Terhitung sudah nyaris setengah jam Arslan duduk di kursi depan meja bar, mengamati semua manusia yang sibuk bersenang-senang di depannya. Sesekali mengusap rambut, sesekali mendengkus, dan kadang berdecak kesal.
“Lo seriusan trauma sama cewek, Ars?” tanya bartender bernama Erik tersebut yang ternyata memperhatikan tingkah Arslan. Bukan hanya kali ini, pun enam tahun lalu. Arslan hanya membawa pulang perempuan jika benar-benar butuh.
“Kayaknya bukan urusan lo deh.” Dengan mempertahankan ekspresi tenang di wajahnya, Arslan menyesap red wine dalam gelas berkaki miliknya. “Jangan lupa, lo yang bertanggung jawab kenalin gue sama perempuan sialan itu.” Amarah kembali menguasai Arslan tanpa diminta. Hanya butuh sekali teguk ia menghabiskan sisa wine dari dalam gelasnya, kemudian meletakkannya di atas meja. Isyarat agar Erik mengisinya lagi.
“Ini gue denger kabar burung atau gimana, Ars? Lo katanya nikah hari ini?” tanya Erik dengan tampilan penasaran, sembari melayani seorang wanita.
“Iya,” jawab Arslan seadanya sembari menerima gelas yang sudah terisi setengah.
“SERIUSAN LO NIKAH?” Erik tidak bisa menahan suaranya agar tidak meninggi. Perempuan bergaun hitam di hadapannya bahkan terlonjak dengan mata membulat saking kagetnya. “Terus lo ngapain di sini. Sana. Belah duren.”
“Gue nggak tertarik.”
“Terus ngapa lo nikahin, Nyet?” tanya Erik geram. Ia menampilkan senyum saat menyerahkan minuman dalam gelas berkaki panjang pada wanita bergaun hitam tadi.
“Menurut lo?” Arslan sama sekali belum menunjukkan minat atas topik obrolan Erik. Matanya tidak bisa diam menatap satu titik. Terus bergerak, mencari-cari sesuatu yang mustahil selama enam tahun belakangan ini.
“Dijodohin seriusan?” tebak Erik yang terdengar setengah ragu. “Kakek kesayangan lo kan udah mati. Masa iya lo langsung patuh sama om lo, atau sepupu lo.”
“Gue bangkrut.” Arslan sudah benar-benar lelah dengan pencariannya. Ia memutar kursi sehingga bisa bertatapan langsung dengan Erik yang selalu saja penasaran dengan kehidupannya. “Vian berhasil singkirin gue dari perusahaan keluarga, makanya gue terpaksa harus cari usaha baru lagi, yang wajib udah maju. Gue males kembangin sesuatu, sukanya langsung nikmatin aja.”
“Terus istri lo ngomong-ngomong.” Erik menunda ucapannya sebentar karena ada pelanggan yang meminta dua botol vodka. Ia langsung menumpukan setengah lengannya di meja dengan ekspresi serius menghadap Arslan setelah pekerjaannya tadi selesai. “Nggak cantik, ya? Makanya lo nggak tertarik?”
Arslan mengangkat kedua bahunya tak acuh. Ia tidak bisa menebak-nebak proporsi bentuk wajah di balik kain hitam yang menutupi istrinya. Ah, jangankan ingin menebak, Arslan enggan untuk bertemu tatap lagi dengannya meski tanpa sengaja.
“Aneh lo, parah.” Erik menunjukkan wajah malas kemudian menegakkan tubuhnya. Melayani pelanggan dengan senyum cerahnya. “b**o sih kalau gue bilang. Padahal enak lo, nikmatin perempuan sepuasnya tanpa perlu bayar seumur hidup. Dilayanin pula. Mahar lo berapa?”
“10 juta.”
“Murah amat.” Dengkusan geli keluar dari bibir Erik yang sibuk menyajikan minuman di beberapa gelas. “Uang segitu cuman bisa nyewa jalang paling banyak delapan orang. Tapi, dengan uang segitu lo dapat istri yang jadi pelampiasan nafsu lo seumur hidup. Diurusin juga. Parah sih. Ini yang bikin gue mau cepetan nikah biar hemat-hematan.”
“Makanya nikah!” ucap Arslan disusul tawanya yang ringan.
“Tunggu aja. Ini usaha buat hamilin pacar gue.”
“Sesat anjrit!”
“Kayak lo nggak sesat aja,” balas Erik. “Sekarang lo mau apa sekarang? Manual pake tangan gitu? Kasihan suntikan lo tuh udah karatan jarang dipake.”
