Setelah rencana itu matang, Kumbara kembali ke kediamannya untuk menyiapkan segala perbekalan. Siang berlalu cepat, alam juga seolah bersahabat. Tetesan air dari langit perlahan menghilang, digantikan dengan mentari yang bersinar dari balik awan. Panji Panuluh sudah menunggu di balik batu besar dekat perbatasan kampung bagian utara. Batu itu kerap dijadikan penanda oleh warga kampung bahwa mereka sudah keluar dari kampung. Sedangkan di utara desa, terdapat hutan lebat yang diyakini masih angker dan dihuni banyak makhluk ghaib. Tak lama, yang ditunggu Panji Panuluh tiba. Bocah tambun berambut agak panjang, dengan udeng batik di kepala tampak terengah-engah. “Kenapa kamu terengah-engah seperti habis dikejar setan?” tanya Panji Panuluh. “Aku ... aku tadi dikejar beberapa mentok di ladang Ki Jabar!” “Kau lewat ladang itu?” “Iya, karena aku takut ketahuan orang. Ternyata di situ ada kawanan mentok. Mati aku dikejar-kejar!” Panji Panuluh menahan tawa. Bocah berperawakan kurus itu segera mengisyaratkan agar segera berangkat, khawatir malam akan segera menjelang. Setelah semuanya siap, mereka bergerak menyusuri jalan setapak menuju hutan. Mereka berharap tak ada seorang pun yang melihat. Untunglah, cuaca tidak begitu panas karena matahari masih mengintip malu-malu di balik awan hitam. Perjalanan diam-diam itu membutuhkan waktu tidak lama, sampai mereka menemukan tempat yang membuat terpukau. Mereka berdiri terpaku menatap deretan pohon-pohon raksasa yang berjajar tak teratur di hadapan mereka. Suasana di antara pepohonan itu terlihat gelap, walau siang hari karena pohon tumbuh sangat rapat. Sementara lantai hutan ditumbuhi semak belukar dan sulur-sulur tanaman yang saling membelit. Sejenak Panji Panuluh merasa ragu, karena tak tahu apa yang menghadang dalam hutan sana. Suara burung bercuit-cuit, tetapi malah menambah rasa resah. “Kamu yakin akan melanjutkan perjalanan ini?” tanya Panji Panuluh. “Kira-kira di dalam sana ada macan apa tidak?” tanya Kumbara. “Mari kita cari tahu, Kumbara. Tetapi apabila kamu gentar, kita balik saja mumpung masih belum!” “Kita masuk saja, Panji! Firasatku mengatakan bahwa kita akan menemukan jawaban apa yang kita cari di dalam sini!” Panji mengangguk. Mereka membulatkan tekad untuk masuk ke dalam hutan yang sangat asing itu. Sementara mentari kian beringsut. Mereka disambut dengan kicau burung dan pekikan binatang hutan di kejauhan. Namun, mereka tidak peduli. Rasa penasaran semakin menyeret mereka untuk melangkah lebih dalam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN