Hari sudah beringsut gelap ketika dua bocah mencari jalan keluar dari hutan dalam keadaan panik. Tak peduli dengan letih yang mendera, Panji terus berlari mengikuti jalan setapak yang membelah rimbunnya pepohonan. Sementara di belakangnya, Kumbara tampak tak kuat mengejar. Ia terengah-engah menahan letih.
“Panji! Tunggu! Aku tidak kuat!” teriak Kumbara.
Mau tidak mau, Panji menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke aras Kumbara yang berdiri sambil memegang lutut, sementara peluh membasahi sekujur tubuhnya yang agak tambun. Napasnya terengah-engah, naik turun.
“Kita tidak boleh berhenti, Kumbara! Kita harus keluar hutan sebelum gelap! Gerombolan Jalak itu sedang memburu kita. Kalau tertangkap, bisa habis riwayat kita! ”
Tak ada pilihan lain, Kumbara tertatih-tatih mengikuti langkah Panji Panuluh yang berada di depan. Sebentar lagi mereka keluar dari Hutan Utara menuju jalan setapak ke Kampung Ringin Sewu. Sementara itu, beberapa langkah di belakang, Gerombolan Jalak terus memburu. Yang bertugas memburu adalah Jalak Hijau dan Jalak Biru. Sedangkan Jalak Hitam dan Jalak Merah rupanya telah berhasil menemukan tempat persembunyian Pendekar Tanpa Nama.
Jalak Hitam dan Jalak Merah berdiri di samping pendekar berjubah putih yang napasnya mulai tersengal. d**a kirinya menghitam, karena racun mulai menyebar. Pandangan matanya mulai kabur, tak menyadari kalau dua anggota Jalak Lembah Hantu sudah berdiri di dekatnya, siap menjemput ajalnya.
“Katakan di mana kitab itu sebelum kau menemui ajal!” ucap Jalak Merah.
Sayangnya yang ditanya tak menjawab, ia hanya menatap tajam ke arah Jalak Merah. Darah hitam mulai mengalir di sudut mulut. Pendekar Tanpa Nama tak bisa berkata apa-apa, lidahnya terasa kelu.
“Tak perlu ditanya Jalak Merah! Aku sudah mencium keberadan kitab itu!” ujar Jalak Hitam.
“Hah? Darimana kau tahu?” tanya Jalak Merah.
“Jalak Biru dan Jalak Hijau sudah melacak jejak bocah kecil menuju ke kampung di sebelah selatan hutan. Rupanya pendekar ini telah menugaskan dua orang bocah untuk membawa kitab yang kita cari-cari selama ini. Licik sekali. Dia membebankan tugas berat kepada dua anak yang tidak berdosa. Mereka belum jauh, dan pasti kita pasti bisa merebut kitab itu dengan mudah.”
“Hmm. Bagus kalau begitu! Sekarang mari kita saksikan manusia ini mati secara pelan-pelan karena kebodohannya!” seringai Jalak Merah.
“Memohon lah pendekar! Aku akan memberimu obat penawar. Tak ada yang punya penawar racunku kecuali aku sendir. Kau akan mati dalam keadaan menyakitkan. Racun Petaka Jalak Hitam milikku mempunyai akibat yang sungguh menyakitkan!”
Pendekar Tanpa Nama tak bergeming, walau nyawanya sudah di ujung tanduk. Rasa nyeri sudah menjalar di seluruh tubuh. Bahkan tubuhnya sudah tak dapat bergerak sama sekali. Hanya bola matanya yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Bagaimanapun ia tidak akan menyerah menghadapi dua pendekar hitam itu. Lebih baik ia mati, daripada harus menyerahkan kitab pada mereka.
Beeet!
Beet!
Plaak!
Tiba-tiba selembar selendang merah dengan gerakan sangat cepat menyabet Jalak Hitam dan Jalak Merah. Serangan mendadak itu membuat dua orang kawanan ini terlempar menghantam pohon! Seorang wanita bercadar merah melayang turun dari atas pohon, siaga dengan kebutan selendangnya.
