Bab 7 Berpisah

1393 Kata
Langkah Panji Panuluh semakin cepat menuju perbatasan kampung, tempat yang berjanji akan bertemu dengan Kumbara di Gerbang Kampung yang ditandai dengan batu besar setinggi pohon kelapa. Malam semakin gelap, suasana senyap merayap. Tak ada seorang pun yang melewati jalan setapak. Panji sengaja memilih jalan yang tak diketahui orang banyak, menerobos perkebunan dan pinggir sungai yang gelap. Tak dipedulikan lagi rasa lelah dan takut yang kian  menyiksa. Dadanya masih merasa sesak, menahan rasa pilu yang meledak-ledak. Bagaimana tidak? Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat biyung-nya menemui ajal tanpa sepatah pesan pun. Rasa dendam membakar d**a, memantik kebencian yang tak terbayangkan. Ia terus mengingat wajah-wajah Gerombolan Jalak Lembah Hantu, mematri di otak agar tak terlupa. Nalurinya mengatakan bahwa hutang darah dibalas dengan darah. Ia tak akan membiarkan para pelaku kejahatan itu lolos begitu saja. Ke ujung dunia pun pasti akan dikejarnya. Di kejauhan, batu besar sudah terlihat, tetapi ia tak melihat Kumbara di sana. Kemana gerangan sahabat kecilnya itu? Bukankah seharusnya dia sudah berada di sana duluan? Suasana di sekitar batu itu sepi, dengan kegelapan sungguh menyeramkan. Di sekitarnya, hanya pepohonan meliuk tertiup angin. Dedaunan bergemerisik, berpadu dengan desir angin. Panji menebar pandangan ke sekitar, tetapi hanya kegelapan yang ia lihat. Kemana gerangan dirimu, Kumbara? Batin Panji. Belum lagi pertanyaan yang ada di kepala terjawab, sayup-sayup ia mendengar suara teriakan memanggil namanya. “Panjiii! Toloong aku!” Terdengar suara pekikan yang sangat ia kenal. Ya, itu suara Kumbara. Suaranya berpadu dengan desir angin malam. Panji segera sadar, bahwa hal buruk telah terjadi pada Kumbara. Sayangnya, ia tak bisa menemukan keberadaan sahabatnya, hanya suara lirih yang sayup-sayup ia dengar, memanggil namanya. Suara itu kadang timbul kadang tenggelam, larut dalam desir angin malam yang mendayu-dayu. “Kumbaraaa! Di mana kamu?” teriak Panji sambil berlarian kesana kemari. Sayangnya tak berbalas. Teriakan demi teriakan hanya menggema dalam deru angin malam, hilang tak berbekas. Sosok Kumbara seolah lenyap ditelan pekatnya malam. Tiba-tiba mata Panji tertuju pada sebuah buntalan kain kecil yang tergeletak di tepi jalan. Ia mengenal benda itu! Segera saja ia pungut, diamatinya lekat-lekat. “Kerikil Api!” desisnya. Ia mengenali benda itu. Kerikil Api sengaja diberikan Pendekar Tanpa Nama kepada Kumbara untuk berjaga-jaga. Mungkin benda itu tak sengaja terjatuh ke jalanan saat Kumbara ditimpa bahaya. Panji Panuluh kembali menitikkan air mata. Ia berharap agar Kumbara baik-baik saja. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Tak ada apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Gerbang Kampung begitu senyap, tak dapat menceritakan apapun. Dalam kepedihan yang mendalam ia kembali berjalan dengan langkah gontai keluar kampung menuju wilayah perkebunan yang gelap. Dalam satu malam, ia harus kehilangan dua orang yang disayanginya, yakni biyung dan Kumbara. Ia hanya bisa meratapi nasib, tetapi ia sadar bahwa semua sudah tertulis. Ia hanya bisa