“Sialan lo!” desis Arslan. Ia memutar kursi sehingga pandangannya kembali tertuju pada kumpulan manusia yang sedang bergoyang mengikuti dentuman lagu.
Arslan meletakkan gelasnya di atas meja. Menegakkan tubuhnya, berdiri, dan berjalan dengan aura dingin kentara. Matanya sudah menemukan mangsa untuk malam ini. Lagi pula kenapa harus trauma pada perempuan? Hell, Arslan ini penakluk perempuan. Ia hanya mengulurkan tangan, menangkap seorang perempuan kemudian ia sekap dalam kedua tangannya.
“Di tempatku malam ini?” bisik Arslan.
Beberapa hari belakangan ini, bahkan sejak enam tahun yang lalu, Arslan sulit menikmati hidupnya sendiri sehingga berujung kebangkrutan. Ia tidak boleh mengulangnya karena ini kesempatan yang tersisa. Arslan harus menikmati waktunya setiap detik, setiap menit, dan setiap harinya mulai sekarang.
***
Arslan merasa baru menutup matanya beberapa menit yang lalu. Namun, suara dering ponsel entah dari mana tidak membiarkannya melanjutkan tidur dengan nyaman. Ia merutuk kesal dan menendang angin secara asal.
“Sial, Edy,” rutuknya sembari bangun dengan kasar. Ia sedikit linglung melihat sekitar. Arslan juga mendapati ada perempuan asing berbaring di sampingnya sebelum mengambil ponsel di tengah-tengah tempat tidur. Ia mengecek bar notifikasi dan mendapati 8 panggilan tak terjawab, juga sebuah pesan dari nomor asing.
Telepon aku kalau kamu udah siap-siap. Mandi dulu, bebersih. Aku tunggu sebelum jam 9, atau aku jamin, kamu cuman dapat anak perusahaan di bagian pelosok saja.
Ah lupa, assalamu’alaikum, aku Alisha.
Arslan mendesis kesal, tetapi terpaksa bangun dari tempat tidur untuk mengenakan pakaian, lalu ke kamar mandi untuk cuci wajah. Hanya lima menitan, ia sudah duduk di sebuah sofa di sudut ruangan. Menimang-nimang harus mematuhi pesan Alisha tadi atau tak acuh saja.
Lagi pula, Alisha itu perempuan. Kenapa Arslan harus cemas tanpa alasan?
Maka, ia menelepon nomor asing barusan. Hanya butuh dua nada sambung, lalu panggilan terjawab.
“Halo,” sapa Arslan buru-buru, penuh antisipasi.
“Halo. Assalamu’alaikum.”
Arslan mengerutkan kening saat mendapati suara jernih nan lembut menyapa telinganya. Ia melirik layar ponselnya sejenak, lalu tanpa sadar meneguk ludah sekali. Terdengar manis.
“Alisha?” tanya Arslan pelan ketika menempelkan kembali layar ponsel di telinga.
“Iya. Nanti save nomorku, ya. Karena ini akan jadi pembuka panggilan-panggilan selanjutnya.”
Jawaban tersebut membuat Arslan mendengkus kasar. Menebak yakin bahwa perempuan itu pasti akan menanyakan kepergiannya semalam, dan menangis-nangis karena Arslan tidak menunaikan ritual malam pertama mereka. Ia nyaris mematikan ponsel seandainya suara di seberang tidak terdengar lagi.
“Matikan telepon sama dengan pembatalan kerja sama, Arslan.” Suara lembut itu bernada penuh penekanan yang pas. Sehingga Arslan mau tidak mau terpengaruh dengan ucapan tersebut.
“Apa kamu lagi ancam aku sekarang?” tanya Arslan, memperjelas intonasinya yang terkesan dingin.
“Nggak. Kok langsung berpikiran negatif, sih.” Kekehan ringan terdengar dari telepon.
Arslan tanpa dia inginkan langsung mengubah posisi duduknya menjadi bersandar. Menyamankan diri untuk mendengar suara lembut ini.
“Aku sebut ini sebagai penawaran aja, biar lebih ... mm ... menguntungkan?” lanjut Alisha dengan suara tanpa beban. “Simbiosis mutualisme. Semoga kamu yang hobi bolos pas sekolah dulu, masuk pas belajar istilah ini.”
“Kamu mau sebut aku bodoh gitu?”
“Astagfirullah. Kok negatif mulu pikirannya, Arslan.” Perempuan itu terkekeh lagi atas sesuatu yang sama sekali tidak memiliki kesan lucu. “Kamu sadar sekarang, Arslan? Maksud aku, nggak ada efek minuman lagi? Karena kita bakalan diskusi mengenai pernikahan kita sekarang. Aku buat semudah mungkin supaya terkesan kayak pebisnis, mungkin.”