“Astaga! Dewi Selendang Merah!” ucap Jalak Hitam.
Mata Jalak Hitam memancarkan rasa takut. Selama ini wanita yang disebut Dewi Selendang merah ini cukup dikenal di belantara persilatan dengan selendang mautnya. Ia seorang wanita muda yang berparas cantik, memakai pakaian panjang warna merah dan rambut tergerai panjang, dengan hiasan bunga-bunga di kepala. Selendang Maut adalah senjata andalan yang cukup diperhitungkan. Beruntung sabetan selendang tadi tidak mematahkan tubuh Jalak Merah dan Jalak Hitam menjadi dua bagian!
Di ujung lain, Jalak Merah juga merasakan hal yang sama dengan Jalak Hitam. Mereka sedikit gentar berhadapan dengan wanita yang baru datang ini. Apalagi saat ini Jalak Biru dan Jalak Hijau tengah tidak bersama mereka. Tentu melawan perempuan ini bukan perkara mudah.
“Majulah! Biarkan selendangku ini mencabut nyawa kotor kalian!” geram Dewi Selendang Merah.
“Kau harusnya tak turut campur urusan kami, Dewi!” ucap Jalak Merah sambil menahan sakit pada punggungnya yang terasa hampir patah karena menghantam pohon besar.
“Aku berhak melindungi kaum lemah. Dan kaum lemah yang sedang kau hadapi adalah kakak seperguruanku. Aku tak bisa tinggal diam begitu saja saat kalian berlaku seperti seorang pengecut! Hadapi aku” tantang wanita bercadar merah itu.
“Maka kau telah masuk ke dalam sarang ular, Dewi! Kami tidak akan diam begitu saja. Kami mempunyai urusan yang lebih penting daripada kakak seperguruanmu yang hendak meregang nyawa itu!” ucap Jalak Merah.
“Aku tak peduli dengan urusan kalian! Sekarang kalian tinggal pilih kalian enyah dari hadapanku atau terpaksa selendangku ini akan meremukkan tulang-tulang kalian!”
Jalak Merah tiba-tiba berdiri mengepalkan pukulan, menghunjam pesat ke arah wanita bercadar merah itu. Dari kepalan tangan itu muncul selarik cahaya merah melesat siap menghantam tubuh Dewi Selendang Merah.
“Aku memilih untuk menghabisimu perempuan seta*n!” teriak Jalak Merah.
“Jalak Merah, jangan!” Jalak Hitam berusaha mencegah Jalak Merah, namun terlambat! Ia tahu, Dewi Selendang Merah tengah bersiaga. Serangan Jalak Merah justru akan berakibat fatal bagi dirinya. Mendapat serangan itu, Dewi Selendang Merah hanya menyunggingkan senyum, mengibaskan selendang untuk menangkis pukulan Jalak Merah.
Dhuaaarrr!
Dua benturan tenaga dalam beradu, mengakibatkan ledakan keras, hingga Jalak Merah terjengkang ke belakang beberapa tombak. Sedangkan Dewi Selendang Merah juga sempat terjajar ke belakang. Keduanya saling memandang penuh amarah.
“Keras kepala!” ucap Dewi Selendang Merah.
Ia kembali meluncurkan selendang menuju Jalak Merah yang masih belum siap berlaga. Jalak Merah meloncat ke atas menghindari serangan selendang itu, tetapi sayangnya gerakannya kurang cepat, sehingga bagian kaki terlilit. Selendang yang meliuk bagai ular buas itu terkibas ke samping, menghempaskan tubuh Jalak Merah ke arah sebuah pohon dengan benturan keras.
Braaak!
Tubuh Jalak Merah menghantam pohon, terjatuh ke tanah. Darah mengalir di sudut mulutnya, pertanda ada luka bagian dalam. Dewi Selendang Merah menyeringai.
“Masih mau berlanjut?” tantang perempuan itu.
“Aku tidak akan menyerah!” teriak Jalak Merah sambil melayang ringan ke udara hingga puluhan tombak, kemudian menukik tajam ke arah Dewi Selendang Merah.
Perempuan itu hanya tersenyum kecil, melayang ringan untuk menghindari serangan Jalak Merah. Kini, Dewi Selendang Merah memilih untuk menyimpan selendangnya. Ia melayani pukulan demi pukulan Jalak Merah yang ditujukan kepadanya dengan santai. Bahkan Jalak Merah seperti kewalahan menghadapi perempuan ini. Gerakan perempuan itu begitu luwes bak penari, sedangkan gerakan Jalak Merah terlihat lamban akibat luka dalam yang dideritanya.
Tiba-tiba tubuh Dewi Selendang Merah melesat tajam ke udara,membuat gerakan menendang ke arah d**a Jalak Merah yang terbuka. Jalak Merah sadar bahwa tendangan ini mematikan, maka ditangkisnya kaki Dewi Selendang Merah. Sayangnya, tangkisan itu tetap tembus, sehingga kaki sang Dewi berhasil menghantam telak d**a Jalak Merah.
Duuuk!
Tubuh Jalak Merah terlempar ke belakang. Darah muncrat dari mulutnya. Belum lagi ia siap, tiba-tiba selendang merah melilitnya erat. Lilitan itu semakin erat, membuatnya kehabisan napas. Ia berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari lilitan, tetapi semakin kuat ia berusaha, semakin kuat lilitan.
Kreek!
Dewi Selendang Merah menghentakkan selendangnya, dalam sekejap tubuh Jalak Merah hancur bagian dalamnya. Tubuhnya lunglai! Ia meregang nyawa dalam keadaan mata terbelalak dan darah membanjir dari hidung dan mulut.. Saat selendang lepelas lilitannya, tubuh Jalak Merah tersungkur di tanah dalam keadaan mengenaskan. Nyawanya telah hilang!
Jalak Hitam melihat peristiwa itu dengan bergidik. Ia tak mengira bahwa Jalak Merah akan tewas dengan cara setragis itu. Sementara, Dewi Selendang Merah berdiri perkasa, siap menerima serangan. Jalak Hitam berpikir bahwa ia tak mungkin akan selamat jika melanjutkan pertarungan.
Wuuss!
Ia melesat meninggalkan arena pertarungan dengan cepat. Dewi Selendang Merah tak berniat mengejar. Hari ini ia telah memberikan pelajaran penting pada komplotan itu. Segera ia menghambur ke arah Pendekar Tanpa Nama yang terkulai tak berdaya, karena ia mengkhawatirak kondisi kakak seperguruannya itu. Tubuh pria yang tergolek di tanah itu mulai menghitam, karena pengaruh racun Jalak Hitam sudah mulai menyebar ke bagian jantung.
“Bertahanlah, Kakang!” ucap Dewi Selendang Merah dengan panik, segera memangku kepala kakak seperguruannya itu.
“T-tak usah kau pedulikan aku, Selendang Merah! Ce-cepat ... cepat kau lindungi anak-anak itu!” perintah Pendekar Tanpa Nama dengan terbata-bata, walau lidah sudah kelu.
“Anak-anak? Siapa yang kau maksud?” tanya Dewi Selendang Merah.
“Me-mereka membawa tugas penting. Se-sekarang me-mereka menuju Ringin Sewu. K-kau harus cep ... huuk!”
Pendekar Tanpa Nama tak mampu menyelesaikan kalimat terakhirnya. Ajalnya sudah berada di ujung tenggorokan. Ia memegang dadanya yang terasa nyeri. Kepalanya terkulai lemas di pangkuan Dewi Selendang Merah seperti ayam yang baru disembelih.
“Kakaaang!” pekik Dewi Selendang Merah sembari berurai air mata.
Pendekar Tanpa Nama tak bergerak dengan mata membelalak! Ia meregang nyawa dengan racun yang menghancurkan tubuhnya dari dalam!
***