pasrah. Suasana jalan yang ia lalui sungguh mencekam. Suara burung malam menjerit-jerit menambah suasana seram. Panji Panuluh berusaha menepis rasa takut yang berada dalam benaknya. Di kejauhan, ia melihat sebuah gubuk kecil, tempat peristirahatan para petani selesai bekerja di kebun. Segera ia mendekati gubuk itu, untuk beristirahat. Rasa letih di kaki sudah tak tertahankan. Ia berencana melanjutkan perjalanan keesokan hari. *** Sebelum Panji Panuluh sampai di Gerbang Kampung, Kumbara sebenarnya sudah menunggu kedatangan Panji Panuluh. Ia siap berangkat dengan segala perbekalan. Pertanyaan dari biyung-nya sudah tak digubris. Kumbara berhasil mencapai Gerbang Kampung lebih awal. Sayangnya, ia begitu tak sabar menunggu. Berkali-kali ia melongokkan kepala ke jalan setapak, berharap agar Panji Panuluh menampakkan diri. Sayangnya harapannya tak terkabul. Malam semakin gelap dan dingin. Kumbara gelisah tak berkira. Gemerisik dedaunan membuat nyali ciut. Tiba-tiba saja ia merasakan desir angin yang tak biasa, berhembus kencang hampir menerbangkan udeng yang ia pakai. Sementara, beberapa tombak di depannya tampak sosok hitam berdiri dalam kegelapan dengan matanya merah menyala. Rasa takut tak dapat dibendung lagi. Badan Kumbara menggigil. Ia mengira yang dihadapannya adalah sesosok jin atau genderuwo yang kerap mengganggu para pejalan yang kebetulan lewat. Gerbang Kampung ini memang dikenal sebagai tempat angker, karena batu besar dihuni sosok hitam berbulu lebat. Namun, saat ini Kumbara berusaha menepis bayangan menyeramkan itu jauh-jauh. Mulutnya terkatup. Ingin rasanya berlari, tetapi kaki seolah terkunci rapat di permukaan bumi. Kumbara tak dapat berbuat apa-apa. “Serahkan kitab itu, Bocah Kecil!” Sosok hitam itu mulai bersuara. “Ki-kitab ...  Kitab apa? Sa-saya tidak tahu, Paman!” jawab Kumbara takut-takut, tetapi juga lega karena sosok di hadapannya bukanlah seperti genderuwo seperti yang ia bayangkan. “Jangan bohong! Aku tahu kitab itu padamu. Percuma saja kamu berbohong. Kalau kau mau selamat, lebih baik kau serahkan saja kitab itu!” gertak sosok hitam itu dengan suara lantang. “Sa-saya tidak bohong, Paman!Ki-kitab itu ... bukan saya yang membawa, tetapi sahabat saya yang bernama Panji. Bu-bukan saya!” ucap Kumbara dengan polosnya. “Omong kosong! Jauh-jauh aku kesini hanya mendengar ocehan bocah kecil sepertimu. Hmm!” Tiba-tiba sosok hitam itu melesat ke arah Kumbara, menotok bagian syaraf di leher Kumbara, sehingga bocah itu terdiam kaku tak bergerak. Hanya bola matanya yang bergerak kanan dan kiri. Sosok hitam itu ternyata adalah seorang pria berjanggut, berambut panjang dan berjubah hitam dengan corak merah di beberapa bagian. Matanya merah menyala. Dalam dunia persilatan, nama aslinya adalah Arya Balawa, tetapi ia lebih dikenal dengan Pendekar Mata Iblis, karena sepasang matanya bisa memancarkan cahaya merah menyilaukan. Segera saja ia menggeledah Kumbara, tetapi sayang ia tak menemukan barang yang dimaksud. Pada saat menggeledah, buntalan berisi Kerikil Api pemberian Pendekar Tanpa Nama terjatuh tanpa sengaja. “Hmm! Sial! Di mana kitab itu!” hardik Arya Balawa. “Bu-bukan aku yang membawa, Paman! Aku kan sudah