“Apa?” tanya Arslan. “Kamu mau buat rencana apa?” Arslan merasakan auranya. Dari cara berbicara Alisha yang terlalu dibuat-buat halus, Arslan tahu, perempuan ini tidak selemah yang ia pikirkan.
“Rencana?” Alisha terdiam selama dua detik. “Kok sampai sejauh itu pikiran kamu? Aku cuman mau diskusi jadwal sama kamu. Ah ya, sama sedikit peraturan buat kita berdua.”
“Jadwal? Peraturan?” Arslan benar-benar mendapati kebuntuan saat menebak jalan pikiran perempuan satu ini.
“Oke. Kamu udah duduk dengan nyaman? Karena mulai besok kamu mulai kerja, dan ada kemungkinan kita nggak bakalan bicara lagi sampai besok, jadi aku pikir sekarang waktu yang pas buat kita diskusi.”
“Oke, jadi apa?”
“Mmm ... kamu biasanya berangkat kerja jam berapa?”
“Jam 10.”
“Okey.” Alisha terdengar bergumam pelan. Arslan penasaran, mencoba mempertajam pendengaran, tetapi tidak mendapati apa pun.
“Karena kita nggak saling kenal, dan kamu juga kayaknya nggak mau kenal aku. Aku mau buat sedikit peraturan agar status pernikahan kita nggak terlalu terekspos keluar, dan hubungan sosial antar kita berdua tetap nyaman. Gimana?”
“Peraturan? Kamu mau kekang aku?” Arslan tutup kalimatnya dengan geraman rendah, untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar berbahaya.
“Enggak. Seriusan. Ini adil untuk kita berdua kok. Aku jamin,” ucap Alisha dengan mantap. “Kamu udah siap catat? Cuman 8 nomor kok ini.”
“S*alan. Kamu tau aku sering bolos di sekolah kan? Kamu tau kenapa? Aku benci peraturan. Aku benci dikekang—“
“Benci jabatan?”
Sial. Arslan merutuk dalam hati.
“Nomor 1.” Alisha menjeda beberapa saat, sehingga Arslan dengan mimik terpaksa membuka notes bawaan ponselnya. Mengetik secara terpaksa. “Kamu harus pulang ke rumah.”
“Kamu mau kurung aku di rumah begitu?” Arslan mencibir.
“Belum selesai, Arslan.” Alisha mendesis geli. “Kamu wajib pulang di malam hari. Jam berapa pun itu. Supaya pernikahan kita terlihat baik-baik saja di mata orang lain. Jangan membantah. Perusahaan Papa aku juga ada yang bergerak di bidang jasa pelayanan. Kalau mereka tahu hubungan kita nggak baik, mereka juga bakalan cap perusahaan nggak baik. Lagi pula, apa susahnya sih? Ini juga cuman jadi tanda, supaya kamu inget, kamu udah punya istri. Punya tempat untung pulang.”
“Itu bukan rumah aku, omong-omong,” balas Arslan dengan suara pelan nyaris tidak terdengar.
“Kedua. Kamu nggak mau ketemu aku secara langsung kan? Aku semenakutkan itu, ya?”
Arslan menahan napasnya tanpa sadar saat perempuan itu tahu. Ia bingung harus membalas apa, karena memang, ucapan Alisha akurat kebenarannya.
“Oke. Kita bikin jadwal, ya? Kita bagi dua waktu kuasai rumah. Kamu catat, oke?” ucap Alisha. “Sesuai peraturan nomor satu, kamu boleh pulang jam berapa pun, tapi ada batasnya. Jam 4. Kamu nggak boleh melewati batas waktu itu tiba di rumah, karena aku akan kuasai rumah dari jam 4 subuh sampai jam 6.59.”
“Oke.” Arslan mengetik waktu yang dimaksud Alisha, lalu memberinya tanda silang.
“Setelah itu, kamu boleh keluar, siap-siap ke kantor, dari jam 7 pagi sampai jam 10 pagi. Nggak boleh lewat. Karena jam 10.01 sampai 4 sore, aku bakalan kuasai rumah, sekadar buat bersih-bersih.”
Tidak merugikan menurut Arslan. Saat Alisha menginvasi rumah, ia sibuk di kantor.
“Abis itu. Dimulai dari jam 5 sore sampai jam sembilan malam, kamu bisa kuasai rumah. Lakuin apa pun. Di atas jam sembilan, sampai jam 4 subuh adalah waktu istirahat, kamu bebas mau ke luar ke mana pun, atau berdiam di kamar. Terserah.” Alisha terdiam sejenak usai menjelaskan. “Ada yang memberatkan kamu?”
“Nggak ada.” Arslan dengan cepat membalas. “Peraturan selanjutnya?” Ia mendengkus geli, karena sudah berpikiran berat sebelumnya. Arslan merasa, Alisha tidak sejahat itu sampai membuat peraturan yang mengekang, menurutnya.
“Kamu wajib makan sarapan buatan aku setiap hari.”
“Ini masuk peraturan?” Arslan tidak habis pikir.
“Iya. Ini nomor 3.”
“Ada jaminan kamu nggak nambahin sesuatu ke makanan aku?”
“Buat apa aku terima perjodohan ini kalau akhirnya cuman buat nyakitin kamu? Nggak ada untungnya buat aku atau perusahaan, malah merugikan karena persiapan pernikahan itu pake uang loh,” balas Alisha.
“Oke.” Tidak buruk, jika masakan perempuan itu nyaman di lidah, pikir Arslan. Ia langsung menulisnya.
“Setiap kali aku nelpon kamu, kamu wajib-harus-mesti jawab atau telepon balik. Aku pun juga bakalan gitu kalau kamu nelpon. Ini peraturan nomor 4.” Alisha menjeda sesaat saat Arslan mendesis geli. “Bahkan untuk panggilan yang nggak penting, Arslan. Aku atau kamu wajib angkat panggilan.”
“Oke-oke. Terserah. Lanjutkan.” Arslan menggaruk pangkal hidungnya, sementara tangan sebelahnya memegang ponsel.
“Kita nggak bakalan tidur sekamar.”
“Waw.” Arslan langsung memotong, takjub. “Setuju! Terus?”
“Peraturan nomor 5. Kamu tidur di kamar tamu sebelah kamar aku. Aku bukan tipe perempuan yang nuntut hak. Lakukan apa pun yang kamu mau, asalkan kamu nggak melanggar peraturan aku.”
“Sip. Aku suka peraturan nomor 5.” Arslan bahkan mau repot menulis apa pun yang diucapkan Alisha baru saja.
“Nomor 6. Demi menjaga perasaan satu sama lain dan kesucian rumah dari semua orang yang tidak punya sangkut pautnya, maka kamu ataupun aku nggak boleh bawa siapa pun. Siapa pun. Laki-laki atau perempuan, masuk ke dalam rumah tanpa izin masing-masing dari kita.”
“Aku juga ogah sih bawa temen-temen aku ketemu kamu. Nggak guna.” Arslan mengembuskan napasnya kasar, lalu mengetik peraturan nomor 6.
“Nomor 7. Masing-masing kita harus saling jujur-jujuran. Apa pun itu, dalam kondisi apa pun. Nggak boleh ada kebohongan. Khusus peraturan ini, kalau melanggar sekali saja, sanksinya adalah mematuhi 3 pemintaan dari pasangan. Apa pun itu. Keberatan?”
“Nggak,” jawab Arslan santai. “Terus kalau aku langgar peraturan nomor 1, 2, dan yang lainnya? Hukumannya apa?”
“Pemindahan kekuasaan.” Alisha dengan mantap mengatakan hal tersebut. “Aku melanggar, silakan ambil kekayaan aku. Kamu melanggar, say hello ke kemiskinan.”
“Sial!” Arslan merutuk. “Ada peraturan larangan berbicara kasar?”
“Nggak. Nggak ada.”
Arslan cukup terkejut dengan jawaban Alisha. Benar-benar bingung dengan jalan pikiran perempuan itu.
“Terakhir, nomor 8, paling penting. Masing-masing kita nggak boleh membocorkan rahasia pernikahan kita. Kamu bisa?”
Arslan melarikan pandangannya ke arah ranjang. Ia menatap nyalang pada wajah oval yang terlihat damai dalam mimpinya. Namun, sayang, Arslan beberapa kali mendapati kelopak mata yang tertutup itu bergerak menandakan pemiliknya sudah terbangun sedari tadi.
“Bisa,” jawab Arslan.
“Okey. Selesai. Aku pamit, jangan lupa pulang sebelum jam 4 pagi nanti. Assalamua’laikum,” ucap Alisha, kemudian dua nada tuut menjadi penutup obrolan mereka.
Arslan bangun dari sofanya. Berjalan dengan langkah dingin menghampiri tempat tidur, lalu berdiri di jarak 2 senti dari sisinya.
“Kamu dengar semuanya?” tanya Arslan yang sama sekali tidak membutuhkan jawaban. “Ais*t.” Ia menelepon Edy untuk mengurus wanita ini, agar Arslan tidak ketahuan Alisha melanggar peraturan nomor 8. Atau, kekuasaannya akan hilang.
***