bilang tadi,” ucap Kumbara dengan suara gemetar. “Lalu siapa?” tanya Arya Balawa dengan mata melotot. “Temanku Panji Panuluh. Dia tinggal di Ringin Sewu. Aku juga sedang menunggunya, sebentar lagi dia akan tiba. Paman tunggu dia sebentar lagi!” “Panji Panuluh? Jangan bohong kau! Aku tidak pernah dengar nama itu!" Arya Balawa tampak berpikir, karena apa yang ia cari ta ditemukan dari bocah itu. Ditatapnya Kumbara dalam-dalam seraya tersenyum sembari berkata,"Kurasa kau ada gunanya. Sebenarnya kau bocah suci yang polos dan jujur, tetapi aku bisa mencium aroma dendam pada dirimu. Dendam karena kematian seseorang dalam hidupmu yang tak terbalaskan. Kau bisa jadi penguasa kegelapan kelak. Aku akan membawamu, berlatih bersama calon penguasa kegelapan lainnya! Hahaha! Sang penguasa kegelapan akan lahir!”  Arya Balawa tertawa terkekeh, suaranya membahana memenuhi malam. Penjuru kampung tetap sepi dan mencekam. Ia merengkuh tubuh bocah kecil itu, bersiap untuk memanggulnya. “Tidak! Jangan bawa aku! Aku tidak mau!” pinta Kumbara. “Heh! Dasar bocah g****k! Harusnya kau bersyukur aku tidak menghabisimu dan berterimakasih padaku. Aku akan membuatmu menjadi penguasa dunia. Jangan banyak bicara! Aku akan membawamu pergi dari sini, jauh ke dalam Alas Purwo di ujung timur Pulau Jawa, tempat Pedepokan Tapak Seta*n bersemayam!” “Jangan, Paman! Aku tak mau pergi kesana!” tolak Kumbara. Arya Balawa tak peduli dengan rengekan Kumbara, segera saja ia memanggul bocah itu di bahunya yang kokoh. Kumbara, dalam keadaan tertotok, tak bisa berbuat apa-apa. Arya Balawa membawanya pergi menembus gelapnya malam, sambil bersiul. “Hah! Berat juga tubuhmu, Bocah! Pasti kau putra petinggi kampung yang biasa makan enak. Sekali-kali rasakan penderitaan rakyat jelata. Mulai sekarang kau akan belajar apa itu rasanya penderitaan yang sesungguhnya. Selamat datang di dunia penuh derita itu hahaha!” seringai Arya Balawa sambil terus memanggul Kumbara. “Lepaskan aku, Paman!” Kumbara mulai menangis.  Mereka meninggalkan batu besar, pembatas kampung tempat ia berjanji bertemu dengan Panji Panuluh. Sayup-sayup dalam gelap dilihatnya Panji sudah mendekat batu besar. Kumbara hendak berteriak, tetapi suaranya tertahan. Ia berusaha sekuat tenaga agar Panji bisa melihatnya. “Panjiii! Tolong aku!” teriak  Kumbara. “Heh! Bawel juga dirimu! Kalau kau tak diam akan kulempar ke dalam jurang agar kau diam selamannya!” ancam Arya Balawa. Kumbara tak peduli dengan ancaman Arya Balawa. Ia terus berteriak minta tolong, sehingga Arya Balawa menjadi gusar. Tiba-tiba langkah si pendekar berubah menjadi sangat ringan, seolah berjalan di atas angin. Gerakannya begitu cepat menembus gelap malam , memasuki rimbun hutan yang mencekam. Kumbara tak berani bersuara lagi. Ia hanya memejamkan mata, pasrah kemana sosok ini akan membawanya pergi. Ia pernah mendengar nama Padepokan Tapak Seta*n, tempat sekumpulan pendekar dunia hitam biasa berkumpul untuk mengasah ilmu di pelosok timur Pulau Jawa. Tempat yang angker dan jarang dijamah bangsa manusia. Kini, dia akan pergi ke tempat itu. Sungguh, ini suatu yang tak pernah diharapkannya! ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN